Share

Bab 04 - Cadangan

Penerbangan selama 1 jam 35 menit akhirnya usai. Setelah hampir semua penumpang turun, barulah Hisyam mengajak kelompoknya melangkah keluar pesawat.

Mereka mengucapkan terima kasih pada crew pesawat yang membalas dengan seulas senyuman. Utari menggandeng Hanania. Mereka jalan mengekori langkah Hisyam, Sudrajat dan Jaka. Sedangkan Irfan dan Fatma menutup barisan.

Ketujuh orang tersebut mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang hingga tiba di tempat pengambilan bagasi. Sebab tidak membawa koper besar, mereka tidak berhenti di sana, dan meneruskan langkah hingga tiba di depan area kedatangan.

Hisyam mendatangi seorang pria asli Spanyol, yang menggunakan setelan jas hitam, dengan logo PBK di ujung kerah kiri. Lelaki berambut cepak memberi hormat yang dibalas kelima pengawal dengan hal serupa.

Utari dan Hanania hanya mengangguk sopan pada ketua regu pengawal area Swiss. Seusai berbincang sesaat, pria bersetelan jas hitam yang bernama Delamo, mengajak kelompok tersebut menuju tempat parkir khusus tamu VIP.

Keluarga Baltissen dan Pramudya, serta Pangestu, Aryeswara dan Janitra, merupakan kumpulan pengusaha asal Indonesia yang cukup disegani para pelaku bisnis di Swiss.

Kerjasama PG dan PBK dengan beberapa pengusaha asli Swiss, menambah erat hubungan bisnis tersebut. Selain itu, banyaknya orang lokal yang direkrut menjadi pengawal khusus pengusaha di sana, membuat banyak klien tertarik untuk menggunakan jasa pengamanan PBK.

Fatma yang baru kali itu mengunjungi Jenewa, sibuk memotret dan memvideokan apa pun yang terlihat di sepanjang jalan. Gadis berambut pendek mengirimkan beberapa foto dan video pada keluarganya, serta grup besar PBK.

Utari yang juga memotret sekitar, mengirimkan foto-foto pada Sulistiana dan ketiga kakaknya. Gadis berbibir penuh harus mengirimkan laporan setiap hari, agar keluarganya tenang.

Sesampainya di depan gedung kantor PG dan PBK, Hisyam, Sudrajat dan Jaka turun, lalu berpindah ke mobil SUV putih yang dikemudikan supervisor PG area tersebut. Sementara keempat orang lainnya diantarkan Delamo ke hotel yang jaraknya sekitar 300m dari kantor.

"Akhirnya, kita bisa istirahat," tutur Hanania, sesaat setelah turun dari mobil.

"Aku lapar," rengek Utari sambil memandangi ketiga ajudan yang tengah menurunkan keenam tas dari mobil.

"Kita ke restoran hotel. Di sana makanannya enak," usul Hanania.

"Ada kebab, nggak, Kak?"

Hanania mengangkat alisnya. "Kayaknya nggak ada."

"Hmm, aku pengen itu."

"Nanti malam saya antarkan ke restoran milik orang Turki, Nona," sela Delamo yang sejak tadi mendengarkan percakapan tersebut. Dia sudah cukup lancar berbahasa Indonesia, karena sering berlatih bersama teman-temannya.

"Beneran ada?" tanya Utari sambil membulatkan matanya.

"Ya, jaraknya juga tidak jauh dari sini. Hanya sekitar 5 kilometer."

"Oke. Kita berangkat jam 7."

"Siap, Nona."

Delamo berbincang sesaat dengan pegawai hotel, kemudian dia mengarahkan para tamu menuju restoran. Sementara barang-barang diantarkan ke tiga kamar di lantai dua.

"Padahal hotel ini bintang tiga, tapi interiornya sama dengan hotel-hotel keren di Indonesia," tukas Utari sembari memindai sekitar.

"Swiss tidak segan untuk menggelontorkan dana demi meningkatkan sarana wisata di sini," jelas Hanania yang sudah beberapa kali berkunjung ke negara tersebut.

"Kupikir, semua negara Eropa juga sama."

"Betul. Mereka tahu, pariwisata menjadi andalan untuk menambah devisa."

"Aku jadi pengen tinggal di sini."

"Non aja, ya. Aku nggak," sela Fatma yang jalan di belakang kedua perempuan tersebut.

"Kenapa?" tanya Utari.

"Hidungku langsung mampet ini. Padahal di sini pakai penghangat ruangan," keluh Fatma.

"Itu karena kamu belum terbiasa, Fa," timpal Irfan.

"Aku memang kurang kuat udara dingin, Bang," sanggah Fatma. "Di London kemaren, nggak sedingin di sini. Jadi hidungku aman," paparnya.

"Berarti kamu nggak bisa, dong, nikah sama Bang Ignazio."

Fatma mencebik. "Aku sama dia cuma teman."

"Tapi kayaknya dia beneran naksir kamu."

"Aku nggak mau punya suami produk asing. Maunya orang Indonesia aja."

"Oh, berarti aku, dong."

Fatma mendelik pada Irfan yang justru tersenyum. Utari dan Hanania serta Delamo serentak terkekeh, ketika Fatma meninju lengan seniornya yang terlambat menghindar.

***

Sore itu, Utari dan yang lainnya diajak Hisyam mengunjungi Lake Geneva. Danau tersebut juga dikenal dengan nama Lac Léman, yang terletak di perbatasan antara Swiss dan Perancis. Lake Geneva merupakan danau seluas 582 kilometer persegi yang terbentuk dari lelehan gletser pegunungan Alpen.

Dari danau itu, pengunjung bisa menikmati pemandangan Gunung Mont Blanc dan Grand Combine yang membuat area tersebut terlihat lebih cantik serta menawan.

Gadis berjaket tebal cokelat muda, meminta Irfan untuk memotret dirinya dan Fatma. Hisyam mengamati tingkah kedua perempuan muda yang terlihat begitu senang bisa berwisata, walaupun cuma sebentar.

Kala senja kian menggelap, keempatnya duduk di area sekitar danau sambil memandangi keindahan alam. Jaka dan istrinya tidak turut serta, karena Hanania masih kelelahan. Saat itu dia sedang mengandung empat bulan, hingga harus banyak istirahat. Sudrajat masih menyelesaikan keliling unit kerja hingga tidak bisa ikut berwisata.

Senyuman yang nyaris tidak berhenti terukir di wajah Utari, menjadikan parasnya berseri-seri. Hisyam memvideokan sang nona dari samping kiri. Dia terus memandangi perempuan berparas manis yang sangat ramah dan baik hati.

"Dari tadi, Abang motret dan videoin Non terus," ledek Irfan yang mengejutkan Hisyam.

"Ehm, itu nanti jadi bukti laporanku ke Pak Heru," kilah Hisyam sembari mengalihkan arah kamera ke tengah-tengah danau.

"Yang bener?"

Hisyam melirik juniornya. "Kenapa memangnya?"

"Kukira, Abang naksir Nona."

Hisyam menggeleng. "Aku kapok ngedeketin Nona muda dari keluarga kaya."

"Tapi Non Tari beda sama Non Laura."

"Tetap sama-sama anak keluarga miliarder."

"Non Tari muslim."

"Hmm, ya. Cuma itu aja perbedaan mereka. Lainnya hampir sama. Anak bungsu. Agak manja. Keras kepala, dan cerewet."

Irfan menyunggingkan senyuman lebar. "Sepertinya Abang sudah sangat mengenal karakter Non Tari."

Hisyam menurunkan kamera digital beresolusi tinggi miliknya, dan meletakkan benda itu ke pangkuan. "Aku kenal dia dari awal kerja di PBK. Selain dapat info dari Yusuf, aku juga dapat tambahan informasi dari Aditya, Sanjaya dan Robert. Mereka memulai karier jadi pengawal di keluarga Dewawarman."

Irfan mengangguk paham. "Aku memang baru kenal Non Tari, tapi aku bisa merasakan jika dia pribadi yang low profile."

"Ya, betul. Tari juga mandiri, pekerja keras dan mau dituntun. Aku takjub, dia cuek aja kerja jadi staf di sini. Padahal di perusahaan keluarga, jabatannya asisten direktur HRD."

"Bang, aku penasaran. Kenapa dia harus kabur ke sini?"

"Ceritanya panjang, Fan. Aku dengar detailnya dari Yusuf, Sanjaya dan Aditya. Nyesek dadaku."

"Jelasinlah, Bang. Kepo, euy."

Hisyam mengamati perempuan yang sedang diperbincangkan. "Intinya begini. Dia pacaran dengan mantan kekasih saat SMA dulu. Cowok itu baru setahun pulang ke Indonesia, tadinya di Singapura beberapa tahun."

"Tari mulai curiga kalau cowoknya punya selingkuhan. Karena Kiano, nama cowoknya, beberapa kali tertangkap sedang chat atau teleponan sama cewek lain."

"Sekali waktu, Tari membuntuti Kiano ke Singapura tanpa diketahui cowoknya itu. Ternyata Kiano janjian dengan perempuan lain yang dikenal Tari sebagai kerabat jauh Kiano."

"Aku nggak jelas detailnya gimana hingga Tari mendatangi pasangan itu di unit apartemen Kiano. Dia mengamuk karena Kiano berselimgkuh. Tapi ternyata, Tari-lah selingkuhan Kiano," pungkas Hisyam.

"Maksudnya gimana, Bang?" desak Irfan.

"Setelah putus dari Tari dulu, Kiano pacaran dengan perempuan itu. Mereka bahkan sudah tunangan, ketika Kiano kembali ke Indonesia dan ketemu Tari lagi," terang Hisyam.

Irfan terperangah. "Jadi, Non cewek cadangan?"

"Hu um. Makanya Tari syok, sampai nyaris pingsan di taksi. Waktu itu dia ditemani Dahlia dan Fatma, yang langsung laporan ke Bang W."

Irfan manggut-manggut. "Aku ada dengar selentingan kabar, Bang W dan Bang Yanuar menjemput seseorang di Singapura, beberapa bulan lalu."

"Hmm, gosipnya udah nyebar ternyata. Padahal benar-benar dirahasiakan."

"Banyak mata di Singapura, Bang. Kalau kejadiannya di Amerika, mungkin hanya sedikit yang tahu."

Hisyam mengangguk mengiakan. "Begitulah. Orang kita sulit untuk menjaga rahasia."

"Ehm, Bang, apa ada tindakan dari Pak Heru ke cowoknya Non?"

"Kalau nggak salah, info dari Sanjaya, Pak Heru melarang Tari ketemu cowok itu. Semua kontak diputus. Lalu, Tari diungsikan ke Salatiga, rumah eyangnya."

"Terus, ke London?"

"Ya. Waktu ditanya Pak Heru, Tari mau ke Sydney atau London, Tari milih London buat menenangkan diri. Sama Pak Tio disarankan buat kerja jadi staf PG, ehh, dia mau. Sampai akhirnya dia berhasil dapat restu ibunya buat stay setahun ke depan."

Irfan mengamati Nona muda yang sedang melakukan swa foto bersama Fatma. "Semoga dia bisa memulihkan hatinya yang sakit. Enggak kebayang aku, malu campur nyeseknya dijadikan cadangan."

"Karena itulah, aku berusaha menghiburnya. Terutama buat membalas budi ke Pak Tio yang menganggap Tari sebagai adiknya. Selain itu, juga membalas kebaikan Pak Heru dan Mas Atalaric."

"Mereka pernah bantu Abang?"

"Yoih. Terutama waktu pemilihan wakil PG. Awalnya Rangga yang akan dikirim ke London. Tapi, aku berhasil bujukin Pak Tio, Pak Dante, Pak Baskara dan Bang Varo, supaya aku aja yang berangkat."

"Dirembukkan di tim satu PG. Pak Heru, Kang Ian dan Mas Daru, ikut ngedukung aku. Hingga akhirnya tugas Rangga dipending dulu setahun."

"Kalau Mas Atalaric, dari pertama kenal dulu, sering ikut aku dan teman-teman kongkow. Cuek aja dia kami bawa ke warung kopi biasa. Jadinya aku udah nggak canggung buat ngobrol bareng beliau," pungkas Hisyam.

"Ke Mbak Sekar, Abang dekat nggak?" tanya Irfan.

"Enggak. Kalau ketemu, paling cuma say hello. Beliau paling pendiam di keluarga Dewawarman."

Setelah matahari tenggelam di ufuk barat, kelompok pimpinan Hisyam bergerak kembali ke hotel. Sebab jarak yang tidak terlampau jauh, mobil SUV putih yang merupakan kendaraan operasional PG, bisa segera tiba di tempat tujuan.

Puluhan menit terlewati, Utari tengah berdandan ketika ponselnya berbunyi. Perempuan berhidung bangir mengecek nomor yang ternyata tidak terdaftar di kontaknya. Kemudian Utari membiarkan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya.

Akan tetapi, ponselnya terus berdering. Utari mendengkus kuat, lalu menekan tanda hijau pada layar ponsel untuk menerima panggilan.

Sapaan seorang pria dari seberang telepon menyebabkan Utari menjengit Dia terpaku menatap pantulan diri di cermin sambil memegangi ponselnya.

"Tari, apa kamu mendengarkan ucapanku?" tanya Kiano Rahardian.

"Hmm, ya," cicit Utari.

"Aku sudah di London. Apakah kita bisa bertemu?"

"Enggak bisa."

"Kenapa?"

"Malas."

"Aku jauh-jauh datang untuk menemuimu dan menjelaskan semuanya."

"Apa lagi yang perlu diterangkan? Mas sudah menipuku!"

"Aku punya alasan untuk kembali menjalin hubungan denganmu."

"Alasan apa?"

"Aku mencintaimu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
preeet lah Kiano mah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status