07
"Harusnya jangan cuma ditendang sekali, Syam," tukas Adelard, sesaat setelah Utari selesai mengadukan peristiwa yang terjadi puluhan menit silam."Ho oh. Mestinya, hajar itu penjahat cinta,' sahut Mardi.
"Patah-patahin tulangnya, kayak yang biasa dilakukan Zulfi," imbuh Jaka.
"Gunakan wushu secara maksimal," papar Sudrajat.
"Kalau perlu, dielus lehernya pakai belati, kayak yang Bang Wirya lakuin dulu," cetus Beni.
"Stop!" desis Hanania. "Usul kalian nggak ada yang benar!" omelnya.
"Tapi, cowok itu memang harus dihajar, Kak. Aku masih belum puas lihat dia dipukulin Kak Dahlia, dulu," ungkap Fatma.
"Jangankan kamu, Fa, aku juga masih geram pengen mukulin dia, sekaligus menampar pacarnya itu," sela Utari. "Bisa-bisanya dia ngatain aku perebut tunangannya. Padahal aku nggak tahu kalau si piano rusak itu sudah bertunangan. Kalau tahu, nggak mungkin aku bertahan jadi kekasihnya!" sungutnya.
"Coba kalian tenang dulu. Kita fokus ke masalah tadi," tutur Hanania sambil mengarahkan pandangan pada pria berparas manis di kursi seberang. "Syam, kita harus bersiap-siap. Bisa saja orang itu akan melaporkanmu ke polisi," bebernya.
Hisyam tertegun. Dia tidak memikirkan akibatnya akan sejauh itu. "Ehm, kalau dia nekat ngelaporin, aku bakal balik laporkan dia," tuturnya.
"Atas dasar apa? Dia jelas bisa melaporkanmu atas tuduhan penganiayaan."
"Dia duluan yang nyerang dan aku hanya bertahan."
"Tapi tinjuannya nggak nyampe, karena kamu langsung nendang dia."
Hisyam kembali terdiam. "Ehm, ya, itu betul."
"Harusnya kamu biarkan dia ninju sekali," timpal Adelard. "Dengan begitu alibimu lebih kuat," sambungnya.
"Aku akan bersaksi membela Bang Hisyam," celetuk Utari.
"Ucapan VS ucapan. Sulit dimenangkan, Tari," balas Hanania yang merupakan lulusan fakultas hukum.
"Bisa," lontar Mardi. "Kita harus dapatkan rekaman CCTV di depan supermarket itu," terangnya.
"Tapi suaranya pasti nggak kedengaran, Bang," kilah Hanania.
"Enggak masalah. Kita cuma perlu membuktikan jika orang itu yang menyerang terlebih dulu. Namanya orang mau ninju, tangannya pasti diangkat dan dikepalkan," jelas Mardi.
Hanania memegangi pipinya. "Hmm, ya. Berarti harus meminta izin polisi. Kita nggak berhak memaksa pihak supermarket buat memperlihatkan rekaman itu."
"Oke, aku hubungi pengacara kita." Adelard bangkit dari kursinya. "Syam, siap-siap. Kita harus segera mendatangi beliau," lanjutnya.
"Aku ikut. Karena masalah ini bermula dariku," cetus Utari.
"Aku juga ikut," jawab Mardi.
Sementara di tempat berbeda, Kiano tengah mengompres rahang kirinya yang bengkak dan berdenyut. Telinganya pun masih berdenging akibat tendangan keras pria yang bersama Utari.
Kiano tidak menyangka bila pria berkulit kecokelatan akan menyerangnya tepat sasaran. Kiano menggerutu dalam hati, karena dia telah salah menilai lelaki tersebut.
Dandi muncul dari dapur sambil membawa baskom kecil berisi es batu. Dia mengambil handuk dari tangan Kiano, lalu merendam benda itu selama beberapa saat.
Dandi mengangkat handuk putih kecil dari baskom. Dia memeras benda itu hingga tidak tersisa airnya, lalu dia menempelkan handuk ke rahang Kiano yang memar.
"Menurutku, jangan dilaporkan peristiwa tadi, Kian," ujar Dandi sembari menyandarkan badannya ke bantal sofa.
"Membiarkan dia lolos, begitu?" tanya Kiano.
"Posisi kita di sini serba sulit. Cuma turis biasa."
"Apa bedanya sama dia?"
"Kamu dengar nggak, tadi Tari bilang apa?"
"Yang mana?"
"Tari datang ke sini untuk menyusulnya. Itu artinya cowok itu sudah lama tinggal di sini, dan pastinya punya visa pekerja. Biasanya, ada badan hukum yang melindungi karyawan asing, kan?"
Kiano tercenung. Dia kesulitan berpikir karena masih kesal telah dijatuhkan oleh orang yang tidak dikenali. "Hmm, berarti kita harus mencari tahu, dia kerja di mana."
"Buat apa?"
"Biar bisa dilaporkan."
Dandi menggeleng. "Ngalah aja udah."
"Enggak mau!"
"Enggak ada untungnya ngelaporin dia. Kalau pun dia ditahan, tetap bisa lepas dengan jaminan."
"Tapi ...."
"Keluarga Dewawarman itu kaya. Dia pasti didukung ketiga Kakak Utari. Belum lagi teman-teman Mas Heru di PG. Habis kamu kalau mau coba-coba nyari masalah."
Kiano berdecih. "Aku benar-benar harus tahu dia siapa."
"Tadi Tari bilang, cowok itu calon suaminya. Cek aja dari situ."
"Cek ke mana?"
"Teman-teman kuliah."
"Maksudmu, yang sekelas dengan Tari?"
"Ya, dan kalau bisa yang masih akrab dengan dia sampai sekarang."
"Itu yang aku nggak tahu."
"Kamu pacaran lama sama dia, kok, bisa nggak tahu?"
Kiano tergemap. "Aku memang nggak mau ngumpul sama teman-temannya."
"Kenapa?"
"Enggak mau aja. Pernah ikut ngumpul sekali, yang diomongin itu tentang cowok lain dan barang-barang branded. Bikin kesal!"
Dandi tersenyum lebar. "Sama aja, dong, dengan genk kita. Kalau ngumpul juga bahasannya nggak jauh dari cewek, ataupun bisnis."
"Makanya aku jarang ngumpul. Mending di rumah, atau bareng pacar."
"Kayaknya kamu introvert."
"Separuh."
"Lebih."
"Mana ada orang introvert mau curhat kayak gini? Pasti hal pribadi nggak diumbar."
Dandi manggut-manggut. "Ya, kamu benar."
Kiano memijat pangkal hidungnya. "Ada obat pereda nyeri, nggak? Makin ngenyut ini."
"Ada. Kuambilkan dulu."
Ketegangan di pundak Hisyam perlahan berkurang. Tiga hari terlewati semenjak dirinya bertengkar dengan Kiano, tetapi pria itu tidak ada tanda-tanda telah melaporkan Hisyam ke polisi. Wakil dari pengacara PG dan PBK telah mencari informasi dari kantor polisi terdekat dengan tempat kejadian perkara. Namun, tidak ada seorang pun yang menyebarkan informasi perdebatan yang diakhiri dengan adu kekuatan oleh kedua pria, di area parkir depan supermarket. Siang itu, Hisyam dan Mardi tiba di kantor klien tepat jam 2 siang. Mereka bergegas menuju ruang rapat di lantai 9, di mana para petinggi beberapa perusahaan telah menunggu.Sesampainya di sana, kedua pria bersetelan jas hitam kompak menegakkan badan dan memberi hormat. Kemudian mereka menyalami kedelapan orang dalam ruangan, lalu bersiap-siap memulai presentasi. Mardi memulai pidatonya dengan menyapa CEO Harding Grup dengan bahasa Spanyol yang fasih. Nigel Hiraldo membalas dengan bahasa serupa. Dia senang karena makin banyak rekan bisnis
Jalinan waktu terus bergulir. Mardi, Jaka, Hanania, Sudrajat, dan Adelard mulai mengemasi barang-barang mereka. Yang tidak digunakan dalam waktu dekat, dikirim ke Indonesia menggunakan jasa pengiriman kargo. Irfan dan Nurhan akan bertahan sampai tiga bulan ke depan, sesuai instruksi dari Wirya. Selain itu, keduanya diharapkan untuk melatih keempat pengawal muda yang menjadi anggota tim baru. Utari begitu senang untuk bertemu dengan Kakak tertua. Dia jadi lebih sering mengecek kalender dan menghitung hari pertemuan dengan Heru. Meskipun hanya seorang Kakak yang datang, Utari sudah sangat bahagia dijenguk keluarganya. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Siang itu Utari ikut Hisyam dan Beni yang bertugas menjemput kelompok belasan orang. Mereka menumpang di bus berukuran kecil yang disediakan hotel tempat para bos akan menginap. Sepanjang jalan menuju bandara, Utari tidak henti-hentinya berbalas pesan dengan Sekar dan Atalaric melalui grup khusus mereka. Heru masih belum menimpali p
Langit malam bertabur bintang. Rembulan memamerkan separuh bentuknya yang memukau. Angin berembus ringan menggoyang dedaunan di pohon-pohon. Hampir tidak ada bunyi kendaraan yang melintas. Sebab area itu berada di bagian ceruk lembah dan cukup jauh dari jalan raya. Jika tidak membaca papan di tepi jalan, warga pendatang tidak akan tahu bila ada belasan rumah di sana. Halaman rumah dinas di ujung ceruk terlihat ramai orang. Mereka tengah bersantap bersama dengan menu aneka panganan khas Indonesia, yang dibawa tim Alvaro. Sesuai dengan permintaan Utari dan rekan-rekannya yang merindukan makanan dari negeri asal mereka. Hisyam pada awalnya bergabung dengan kelompok pengawal muda, tetapi kemudian dia pindah ke kelompok petinggi PBK yang memanggilnya dan Sudrajat untuk berbincang sambil menikmati hidangan. Sementara Utari bergabung dengan para bos PG yang menempati karpet lain. Gadis berhidung bangir mendengarkan percakapan semua pria dewasa sembari sekali-sekali tertawa. Gelaka
Siang itu, ruang rapat gabungan kantor PG dan PBK di London, dipenuhi banyak orang. Mereka adalah para supervisor PG dan ketua regu pengawal seluruh Eropa, beserta staf dan petinggi dua perusahaan tersebut.Leon, ketua pengawal keluarga Baltissen, Luiz dan Benedicto, turut hadir dalam pertemuan itu, bersama dengan Bertrand Luiz, Gutierre Fidelle Luiz dan Hugo Baltissen.Bertrand adalah putra pertama Jose Luiz, sahabat Gustavo Baltissen, Ayah Alvaro yang merupakan warga asli Spanyol. Gutierre adalah sepupu Bertrand. Sementara Hugo adalah Adik Alvaro, tetapi berbeda Ibu. Wirya dan Alvaro bergantian menjelaskan rencana perubahan manajemen PBK, yang otomatis akan mengubah pengawas seluruh unit kerja, yang akan dimulai beberapa bulan mendatang. Hal itu dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi baru, sekaligus perubahan wajah-wajah dalam struktur perusahaan.Selanjutnya Zulfi memaparkan detail laporan keuangan selama enam bulan terakhir, khusus wilayah Eropa. Pria berkulit kecokelatan juga
Keesokan harinya, Utari dan Fatma ikut kelompok Heru berangkat menuju Perancis. Hisyam, Wirya dan Zulfi serta beberapa ajudan muda mengawal para bos PG, karena Alvaro dan yang lainnya tetap tinggal di London untuk menunggu kedatangan Miranda serta Delmar.Perjalanan menggunakan kereta Eurostar yang berkecepatan tinggi, memakan waktu sekitar 2 jam 22 menit. Eurostar bergerak dengan kecepatan 320 km/jam. Lebih dari 12 kali waktu keberangkatan yang ditawarkan Eurostar setiap harinya.Kelompok pimpinan Zulfi memutuskan mengikuti keberangkatan menjelang siang hari, agar mereka bisa menikmati pemandangan indah di sepanjang jalur kereta. Utari duduk berdampingan dengan Fatma. Keduanya sibuk membuat swa foto ataupun video singkat yang mengisahkan perjalanan tersebut. Meskipun itu adalah ketiga kalinya Utari bertolak ke Perancis, tetapi baru kali itu dia menaiki kereta. Sebab yang dulu dia menumpang di pesawat.Perjalanan menggunakan Eurostar memang sedikit lebih lama waktu tempuh daripada me
"Sepertinya dia nggak bohong, Bro," tutur Dandi, seusai membaca informasi dari resepsionis gedung kantor PG dan PBK di London. "Maksudmu?" tanya Kiano sambil memandangi sahabatnya di kursi samping kiri. "Dia bilang ke kamu, dia berbisnis di sini, Swiss dan banyak negara lainnya. Itu memang benar." Kiano menegakkan badan. "Jelasin siapa dia." "Namanya Hisyam, tapi belakangnya nggak tahu. Jabatannya, manajer operasional PG cabang Eropa. Sekaligus manajer operasional PBK di sini." Kiano mengerjap-ngerjapkan mata. "Ehm, dia pengawal?" "Ya, tapi petingginya, bukan pengawal biasa." Kiano berdecih. "Pantas saja gerakannya cepat sekali. Aku nggak lihat dia ngangkat kaki." "Aku juga nggak ngeh. Cuma sempat lihat kelebatannya sebelum kamu terpelanting." "Hmm, pantas juga dia sangat sombong." "Jabatannya bukan kaleng-kaleng, Bro. PG dan PBK itu perusahaan besar. Gajinya dobel, dan pastinya gede." "Kalau dia miskin, Tari pasti nggak mau." "Ehm, dan tentang mereka, sepertiny
Utari terkekeh dan nyaris tersedak nasi. Dia menghentikan tawa dan segera meminum airnya, lalu meneruskan bersantap hingga makanan habis. Perut yang kenyang membuat Utari mengantuk. Dia membetulkan posisi duduk, lalu memejamkan mata. Sukma perempuan berjaket hijau lumut perlahan melayang, hingga tidak menyadari jika Heru berdiri dan jalan bersama teman-temannya untuk membuat video di gerbong paling belakang. Hisyam dan Beni tetap tinggal untuk menjaga Utari. Sebab Fatma masih tertidur, kedua pria yang sama-sama mengenakan jaket kulit hitam harus mengawasi sang nona. Hisyam yang berada di kursi sisi kanan, memerhatikan Utari yang mulai miring ke kanan. Dia bergegas bangkit untuk berpindah ke kursi kosong yang tadinya ditempati Heru, lalu memegangi pundak Utari yang masih terlelap. "Ben, ambilin bantalku," pinta Hisyam sambil menoleh ke kanan. Beni mengambil benda yang dimaksud, kemudian memberikannya pada rekannya. "Tari pulas banget kayaknya. Nyaris jatuh pun, dia nggak sadar."
Hari terakhir di Belanda digunakan kelompok pimpinan Wirya buat menjelajahi beberapa tempat wisata terkenal. Menjelang senja mereka berpindah ke kanal, sebagai destinasi penutup. Mereka sangat antusias menaiki kapal, sesaat setelah Linggha menyelesaikan negoisasi dengan pemilik kapal. Pria bertato banyak dulunya pernah menetap selama lima tahun di negara tersebut, hingga sangat menguasai bahasa serta kulturnya. Utari memandangi Linggha yang sedang berbincang dengan pemilik kapal. Ivan turut dalam percakapan itu, karena dia sedikit menguasai bahasa setempat. Ivan mempelajarinya secara otodidak dan akan dipraktikkan bila berjumpa dengan Linggha. "Aku pengen bisa banyak bahasa," tutur Utari sambil memindai sekitar. "Ikut kelas private, Non," balas Fatma. "Kelas di mana?" "Kalau nggak salah, karyawan kantor lantai lima ada yang buka kelas provate." "Yang mana?" "Perempuan, rambutnya merah dan pakai kacamata. Manis juga." "Gebetannya Beni," seloroh Hisyam yang berada di kursi bela