Suasana hening melingkupi area pemakaman di wilayah Jakarta Selatan. Hanya ada sedikit orang di sana yang sedang berziarah. Selebihnya sunyi. Seorang perempuan tua memandangi pusara di hadapannya dengan tatapan nanar. Sekali-sekali dia akan mengusap matanya yang berair. Kemudian dia bermonolog sambil membayangkan sosok suaminya yang telah wafat 5 tahun silam. Sulistiana mengadukan kegundahan hatinya, akibat rencana pernikahan putri bungsunya. Sulistiana sangat berharap jika Dhahir Dewawarman bisa mendengarkan curahan hatinya. Meskipun dunia mereka sudah terpisah. Langit senja kian menggelap. Sulistiana menengadah untuk memandangi sang surya yang makin meredup. Sebelum akhirnya benar-benar tenggelam di ufuk barat. Perempuan tua berjilbab krem menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sulistiana enggan beranjak karena masih merindukan suaminya. Sulistiana mengalihkan pandangan pada beberapa orang pengunjung makam lainnya yang bergerak menjauh. Dia mendengkus pelan, la
"Bang, aku tadi nggak dengar informasi awal dari Mas Elkaar. Dia bilang apa?" tanya Hisyam yang berada di kursi tengah bersama Jauhari dan Mukti. "Mas Elkaar menjelaskan hasil pengintaian anak buahnya di stasiun, terminal bus dan bandara. Tapi nggak ada info tentang Bu Sulistiana," sahut Wirya yang berada di kursi samping sopir. "Terus, gimana?" "Terpaksa kita cari di berbagai tempat. Bagian kita, hotel-hotel di kawasan Tendean sampai Gatot Subroto." "Ditanyain satu-satu?" "Ya. Cara manual memang terkesan lama. Tapi, ini cara satu-satunya yang bisa kita lakukan buat nyari beliau." "Enggak dicari ke luar Jakarta? Maksudku, Bekasi, Depok dan sekitarnya." "Ini lagi dijalankan. Tim Galang, Aswin, Fajar, Nugraha dan Salman yang bergerak ke sana. Mas Dharma dan Bang Nasir, langsung ke Bandung. Ada sahabat karib dan sepupu Bu Sulistiana di sana. Mungkin mereka bisa ngasih info." "Tim Bandung, sudah bergerak?" "Hendri lagi ngatur di sana. Karena semua pengawas sedang nyari di sini, a
Puluhan menit terlewati, kelompok pimpinan Chairil telah berada di mobil operasional SAG, yang dipinjamkan supervisor area itu. Qadry yang menjadi sopir, mendengarkan arahan Heru yang mendampinginya di kursi depan. Pada kursi tengah, Alvaro sibuk berbincang dengan Wirya melalui sambungan telepon jarak jauh. Sementara Atalaric dan Chairil tampak berbalas pesan dengan rekan-rekannya di berbagai grup. Demikian pula dengan Ikmal dan Zainuddin, yang menjadi penyebar informasi di beberapa grup pengawal muda. Perjalanan 1 jam 40 menit itu terasa sangat lama oleh Heru. Dia sangat ingin segera sampai dan menjumpai Sulistiana. Putra sulung keluarga Dewawarman tersebut mengkhawatirkan keondisi ibunya yang harus rutin mengonsumsi obat, untuk mengendalikan gula darah, dan berbagai penyakit lain. Sesampainya di tempat tujuan, hanya Alvaro yang turun dari mobil untuk berpindah ke mobil sewaan Wirya. Selanjutnya, kedua mobil itu melaju keluar dari area parkir hotel tempat tim Wirya menginap sejak
Kedatangan Sulistiana malam itu disambut Sekar dengan pelukan erat. Demikian pula dengan Tania yang sangat merindukan eyangnya. Seusai berbincang sesaat, Alvaro mengajak anak buahnya pulang. Dia meminta diantarkan Nawang ke rumah Ira, karena Mayuree dan Arjuna menunggu di sana. Hisyam ikut menaiki mobil Wirya yang dikemudikan Riaz. Sepanjang jalan menuju rumah dirut PBK, Hisyam hanya diam dan terlihat melamun. Hal itu menjadikan Wirya prihatin dan dia menepuk-nepuk punggung juniornya untuk memberikan semangat. Setibanya di kediaman Wirya, Hisyam meminta izin untuk menginap di kamar tamu. Dia enggan pulang ke mess, karena pasti akan ditanyai rekan-rekannya. Wirya memandangi hingga juniornya menghilang di balik pintu kamar. Wirya menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia memahami kegundahan Hisyam dan akan selalu memberikan dukungan buat salah satu ajudan kesayangannya. Wirya melirik istrinya yang sedang menyiapkan minuman. Kemudian dia mendatangi Delany dan memelu
Langit sudah gelap ketika mobil MPV abu-abu yang dikemudikan Syuja tiba di depan rumah Hisyam. Semua penumpang turun, lalu bekerjasama mengeluarkan barang-barang bawaan mereka.Perabotan yang dipesan dari Alvaro telah tiba sejak beberapa hari lalu. Rumah itu juga sudah dibersihkan beberapa orang sewaan dari perusahaan jasa pembersihan, langganannya para bos PBK.Selain rumah Hisyam, rumah Jauhari, Yusuf, Aditya, Dimas dan Syuja juga turut dibersihkan, sebagai persiapan tempat menginap keluarga besar Hisyam, dan orang tua para sahabatnya yang turut diundang di acara akad serta resepsi pertama. Setelah semua bawaan disusun rapi, Jauhari dan rekan-rekannya melepaskan bungkus kasur lipat serta bantal. Mereka menyusunnya di kamar utama dan dua kamar lainnya di rumah Hisyam. Sisa kasur dan bantal tidak dibuka bungkusnya, melainkan dipindahkan ke lima rumah lainnya. Tidak berselang lama, Atalaric datang bersama Ikmal. Mereka membawakan belanjaan dari Utari yang segera dimasukkan ke lemari
Pertemuan keluarga sekaligus lamaran di kediaman Heru, berlangsung khidmat. Ezhar, Ayah Tohpati, menjadi penyambut dari keluarga Dewawarman. Bersama Gamal, adiknya, Ezhar menerangkan silsilah keluarga Dewawarman, yang dimulai dari pernikahan buyut mereka, yang berasal dari Salatiga dan Demak. Selain itu, Ezhar dan Gamal juga menceritakan sosok almarhum Kakak mereka, Dhahir, yang telah wafat 5 tahun silam. Sepasang mata bermanik cokelat milik Utari, tampak berkabut saat mengingat ayahnya. Pria yang mewariskan garis wajahnya pada Heru dan Utari, adalah Ayah yang baik serta perhatian pada keluarga. Dhahir Dewawarman juga dikenal sebagai pengusaha paling sederhana dan low profile. Pria berkulit kecokelatan itu juga dikenal kerabat dan handai taulan sebagai orang yang cukup religius. Sulistiana menekan-nekan sudut matanya dengan saputangan merah. Sedangkan Sekar dan Utari mengusap mata serta hidung mereka dengan tisu. Setelah Ezhar dan Gamal kembali duduk di tempat semula. Ulwan berd
Senin pagi, Hisyam dan teman-temannya sudah berada di kantor PBK. Mereka berkumpul di depan ruang rapat, sambil menunggu para bos tiba. Beberapa menit setelah pukul 9, Wirya muncul bersama rekan-rekannya. Hadrian, Ivan dan Virendra menyusul bersama Tio, Heru, Benigno, Dante dan Baskara. Semua pengawal muda berdiri dan mengikuti langkah para bos memasuki ruang rapat, yang AC-nya telah dinyalakan OB sejak tadi. Andri memimpin pertemuan dengan untaian doa. Kemudian dia meminta kedua asistennya untuk membagikan kotak makanan pada semua orang. Andri menyalakan laptop, lalu mengecek kabel koneksi ke in focus. Setelah yakin benda itu berfungsi dengan baik, Andri memasang mikrofon kecil ke kerah kemeja safari hitamnya. Selama belasan menit berikutnya, direktur marketing PBK memaparkan detail pengamanan pada acara akad, resepsi pertama dan kedua, antara Hadrian dan Zaara. Andri juga menerangkan beberapa hal kecil yang mendukung suksesnya acara di dua kota itu. Selanjutnya Andri memberika
Malam itu, Hisyam berusaha sedapat mungkin menahan kantuk. Dia tidak tega melihat Heru berjaga sendirian. Sedangkan Utari sudah terlelap sejak tadi di kamar depan. Paviliun tempat perawatan Sulistiana memberikan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut. Setiap ruangan kelas itu, memiliki dua kamar dan perabotan lengkap layaknya hotel. Hisyam bangkit duduk, lalu memijat lehernya yang sedikit pegal. Dia mengamati Heru yang sedang memelototi layar laptop, sembari menyandar ke tumpukan bantal di sofa besar. Hisyam berdiri dari sofa panjang dan jalan ke depan. Setibanya di teras paviliun, dia menggeliat sembari mengeluarkan sedikit suara, yang memancing Zainuddin dan Chalid memandanginya. "Aku mau ke mini market depan. Kalian mau nitip apa?" tanya Hisyam. "Aku mau kopi, Bang. Yang di sini, rasanya kurang nendang," pinta Zainuddin. "Aku ikut aja, deh. Mau milih cemilan," sahut Chalid sambil berdiri. "Kamu, masuk dan temani Pak Heru," cakap Hisyam yang dibalas anggukan Zainuddin. Ked
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin