Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?
Maemunah masuk ke kamar Juleha, di tangan ada beberapa baju milik sang anak yang telah selesai disetrika. Segera saja dimasukkan baju-baju tersebut ke dalam lemari. Dia heran, ketika mendapati putri semata wayangnya mondar-mandir, seperti sedang memikirkan hal yang sangat serius. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, segera dihampiri anak gadisnya itu.
"Jangan gunain otak lu buat mikir, Jul, kasian ntar ngelag," celetuk Maemunah.
Juleha menatap emaknya sambil cemberut. Maemunah memang paling bisa bikin mood-nya berantakan. Tak mau ambil pusing, dia segera menghampiri Maemunah, lalu mengajaknya duduk di ranjang.
"Mak, kok, Leha baru tau, ya, kalo Nek Rom ada cucu di kota ini," ujar Juleha, memulai pembicaraan.
Kemudian, Maemunah bercerita tentang Khai yang memang memilih sekolah di sini karena ingin mandiri. Namun, pemuda itu baru kehilangan sahabat terbaiknya karena tawuran. Sehingga Romlah mengajaknya tinggal bersama karena takut sang cucu akan terus larut dalam kesedihan, apabila tinggal sendiri di dalam indekos.
"Lu kudu hibur Khai, temenin, jangan ngajakin berantem terus. Kesian dia," ujar Maemunah menasihati.
Juleha hanya diam. Jujur, dia merasa ikut prihatin dan sedih dengan apa yang menimpa Khai. Namun, dia masih merasa kesal dengan tingkah pemuda itu. Apalagi, untuk ukuran orang yang baru kehilangan, Khai terlihat baik-baik saja, tak ada kesedihan atau terluka di wajah pemuda songong itu.
Khai membuka jendela kamar, untuk mencari udara segar. Angin malam langsung menyapa tubuhnya. Dia tersenyum ternyata kamar tersebut bersebelahan dengan milik Juleha. Hanya terpisah setinggi perut. Bahkan, jika Khai mau, bisa saja dia meloncat dan langsung sampai di kamar gadis itu.
*****
"Leha, jangan lupa berangkat bareng, Khai!" teriak Maemunah. Juleha yang sudah di luar pintu rumah hanya menoleh ke arah emaknya tanpa menjawab. Tepat saat itu, Khai juga keluar dari rumah. Malas harus berjalan beriringan bersama, dia memilih pergi lebih dulu.
"Buru-buru amat," ucap Khai sambil mensejajari langkah Juleha. Gadis yang diajak bicara hanya menoleh sambil mengambil langkah lebih cepat. Tak mau kalah dia juga melangkah lebih cepat sehingga berjalan bersisian meski terkesan seperti sedang lomba jalan cepat.
Sampai di halte, bus yang menuju ke arah sekolah baru saja pergi. Juleha mengumpat kasar, rentetan kata makian khas kebun binatang dia ucapakan meski pelan tapi Khai masih bisa mendengarnya.
"Udah, jangan kesel. Gimana kalo kita adu lari aja," ujar Khai sambil merangkul bahu Juleha. Juleha yang merasa risi segera melepaskan diri.
"Gak usah kesempatan gitu dong, pake rangkul-rangkul," kata Juleha.
Bukannya menjawab, Khai justru terbahak. Hal tersebut membuat Juleha tak suka, dia lebih memilih untuk meninggalkan pemuda itu. Berharap di jalan bertemu dengan tukang ojek.
"Lu takut, 'kan, suka sama gue. nggak mau deket gue?" kata Khai sambil berjalan di sisi Juleha.
"Gak usah GR!"
Tiba-tiba saja Khai meraih tangan Juleha. Gadis itu menghentikan langkah kemudian mengakat genggaman tangan mereka sambil bertanya apa maksudnya. Khai tak menjawab hanya tersenyum, sambil mengajaknya berlari menuju ke sekolah.
Ini kali pertama bagi Juleha melakukan hal ini, rasanya sangat menyenangkan. Sebaris senyum muncul di bibirnya. Namun, setelah sadar jika Khai yang sedang bersamanya buru-buru dia mengubah ekspresi menjadi kesal. Jangan sampai Khai tahu pikirnya saat itu.
Sampai di depan sekolah, Juleha mencoba melepaskan tangannya dari Khai. Namun pemuda itu tak peduli dia terus menggenggam tangannya meski seluruh siswa menatap mereka penuh tanya.
"Lepasin, Khai," pinta Juleha.
"Bentar lagi sampai kelas, tanggung," balas Khai sambil tersenyum.
Kali ini, tak hanya tatapan dari mereka yang berpapasan dengan keduanya. Namun, juga siulan atau celetukan menanyakan tanggal dan pajak jadian. Juleha hanya menunduk sambil menggigit bibir, baru kali ini dipermalukan oleh anak baru.
Cita memandang tak suka pada Khai dan Juleha. Dari awal, dia memang memiliki hati pada pemuda itu. Namun, kini mengapa justru sahabatnya tega melakukan pengkhianatan padanya.
"Udah sampai, silakan duduk, Neng Juleha," ujar Khai sambil menarik kursi ke belakang agar Juleha mudah untuk duduk. Sorak-sorai dan siulan serta celetukan iseng mereka lontarkan untuk menggoda kedua orang itu.
"Berisik!" teriak Juleha yang membuat seisi kelas terdiam.
"Lu, jangan pernah berani berani menyentuh gue lagi!" titah Juleha kepada Khai.
"Kenapa, lu bilang nggak ngefek!"
Juleha menelan ludah. Khai ini benar-benar menyulut emosinya.
"Bikin salah paham orang yang ngeliat. Kudunya lu paham!" tegas juleha.
"Bodo amat sama yang liat, yang penting, 'kan, sebenarnya enggak!"
Juleha benar-benar gemas dengan kelakuan Khai. Bagaimana mungkin ada orang menyebalkan seperti itu. Apa yang dia tak mengerti dengan setiap kata yang gadis berlesung pipi itu katakan.
Tak tahan, Juleha memilih pergi ke toilet. Dia ingin membasuh wajahnya dengan air dingin untuk mengurangi hawa panas yang telah sampai di ubun-ubun. Sementara Cita diam-diam mengekor tanpa sepengetahuan gadis tomboi itu.
Khai duduk di bangku miliknya. Beberapa siswi mengerumuni sambil memberikan hadiah. Ada yang memberinya cokelat, susu kotak, bunga bahkan voucher internet unlimited.
"Leha, lu masih sahabat gue, 'kan?" tanya Cita ketika Juleha baru keluar dari toilet. Wajahnya yang basah dia lap menggunakan sapu tangan.
"Iye, kenapa, sih?" tanya Juleha tak paham.
"Gue suka sama Khai. Dia bakalan jadi pacar gue. Lu jangan terlalu deket sama dia."
"Gimana nggak deket, rumah gue sebelahan sama dia," ujar Juleha cuek.
"Seriusan. Oh my God! Ini kabar baik nggak sih, mulai sekarang gue bakal ngekos di rumah lu. Gue mau pindah ke rumah lu!" ujar Cita sambil memeluk Juleha.
"Jangan gila, deh, rumah lu aja luas bisa muaat orang se RT. Ngapain lu tinggal di rumah gue yang sempit!"
"Demi calon pacar!"
"Gue nggak peduli!" Juleha meninggalkan Cita sendiri. Namun, sahabatnya itu segera menyusul sehingga mereka kembali bersama.
Cita dan Juleha sampai di kelas. Lantas duduk di bangku mereka. Masih ada beberapa siswi yang berkerumun di bangku Khai.
"Khai, lu nggak ada hubungan apa-apa, kan, sama Leha?" tanya Kania sambil melirik ke arah Juleha yang dibalas pelototan oleh gadis itu.
"Enggak, dong," balas Khai santai.
"Bagus, deh, kalo sama gue, lu mau ada apa-apa nggak, Khai?" tanya Kania sambil malu-malu. Gadis berambut sebahu itu memiliki wajah yang manis. Sebenarnya dia pemalu, tatapi entah dari mana dia berani mengungkapkan perasaan kepada cowok yang baru ditemuinya dua hari ini.
"Boleh-boleh," balas Khai sambil tersenyum.
Tak hanya Juleha yang terkejut. Pun Cita yang sudah jatuh cinta pada pemuda itu, pupus sudah harapannya. Segampang itu Khai mau diajak jadian oleh Kania.
"Asik, jadi, sekarang kita pacaran?" tanya Kania masih tak percaya. Suaranya yang cempreng membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Karena penasaran siwa yang lain ikut mendekat ke arah meja tempat mereka berkumpul.
"Boleh ... boleh," jawab Khai santai sambil tersenyum.
Juleha semakin heran, sepertinya ada yang bermasalah dengan sistem kerja otak milik Khai. Bagaimana mungkin dia menerima perasaan seseorang tanpa berpikir terlebih dahulu. Cita pergi begitu saja, sepertinya gadis itu baru saja patah hati. Juleha benci dengan Khai. Dasar Alien!
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
"Apaan, sih, Bimo. Sumpah, gue capek banget sama kelakuan lu!" Cita kesal karena Bimo terus saja mengikutinya. Padahal hari ini dia berencana untuk mencegat Khai sebelum pemuda itu melewati gerbang sekolah. Namun sial, semua gagal gara-gara si bucin yang nggak ada akhlak."Beb, sumpah gue lope-lope banget sama lu. Yuk, Ayang Bim anter pulang," ujar Bimo sambil menyentuh tangan Cita tetapi segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu."Kudu berapa kali gue bilang, gue nggak pernah dan nggak akan suka sama lu. Jadi lu nyerah aja, udah nggak good looking nggak good rekening pula. Ngaca lu!" teriak Cita sambil meninggalkan Bimo sendiri.Bimo hanya terdiam, sakit rasanya setiap saat mendapatkan penolakan dari Cita. Tak terhitung apa saja kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu. Namun, dia selalu yakin dengan apa yang disebut kekuatan cinta. Hanya cinta yang mampu merubah dunia, hanya cinta yang akhirnya akan bisa meluluhkan hati Cita."Andaika
"Pokonya Leha nggak mau, Mak!" tolak Juleha, gadis berpenampilan kumal."Eh, lu itu anak gadis, ngapa kagak mau rawat diri, sih, jaman sekarang kudu gudluking, glowing, dan melting. Nah, lu, kek gombal kompor. Buruan mandi! Atau emak panggilin tukang pemandi jenazah!" ancam Maemunah. Dia sudah sangat sabar menghadapi kelakuan anak gadis satu-satunya itu.Mau tak mau Leha, menuju ke kamar mandi dan segera mengguyur seluruh tubuhnya. Asal terkena air saja, bagi gadis itu sudah cukup.
Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.
"Apaan, sih, Bimo. Sumpah, gue capek banget sama kelakuan lu!" Cita kesal karena Bimo terus saja mengikutinya. Padahal hari ini dia berencana untuk mencegat Khai sebelum pemuda itu melewati gerbang sekolah. Namun sial, semua gagal gara-gara si bucin yang nggak ada akhlak."Beb, sumpah gue lope-lope banget sama lu. Yuk, Ayang Bim anter pulang," ujar Bimo sambil menyentuh tangan Cita tetapi segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu."Kudu berapa kali gue bilang, gue nggak pernah dan nggak akan suka sama lu. Jadi lu nyerah aja, udah nggak good looking nggak good rekening pula. Ngaca lu!" teriak Cita sambil meninggalkan Bimo sendiri.Bimo hanya terdiam, sakit rasanya setiap saat mendapatkan penolakan dari Cita. Tak terhitung apa saja kata-kata kasar yang keluar dari mulut gadis pujaannya itu. Namun, dia selalu yakin dengan apa yang disebut kekuatan cinta. Hanya cinta yang mampu merubah dunia, hanya cinta yang akhirnya akan bisa meluluhkan hati Cita."Andaika
Juleha masih tak habis pikir dengan perubahan sikap Cita. Bahkan, dari awal masuk selepas istirahat hingga bel tanda pulang sekolah berbunyi, gadis itu hanya diam tak secerewet biasanya. Sikap dingin tersebut membuat Juleha terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi dengan sang sahabat itu. Adakah yang salah? Atau dia tengah memiliki masalah? Tak ingin dianggap kepo atau terlalu mencampuri urusan pribadinya, Juleha memilih ikut diam sambil menunggu mungkin nanti Cita akan bercerita di waktu yang tepat."Cita, are you oke?" tanya Juleha."Oke, kok, gue balik duluan," balas Cita dingin, sambil berlalu meninggalkan Juleha. Sementara Bimo segera mengejar gadis pujaannya itu.Tak mau ambil pusing, Juleha segera membereskan buku-bukunya dan memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Sementara Khai dia masih dipusingkan dengan Kania."Pliss, Khai, gue nggak mau kita putus. Pliss maafin gue," mohon Kania sambil memegangi tangan Khai.
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, Juleha segera berlari ke luar kelas. Kali ini, dia akan menemui Pak Salman guna membahas perihal pertukaran pelajar itu. Khai yang melihat hal tersebut segera saja ingin menyusul tetapi ditahan oleh Kania."Kantin, yuk, Beb, gue laper," ujar pacar Khai tersebut sembari menggandeng tangan pemuda tampan itu. Khai tak bisa menolak terpaksa mengikuti ke mana sang kekasih itu membawanya.Sementara Juleha kini tengah berada di ruang guru."Nggak bisa, Jul. Ini sudah pertimbangan dewan guru. Lagian ini bisa jadi nilai plus buat kamu pas nanti masuk ke Universitas, cuma sebentar juga," ujar Pak Salman ketika Juleha mencoba mengungkapkan pendapatnya.Dalam hati Juleha berkata ini bukan soal lama atau sebentar. Seandainya dia tak pernah berurusan dengan tiga cecunguk itu mungkin tak seberat ini untuk menerima keputusan dari sekolah. Dia takut, seandainya mereka tahu dia berada di sekolah tersebut entah balas dendam
Juleha dan Khai terus saja kejar-kejaran. Dan anehnya bukannya pulang, Khai justru memilih masuk ke rumah gadis itu untuk meminta perlindungan dari Maemunah.Maemunah yang saat itu tengah membuat kue bolu tanpa sengaja menumpahkan adonan yang hendak ia masukan ke dalam oven. Hal tersebut karena tanpa sengaja Khai dan Juleha yang berlarian di sekitar sana menyenggol loyang tersebut hingga terjatuh."Setaaaaaaaanggggggg!!!!!" teriak MaemunahKhai dan Juleha kompak langsung berlutut dengan menjewer telinga masing-masing tanda bersalah."Maafin Leha, Mak.""Khai juga, Tante!""Kalian pikir kalian siapa? Rahul sama Anjeli, ngapain lari-lari kaya lagi syuting film india!" omel Maemunah."Ini semua gara-gara, Khai!""Demi Alex, Tante, apa yang Juleha bilang itu fitnah!" bela Khai dengan wajah memelas."Gosah akting, lu!" Tangan Juleha sudah mengepal dan siap memukul kepala Khai. Namun dengan sigap Maemunah menangk
Demi kerang, kenapa hidup Juleha terasa dikutuk. Kenapa harus terus berhubungan dengan Khai. Bagaimana mungkin pemuda tengil itu terus saja berkeliaran di sekitarnya. Ingin rasanya menendang seseorang yang tengah menatapnya di balik jendela ke luar galakasi. Namun, urung karena hal itu sangat mustahil."Ngapain, sih, lu di mari. Gue mo istirahat," ketus Juleha."Balik sama siapa lu barusan," tanya Khai sambil loncat melewati jendela sehingga kini dia berada di kamar Juleha."Sopan banget lu, ya, jadi orang, main masuk kamar gue seenaknya. Pergi nggak lu!" usir Juleha sambil mendorong tubuh Khai.Khai hanya tersenyum, sambil memegang tangan Juleha. Kesal, gadis itu lantas menginjak kaki Khai sekuat tenaga. Seperti paham situasi pemuda itu justru menghindar hingga membuatnya kesal."Enggak kenak, weeeee!" ledek Khai sambil menjulurkan lidah.Malas berdebat, Juleha memilih duduk di kursi yang terletak di dekat ranjang miliknya. Se
Juleha benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Kania dan Khai. Bagaimana mungkin mereka akhirnya jadian dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa PDKT. Apakah bagi mereka pacaran itu hanya permainan yang tak perlu dipikirkan baik buruknya. Bu Gita datang untuk memulai pelajaran. Sementara Juleha risau karena Cita tak kunjung kembali ke bangku miliknya hingga waktu jam pelajaran pertama habis. Tak ada yang tahu ke mana perginya gadis itu, bolak-balik Juleha mengirim pesan tetapi diabaikan, tak ada satu pun yang dibalas. Juleha membalikkan tubuhnya, menghadap Khai sambil menatap tajam. Gara-gara pemuda tengil itu, Cita bolos pelajaran di hari pertama. "Kenapa, sih, Neng?" tanya Khai. "Berani panggil Neng, gue pacul, nih!" ancam Juleha tak suka, jika harus berbasa-basi dengan Khai. Pokoknya, setiap kali berurusan dengan Khai emosinya meningkat sepuluh kali lipat. "Iye, ada apa, sih!" "Ada apa, nggak mikir ya cinta instan lu sama Kan
Juleha mondar-mandir di kamar. Meski hari sudah malam tetapi jendela di kamarnya sengaja dibiarkan terbuka. Entah mengapa, akhir-akhir ini hawa di kota tempat tinggalnya semakin panas saja. Gadis itu sedang berpikir tentang Khai. Selama ini, dia tak pernah tahu jika Romlah memiliki cucu yang masih tinggal di kota yang sama. Setahu Juleha semuanya berada di luar kota, satu di Palembang, sedangkan satu lagi di Jogjakarta. Lantas, siapa Khai? Dari mana asal dia sebenarnya?Maemunah
Masih memegang tangan Khai, Juleha terus berlari hingga keadaan dirasa aman dirinya baru berhenti. Tak kembali ke halte bus, dia memilih untuk putar arah ke tempat biasa angkot mangkal. Berjejerangkutan umum berwarna merah dengan nomor tujuan berbeda sesuai wilayah masing-masing. Setelah melepaskan tangan Khai, Juleha memilih meninggalkan pemuda itu.Khai hanya mematung melihat punggung Juleha yang kian menjauh. Sambil bergumam, "Gue belum ngucapin makasih dia udah kabur."Juleha sampai di rumahnya.
Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.