Sabtu siang, gedung pertemuan terbesar di Kota Pontianak dipenuhi banyak orang. Para tamu datang silih berganti dengan menggunakan pakaian terbaik, dan mobil-mobil mentereng.Semua ajudan kompak mengenakan kemeja batik biru mengilat dan celana biru tua. Sementara para pengawal lapis satu dan dua mengenakan setelan rompi tuksedo hitam. Kendatipun penyejuk udara di dalam ruangan telah bekerja maksimal, tetapi karena sinar terik siang itu menjadikan hawa panas masih terasa. Area depan yang telah dipasangi tenda, akhirnya menjadi tempat favorit sebagian besar tamu dari luar kota. Terutama karena disediakam AC besar dan banyak kipas angin, hingga udaranya lebih sejuk daripada di dalam yang banyak orang. Akan tetapi, beberapa menit sebelum acara hiburan dimulai, semua orang di bagian luar memasuki ruangan. Mereka menyiapkan ponsel masing-masing untuk merekam drama yang akan ditampilkan para senior. Genderang perang terdengar dari pengeras suara. Perhatian orang-orang tertuju pada pintu
Jalinan waktu terus bergulir. Senin pagi, rombongan pimpinan Chairil telah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Jakarta. Hampir semua orang terlelap, akibat kelelahan karena padatnya jadwal selama tiga hari kemarin. Hanya ada sedikit yang masih terjaga dan mereka sibuk berbincang dengan berbagai topik.Hisyam menggeliat pelan di kursinya. Perjalanan panjang dari London yang dilanjutkan dengan penerbangan ke Pontianak hanya selang beberapa hari, menyebabkan tubuhnya pegal-pegal. Hisyam melirik ke kanan. Dia mengulum senyuman menyaksikan Utari dan Fatma tidur dengan menempelkan kepala mereka. Tatapan Hisyam beralih ke sekitar. Rekan-rekannya telah terlelap di kursi deretan belakang. Demikian pula dengan para orang tua yang menempati deretan kiri. Panggilan Alvaro membuat Hisyam menengadah Dia spontan mengangguk, lalu melepaskan sabuk pengaman. Hisyam berdiri dan menyambangi pria berparas separuh luar negeri di kursi paling depan. "Juna, pindah ke kursi Om Hisyam. Padr
Suasana hening melingkupi area pemakaman di wilayah Jakarta Selatan. Hanya ada sedikit orang di sana yang sedang berziarah. Selebihnya sunyi. Seorang perempuan tua memandangi pusara di hadapannya dengan tatapan nanar. Sekali-sekali dia akan mengusap matanya yang berair. Kemudian dia bermonolog sambil membayangkan sosok suaminya yang telah wafat 5 tahun silam. Sulistiana mengadukan kegundahan hatinya, akibat rencana pernikahan putri bungsunya. Sulistiana sangat berharap jika Dhahir Dewawarman bisa mendengarkan curahan hatinya. Meskipun dunia mereka sudah terpisah. Langit senja kian menggelap. Sulistiana menengadah untuk memandangi sang surya yang makin meredup. Sebelum akhirnya benar-benar tenggelam di ufuk barat. Perempuan tua berjilbab krem menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sulistiana enggan beranjak karena masih merindukan suaminya. Sulistiana mengalihkan pandangan pada beberapa orang pengunjung makam lainnya yang bergerak menjauh. Dia mendengkus pelan, la
"Bang, aku tadi nggak dengar informasi awal dari Mas Elkaar. Dia bilang apa?" tanya Hisyam yang berada di kursi tengah bersama Jauhari dan Mukti. "Mas Elkaar menjelaskan hasil pengintaian anak buahnya di stasiun, terminal bus dan bandara. Tapi nggak ada info tentang Bu Sulistiana," sahut Wirya yang berada di kursi samping sopir. "Terus, gimana?" "Terpaksa kita cari di berbagai tempat. Bagian kita, hotel-hotel di kawasan Tendean sampai Gatot Subroto." "Ditanyain satu-satu?" "Ya. Cara manual memang terkesan lama. Tapi, ini cara satu-satunya yang bisa kita lakukan buat nyari beliau." "Enggak dicari ke luar Jakarta? Maksudku, Bekasi, Depok dan sekitarnya." "Ini lagi dijalankan. Tim Galang, Aswin, Fajar, Nugraha dan Salman yang bergerak ke sana. Mas Dharma dan Bang Nasir, langsung ke Bandung. Ada sahabat karib dan sepupu Bu Sulistiana di sana. Mungkin mereka bisa ngasih info." "Tim Bandung, sudah bergerak?" "Hendri lagi ngatur di sana. Karena semua pengawas sedang nyari di sini, a
"Awas!" seru seorang pria bersweter abu-abu, sambil menarik orang di depannya. Pekikan orang-orang yang berada di tepi jalan raya Kota London, mengiringi gerakan cepat Hisyam Fayadh yang berhasil menjauhkan seorang perempuan berambut panjang, yang nyaris ditabrak mobil di perempatan itu. "Astagfirullah!" jerit Utari Pratista Dewawarman, sembari mengusap dadanya yang berdebar-debar. "Ya, Allah," rintihnya sambil mengatur napas yang sempat tercekat."Non, nggak apa-apa, kan?" tanya Hisyam, pengawal lapis tiga PBK yang tengah menemani Utari jalan-jalan. "Ehm, ya, aku nggak apa-apa," cicit Utari sembari memejamkan mata. "Lututku lemas," rengeknya. Hisyam memindai sekitar, kemudian dia menuntun Utari ke salah satu kafe kecil di tepi jalan. Keduanya menempati kursi di meja terdepan. Pegawai kafe segera memberikan minuman pada Utari, karena dia memahami jika perempuan tersebut tengah syok. "Non melamun," ucap Hisyam sambil memandangi Nona muda keluarga Dewawarman di kursi seberang.Utar
Hisyam memandangi layar laptop yang menampilkan data unit kerja PBK yang dikirimkan Mardi melalui surel. Sang direktur operasional PBK tersebut akan selesai masa tugasnya beberapa bulan lagi, dan Hisyam yang akan menggantikan posisi Mardi. Kendatipun tahu jika tugasnya akan bertambah berat karena unit kerja PBK lebih banyak daripada PG, tetapi Hisyam yakin bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Posisi Hisyam di PG cabang Eropa akan digantikan Rangga, Adik Wirya, direktur utama PBK dan BPAGK, tempat di mana Hisyam pernah bekerja, sebelum dipindahkan ke Eropa. Rangga saat itu menjabat manajer HRD BPAGK. Dia dipilih Tio dan lima ketua tim PG untuk memimpin kantor cabang Eropa. Kinerja bagus Rangga selama tiga tahun terakhir di BPAGK, menjadi alasan kuat dirinya diberikan tugas penting tersebut.Selain Rangga, ada beberapa pengawal muda yang akan membantunya dan Hisyam bekerja. Mereka akan bersinergi dengan beberapa perusahaan anggota PC yang berada di London, Paris dan Denhag. "Syam,
Pekikan Utari mengejutkan orang-orang di ruang tamu rumah khusus karyawan PG dan PBK di London. Hisyam dan teman-temannya bertambah heran, karena gadis berkulit kuning langsat tersebut berjoget sambil tersenyum lebar.Penjelasan dari Fatma akhirnya bisa dipahami Hisyam. Dia mengulum senyuman menyaksikan tingkah Adik bungsu Heru, yang kentara sekali sedang berbahagia. Setelah Utari tenang, Hisyam mendatangi gadis berhidung bangir dan menyalaminya sambil mengucapkan selamat. Pria berkaus turkish terkejut ketika Utari memeluknya sembari mengucapkan terima kasih. "Terima kasih buat apa, Ri?" tanya Hisyam sambil menolak tubuh. "Abang sudah bantu aku bekerja dengan baik di sini. Hingga Mas Tio dan yang lainnya mempercayakan posisi penting itu padaku," jelas Utari sembari mundur sedikit. Dia malu karena memeluk Hisyam dengan spontan, hingga dipandangi yang lainnya. "Aku cuma berkontribusi sedikit. Selebihnya, kamu memang bagus hasil kerjanya. Aku juga terbantu banget, karena sejak ada ka
Penerbangan selama 1 jam 35 menit akhirnya usai. Setelah hampir semua penumpang turun, barulah Hisyam mengajak kelompoknya melangkah keluar pesawat. Mereka mengucapkan terima kasih pada crew pesawat yang membalas dengan seulas senyuman. Utari menggandeng Hanania. Mereka jalan mengekori langkah Hisyam, Sudrajat dan Jaka. Sedangkan Irfan dan Fatma menutup barisan. Ketujuh orang tersebut mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang hingga tiba di tempat pengambilan bagasi. Sebab tidak membawa koper besar, mereka tidak berhenti di sana, dan meneruskan langkah hingga tiba di depan area kedatangan. Hisyam mendatangi seorang pria asli Spanyol, yang menggunakan setelan jas hitam, dengan logo PBK di ujung kerah kiri. Lelaki berambut cepak memberi hormat yang dibalas kelima pengawal dengan hal serupa. Utari dan Hanania hanya mengangguk sopan pada ketua regu pengawal area Swiss. Seusai berbincang sesaat, pria bersetelan jas hitam yang bernama Delamo, mengajak kelompok tersebut menuju tempat