"Pokonya Leha nggak mau, Mak!" tolak Juleha, gadis berpenampilan kumal.
"Eh, lu itu anak gadis, ngapa kagak mau rawat diri, sih, jaman sekarang kudu gudluking, glowing, dan melting. Nah, lu, kek gombal kompor. Buruan mandi! Atau emak panggilin tukang pemandi jenazah!" ancam Maemunah. Dia sudah sangat sabar menghadapi kelakuan anak gadis satu-satunya itu.
Mau tak mau Leha, menuju ke kamar mandi dan segera mengguyur seluruh tubuhnya. Asal terkena air saja, bagi gadis itu sudah cukup. Baru saja dia membuka pintu, terlihat Maemunah berdiri di sana dengan sapu di tangan. Sepertinya sang ibu merasa tidak puas dengan hasil mandi yang Juleha lakukan.
"Balik, masuk lagi. Mandi! Apaan, itu daki masih nemplok. Ya Allah, Leha, ngidam apa gue pas hamil lu! Ya Allah, bisa nggak, sih, gue masukin lu lagi ke rahim!"
Malas mendengar ocehan sang emak, Leha memilih kembali masuk ke kamar mandi. Kali ini, dia benar-benar menggosok tubuhnya dengan sabun, bahkan membersihkan kaki dengan sikat cucian. Meski sakit, tetapi hasilnya cukup efektif. Noda hitam bekas main di jalanan hilang seketika.
Sudah tiga hari, Leha tak pulang ke rumah. Dia memilih berkeliling kota Bekasi dengan geng motor vespanya. Meski Maemunah berulang kali menegur agar tak melakukan touring ala-ala tersebut, tetapi Leha tak peduli. Baginya lepas tanpa batas, bebas bernapas.
Leha keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuh, rambut pun basah karena keramas, harum wangi sabun tercium di hidung Maemunah. Dia tersenyum melihat anak gadisnya kini sudah kembali terlihat seperti manusia.
Hanya melirik, Leha memilih berlalu menuju kamar. Tak peduli dengan dua jempol tanda bangga yang Maemunah berikan. Leha membuka lemari, tangannya segera mencari baju kesayangan, kaos oblong buluk dan juga celana jeans pendek sedwngkul. Namun, nihil. Dia tak menemukan apa yang dicari.
Tak hanya itu, celana jeans belel dan kemeja kotak-kotak kebanggaan raib semua. Menyisakan baju mode feminim yang Maemunah belikan. Ini pasti ulah sang ibu. Buru-buru Leha memakai baju yang ada di sana. Setelan kaos yang dipadukan dengan rok selutut. Meski risi, dia tetap memakainya.
"Mak, umpetin di mana baju Leha?" tanya Leha, sambil menghampiri emaknya yang tengah berada di dapur.
"Emak bakar, noh, di halaman belakang."
"Ya Allah, Mak, tega banget sama anak." Buru-buru Leha menuju halaman belakang setelah mengatakan hal tersebut. Benar saja, asap hitam mengepul dari tong pembakaran. Meski terbatuk-batuk, dia tetap menghadapi harapan masih ada yang bisa menghadapi hasilnya nihil.
Leha duduk di tanah, menangis, meratapi baju-bajunya yang telah habis dimakan si jago merah. Maemunah tak menyisakan satu pun celana atau kaos oblong di lemarinya.
Lemas, Leha Kembali Masuk Ke Dapur, mengambil segelas air dingin di kulkas dan menenggaknya hingga tandas. Sengaja, dia meletakkan gelas dengan keras di atas meja hingga menimbulkan suara yang membuat Maemunah terlonjak saking kagetnya.
"Bener-bener lu, nih!" caci maemunah, kesal.
"Emak nyebelin, tega sama Leha. Benci sama Emak!" teriak Juleha sambil berlari ke kamarnya.
Maemunah mengusap dadanya sambil menarik napas dalam-dalam. Sejak sang suami meninggal, praktis dirinya yang mengasuh Leha sendiri. Menjadi Ayah dan Ibu sekaligus nyatanya sering membuat kewalahan. Menyerah dan ingin mengakhiri hidup entah sudah berapa kali dia ingin melakukan. Namun, dirinya berubah menjadi kuat tatkala memandang wajah anak semata wayangnya. Meski kadang, perangai anaknya jauh dari yang diharapkan.
Leha membanting pintu kamar. Lantas menjatuhkan tubuh di atas kasur. Air matanya mengalir, touring yang dilakukannya kemarin sejujurnya bukan hal yang aneh-aneh. Di sana, Leha seolah menemukan keluarga baru. Meski dipandang sebelah mata sebenarnya tidak sebobrok yang dilihat orang-orang. Namun, percuma saja dijelaskan, sudah pasti Maemunah tetap tak percaya.
Paginya, Leha sudah siap dengan seragam sekolahnya. Tak lupa dia menguncir rambut dengan gaya ekor kuda. Liburan kenaikan kelas telah berakhir. Saatnya kembali ke sekolah.
"Nggak sarapan dulu, Neng?" tanya Maemunah ketika melihat sang anak hendak pergi ke sekolah tanpa mencicipi nasi goreng yang dibuatnya.
"Diet," balas Juleha, sekenanya sambil meraih tangan kanan sang emak untuk bersalaman. Sejujurnya dia masih marah dengan apa yang dilakukan sang Ibu kemarin.
Bibir maju dan alis yang berkerut adalah ciri khas sang anak ketika marah, Maemunah paham betul watak anak gadisnya. Segera dia mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan dari kantong. Meski, Juleha sudah mendapatkan jatah jajan bulanan, kadang kala dia memberikannya sebagai sogokan.
"Buat jajan seblak sama minuman dingin!" ujar Maemunah, memasukkan uang tersebut ke kantong seragam Juleha.
Mata Juleha berkaca-kaca, dia menatap sang emak dengan haru. Lantas meraih tubuh wanita berusia 40 tahun itu ke dalam pelukannya.
"Maaf, ya, Mak, Leha udah marah-marah. Maaf, tiga hari Leha pergi nggak kasih kabar."
Maemunah tersenyum, dua lembar cebannan yang dia berikan nyatanya mampu membuat gadis sembrono ini luluh begitu saja.
"Iya, emak tau. Berangkat, gih, udah siang!" titah Maemunah.
Juleha sampai di halte, lantas menunggu bis yang akan membawanya ke sekolah. Dia tak sendiri ada beberapa siswa berseragam sama dengan dirinya berada di sana. Ada yang sibuk bermain ponsel atau bergosip tentang Dita Karang--personil girlband Screet Number yang berasal dari Indonesia.
Pandangan Juleha mengarah ke sosok misterius yang berdiri di depannya. Menggunakan hoodie dan masker untuk menutupi wajah, pemuda itu hanya diam bak Alan Walker kesiangan. Hal tersebut membuat Juleha penasaran, karena sebelumnya tak pernah melihat sosok seperti itu berada di lingkungan ini.
Juleha mulai mendekati dengan langkah kaki yang tak bersuara. Kini, dia tepat berada di samping pemuda itu. Namun, masih saja kesulitan untuk melihat wajah yang tertutup masker. Dia kemudian memiringkan tubuh hingga melewati tubuh pemuda tersebut. Kedua alis tebal pemuda bermasker itu berkerut, mungkin heran dengan tingkah sang gadis.
Menggunakan jari telunjuknya, pemuda itu mendorong kepala Juleha agar kembali ke posisi semula. Setelahnya, dia membuka masker dan memperlihatkan wajahnya.
"Puas-puasin liat kegantengan gue, ini, kan, yang lu mau," ucapnya sambil tersenyum sinis.
"Mana ada? Gue pikir lu copet, makanya gue samperin. Apa lu bilang? Ganteng? Sama Nasar KDI aja lebih ganteng daripada lu!" balas juleha sambil berlalu mendahului masuk ke bis yang baru saja datang sambil mengibaskan rambut ekor kuda miliknya.
Pemuda bernama Khairaf itu segera menyusul Juleha ke dalam bis dan duduk di belakang bangku gadis itu. Terdengar bisik-bisik dari beberapa siswa. Bahkan ada yang terang-terangan memuji ketampanan Khairaf.
"Ck, tampang gundulmu," gumam Juleha.
"Lu bilang apa? Gue denger, loh," bisik Khai tepat di telinga Juleha, hal tersebut membuat gadis itu kegelian. Reflek, dia memukul Khai hingga terjatuh.
“Sorry, lu, sih,” ujar Juleha sambil membantu berdiri tetapi ditepis oleh Khai.
“Gue tandain lu!” ketus Khai sambil berpindah tempat duduk berada jauh di depan Juleha. Dalam hati Juleha tak takut dengan ancaman Khai. "Paling cuma gertak doang," gumam Juleha.
Juleha semakin mempercepat langkah kaki. Dia bingung sekaligus takut, mengapa pemuda itu terus saja mengikuti sejak di halte hingga di tempatnya berekolah? Apakah dendam atau ada niat tersembunyi. Geram dia segera memutar tubuhnya, hampir saja sosok menyebalkan itu menabrak dirinya.
"Berani banget lu ikutin gue! Lu nggak tau ini wilayah gue!" ujar Juleha sambil menatap tajam Khai.
"Ngikutin lu? Ini juga sekolah gue. Dasar tulul!"
Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.
Masih memegang tangan Khai, Juleha terus berlari hingga keadaan dirasa aman dirinya baru berhenti. Tak kembali ke halte bus, dia memilih untuk putar arah ke tempat biasa angkot mangkal. Berjejerangkutan umum berwarna merah dengan nomor tujuan berbeda sesuai wilayah masing-masing. Setelah melepaskan tangan Khai, Juleha memilih meninggalkan pemuda itu.Khai hanya mematung melihat punggung Juleha yang kian menjauh. Sambil bergumam, "Gue belum ngucapin makasih dia udah kabur."Juleha sampai di rumahnya.
Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?Maemunah
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
"Apaan, sih, Bimo. Sumpah, gue capek banget sama kelakuan lu!" Cita kesal karena Bimo terus saja mengikutinya. Padahal hari ini dia berencana untuk mencegat Khai sebelum pemuda itu melewati gerbang sekolah. Namun sial, semua gagal gara-gara si bucin yang nggak ada akhlak."Beb, sumpah gue lope-lope banget sama lu. Yuk, Ayang Bim anter pulang," ujar Bimo sambil menyentuh tangan Cita tetapi segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu."Kudu berapa kali gue bilang, gue nggak pernah dan nggak akan suka sama lu. Jadi lu nyerah aja, udah nggak good looking nggak good rekening pula. Ngaca lu!" teriak Cita sambil meninggalkan Bimo sendiri.Bimo hanya terdiam, sakit rasanya setiap saat mendapatkan penolakan dari Cita. Tak terhitung apa saja kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu. Namun, dia selalu yakin dengan apa yang disebut kekuatan cinta. Hanya cinta yang mampu merubah dunia, hanya cinta yang akhirnya akan bisa meluluhkan hati Cita."Andaika
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?Maemunah
Masih memegang tangan Khai, Juleha terus berlari hingga keadaan dirasa aman dirinya baru berhenti. Tak kembali ke halte bus, dia memilih untuk putar arah ke tempat biasa angkot mangkal. Berjejerangkutan umum berwarna merah dengan nomor tujuan berbeda sesuai wilayah masing-masing. Setelah melepaskan tangan Khai, Juleha memilih meninggalkan pemuda itu.Khai hanya mematung melihat punggung Juleha yang kian menjauh. Sambil bergumam, "Gue belum ngucapin makasih dia udah kabur."Juleha sampai di rumahnya.
Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.