Yang baca runut cerita Emak, pasti tahu kejadian yang diceritakan di chat grup. Yang belum tahu, cuzzz baca Pengantin Kedua Janardana. Sudah tamat ^^
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
"Awas!" seru seorang pria bersweter abu-abu, sambil menarik orang di depannya. Pekikan orang-orang yang berada di tepi jalan raya Kota London, mengiringi gerakan cepat Hisyam Fayadh yang berhasil menjauhkan seorang perempuan berambut panjang, yang nyaris ditabrak mobil di perempatan itu. "Astagfirullah!" jerit Utari Pratista Dewawarman, sembari mengusap dadanya yang berdebar-debar. "Ya, Allah," rintihnya sambil mengatur napas yang sempat tercekat."Non, nggak apa-apa, kan?" tanya Hisyam, pengawal lapis tiga PBK yang tengah menemani Utari jalan-jalan. "Ehm, ya, aku nggak apa-apa," cicit Utari sembari memejamkan mata. "Lututku lemas," rengeknya. Hisyam memindai sekitar, kemudian dia menuntun Utari ke salah satu kafe kecil di tepi jalan. Keduanya menempati kursi di meja terdepan. Pegawai kafe segera memberikan minuman pada Utari, karena dia memahami jika perempuan tersebut tengah syok. "Non melamun," ucap Hisyam sambil memandangi Nona muda keluarga Dewawarman di kursi seberang.Utar
Hisyam memandangi layar laptop yang menampilkan data unit kerja PBK yang dikirimkan Mardi melalui surel. Sang direktur operasional PBK tersebut akan selesai masa tugasnya beberapa bulan lagi, dan Hisyam yang akan menggantikan posisi Mardi. Kendatipun tahu jika tugasnya akan bertambah berat karena unit kerja PBK lebih banyak daripada PG, tetapi Hisyam yakin bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Posisi Hisyam di PG cabang Eropa akan digantikan Rangga, Adik Wirya, direktur utama PBK dan BPAGK, tempat di mana Hisyam pernah bekerja, sebelum dipindahkan ke Eropa. Rangga saat itu menjabat manajer HRD BPAGK. Dia dipilih Tio dan lima ketua tim PG untuk memimpin kantor cabang Eropa. Kinerja bagus Rangga selama tiga tahun terakhir di BPAGK, menjadi alasan kuat dirinya diberikan tugas penting tersebut.Selain Rangga, ada beberapa pengawal muda yang akan membantunya dan Hisyam bekerja. Mereka akan bersinergi dengan beberapa perusahaan anggota PC yang berada di London, Paris dan Denhag. "Syam,
Pekikan Utari mengejutkan orang-orang di ruang tamu rumah khusus karyawan PG dan PBK di London. Hisyam dan teman-temannya bertambah heran, karena gadis berkulit kuning langsat tersebut berjoget sambil tersenyum lebar.Penjelasan dari Fatma akhirnya bisa dipahami Hisyam. Dia mengulum senyuman menyaksikan tingkah Adik bungsu Heru, yang kentara sekali sedang berbahagia. Setelah Utari tenang, Hisyam mendatangi gadis berhidung bangir dan menyalaminya sambil mengucapkan selamat. Pria berkaus turkish terkejut ketika Utari memeluknya sembari mengucapkan terima kasih. "Terima kasih buat apa, Ri?" tanya Hisyam sambil menolak tubuh. "Abang sudah bantu aku bekerja dengan baik di sini. Hingga Mas Tio dan yang lainnya mempercayakan posisi penting itu padaku," jelas Utari sembari mundur sedikit. Dia malu karena memeluk Hisyam dengan spontan, hingga dipandangi yang lainnya. "Aku cuma berkontribusi sedikit. Selebihnya, kamu memang bagus hasil kerjanya. Aku juga terbantu banget, karena sejak ada ka
Penerbangan selama 1 jam 35 menit akhirnya usai. Setelah hampir semua penumpang turun, barulah Hisyam mengajak kelompoknya melangkah keluar pesawat. Mereka mengucapkan terima kasih pada crew pesawat yang membalas dengan seulas senyuman. Utari menggandeng Hanania. Mereka jalan mengekori langkah Hisyam, Sudrajat dan Jaka. Sedangkan Irfan dan Fatma menutup barisan. Ketujuh orang tersebut mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang hingga tiba di tempat pengambilan bagasi. Sebab tidak membawa koper besar, mereka tidak berhenti di sana, dan meneruskan langkah hingga tiba di depan area kedatangan. Hisyam mendatangi seorang pria asli Spanyol, yang menggunakan setelan jas hitam, dengan logo PBK di ujung kerah kiri. Lelaki berambut cepak memberi hormat yang dibalas kelima pengawal dengan hal serupa. Utari dan Hanania hanya mengangguk sopan pada ketua regu pengawal area Swiss. Seusai berbincang sesaat, pria bersetelan jas hitam yang bernama Delamo, mengajak kelompok tersebut menuju tempat
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin