Hari terakhir di Belanda digunakan kelompok pimpinan Wirya buat menjelajahi beberapa tempat wisata terkenal. Menjelang senja mereka berpindah ke kanal, sebagai destinasi penutup. Mereka sangat antusias menaiki kapal, sesaat setelah Linggha menyelesaikan negoisasi dengan pemilik kapal. Pria bertato banyak dulunya pernah menetap selama lima tahun di negara tersebut, hingga sangat menguasai bahasa serta kulturnya. Utari memandangi Linggha yang sedang berbincang dengan pemilik kapal. Ivan turut dalam percakapan itu, karena dia sedikit menguasai bahasa setempat. Ivan mempelajarinya secara otodidak dan akan dipraktikkan bila berjumpa dengan Linggha. "Aku pengen bisa banyak bahasa," tutur Utari sambil memindai sekitar. "Ikut kelas private, Non," balas Fatma. "Kelas di mana?" "Kalau nggak salah, karyawan kantor lantai lima ada yang buka kelas provate." "Yang mana?" "Perempuan, rambutnya merah dan pakai kacamata. Manis juga." "Gebetannya Beni," seloroh Hisyam yang berada di kursi bela
Hari berganti. Rombongan pimpinan Zulfi telah berada di London sejak kemarin sore. Mereka beristirahat semalaman, kemudian mereka berpamitan untuk pulang ke negara tercinta. Hisyam mendekap Mardi sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Berjuang bersama selama setahun terakhir menjadikan Hisyam sangat dekat dengan Mardi secara emosional. Setelah mengurai dekapan, keduanya berbincang sesaat. Kemudian Hisyam berpindah untuk menyalami Hanania, yang memberinya banyak wejangan. "Tahan diri, Syam. Jauhi masalah, karena di sini kamu yang tertua, sekaligus pemimpin yang lainnya," tukas Hanania. "Ya, Kak," sahut Hisyam. Dia memandangi perut perempuan berjilbab biru yang kian membuncit. "Kalau sudah lahiran, kabarin. InsyaAllah, saat akikahan anak Kakak, aku pulang," paparnya. "Hu um. Pas sama waktu mudik liburan akhir tahun." "Yups. Sekaligus nikahan Rangga." Hanania memandangi pria yang dimaksud. "Pantau Rangga, Syam. Kalau gejala asmanya mulai kerasa, langsung angkut ke rumah sakit."
Seorang pria berkemeja marun, keluar dari mobil sedan hitam. Dia bergegas mendatangi kedua perempuan yang sedang memasukkan barang belanjaan ke bagasi mobil SUV putih. Lelaki berkulit kecokelatan menarik tangan kanan perempuan berambut sebahu, yang spontan menoleh. Utari membulatkan mata sesaat, sebelum menarik tangannya dengan keras hingga terlepas dari pegangan pria tersebut. "Ri, kita mesti bicara," ujar Kiano sembari berusaha menggapai tangan gadis berbaju salem. "Enggak mau!" tegas Utari sambil menepis tangan Kiano."Sebentar aja, Ri." "Kamu dengar nggak aku bilang apa tadi?" "Ya, aku dengar. Tapi, ini penting banget." Fatma maju dan menyelipkan diri di antara kedua orang tersebut. "Permisi. Anda harus menyingkir!" tegasnya sembari menatap Kiano dengan tajam. Meskipun pria tersebut lebih tinggi darinya, Fatma sama sekali tidak terintimidasi. "Aku cuma mau bicara sebentar dengan Tari. Maksimal 15 menit," terang Kiano sambil mengamati perempuan bermata besar yang menjadi per
Suasana ruang rapat di kantor Sherburne, siang itu terlihat banyak orang. Mereka tengah memerhatikan pria berparas Asia, yang sedang menerangkan detail tim-nya untuk mengerjakan proyek, yang telah disepakati dengan perusahaan itu dan beberapa rekan bisnis lainnya. Pada sesi tanya jawab, para pria asli Eropa bertanya dengan serius. Hinyam menjawab semuanya secara lugas. Meskipun tampil tenang, sebetulnya Hisyam deg-degan. Sebab baru kali itulah dia tampil menjadi pembicara mewakili PG. Biasanya, Adelard yang akan menjelaskan keunggulan PG. Namun, karena dia sudah kembali ke Indonesia, mau tidak mau Hisyam yang harus memikul tanggung jawab sebagai wakil PG di Eropa. Rangga yang juga ikut dalam rapat itu, berusaha menahan tawa saat melihat dahi rekannya berkeringat. Rangga menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, hingga Hisyam usai berpidato. Sekian menit berlalu, peserta rapat lainnya telah membubarkan diri. Hisyam dan Rangga masih bertahan untuk berbincang dengan Galant Sherburne,
Jalinan waktu terus bergulir. Pagi itu, Hisyam memasuki ruangan staf PG untuk mendatangi Utari. Dia meminta gadis tersebut buat menginap di rumah Miranda, karena Hisyam dan rekan-rekannya hendak berdinas ke luar kota. "Kok, ngedadak, Bang?" tanya Utari. "Orang yang mau kudatangi, besok mau ke Amerika. Jadi semua urusan di Glasgow sudah harus selesai hari ini," jelas Hisyam. "Abang pergi berapa hari?" "Tiga. Besok aku mau ke Nottingham. Lusa, ke Plymouth. Baru pulang." "Ehm, berarti Bibi kubawa ke rumah Kak Mira.""Ya. Di mess juga tinggal Agus sama Deri. Mereka bisa ngurus diri sendiri." "Oke, deh. Hati-hati." "Kamu juga. Jangan keluyuran berdua aja sama Fatma. Aku sudah ngomong ke Babang Ignazio. Dia yang akan ngawal kamu kalau harus ketemu klien." "Hmm, ya." Utari memandangi pria berkemeja biru tua yang sedang berbincang dengan Agus dan Deri, dua staf PG yang telah bekerja selama 6 bulan di London. Utari terus mengamati Hisyam hingga pria tersebut menjauh dan menghilang di
Ruang rapat Dewawarman Grup, siang itu terlihat banyak orang. Mereka tengah membahas jadwal kerja masing-masing sampai beberapa bulan ke depan. Atalaric meringis kala ditugaskan Heru untuk menangani area Amerika dan Kanada. Sementara Sekar beradu toss dengan Maudy Yasinta, karena mereka mendapat area dinas Australia dan New Zealand. Tohpati mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut. Pria berkulit kecokelatan tidak bisa lagi mengelak dari tanggung jawab mengelola perusahaan milik keluarganya, khusus area Asia.Sementara Nirpataka dan Damsaz saling melirik, sebelum sama-sama menggaruk kepala. Naysila, Adik Damsaz, mengulaskan senyuman menyaksikan tingkah keempat cucu laki-laki keluarga Dewawarman, yang terpaksa menanggung beban kerja lebih besar dibandingkan yang perempuan. Heru, Sekar, Atalaric dan Utari merupakan anak dari almarhum Dhahir, putra tertua keluarga Gusti Dewawarman. Ezhar, Ayah Tohpati, Maudy dan Nirpataka merupakan anak kedua. Sedangkan Gamal, Ayah Damsaz dan Nays
Utari mengernyitkan dahi, karena sejak tadi ponselnya terus berdering. Namun, bila diangkat, tidak ada seorang pun yang menyapanya. Pada dering terakhir, Utari langsung mengangkat panggilan itu sambil memberi kode pada Fatma untuk memvideokannya."Hello, who is this?" tanya Utari. "Jika niatmu hanya mengganggu, aku sudah merekam pembicaraan ini dan akan melaporkannya ke polisi!" tegasnya. "Wait," ujar sang penelepon. "Who are you?" "My name is Gordon." "Okay, lanjutkan.""Kamu tidak perlu tahu aku siapa." "Hmm, kenapa?" "Itu tidak penting. Aku menghubungimu karena ingin menyampaikan sesuatu." "Katakan.""Kamu harus berhati-hati, karena ada orang yang menyewa temanku untuk melakukan sesuatu padamu." "Siapa dia?" "Aku tidak tahu." "Lalu, bagaimana kamu bisa mendapatkan nomorku?' Telepon terputus. Utari tertegun sejenak, lalu cepat-cepat menelepon balik. Namun, nomor itu sudah tidak aktif dan membuatnya bingung. "Kenapa, Kak?" tanya Fatma. "Dia belum selesai bicara, tapi la
Grup PG dan PBK area Eropa Hisyam : Welcome, Robi, Frank, Irwin dan Kurniawan.Beni : Selamat bergabung, Teman-teman. Fatma : Pacarku! Rangga : Siapa, @Fatma? Fatma : Bang Kurniawan.Irfan : Eeaaa! Nurhan : Prikitiw! Penelope : Aku cemburu! Dreena : Aku parah hati! Vanessa : Aku mau semedi di Tripoli. Jauhari : Loh, kok, aku baru tahu, kalau 4 orang itu mau dikirim ke London? Yusuf : @Ari, ka mana wae, euy? Aditya : Dari kemaren sudah diumumkan Bang W juga. Jauhari : Di mana? Hisyam : Di dieu, yeuh! Zulfi : Dimaklumi, Gaes. Ari baru pulang nguli mulung Lamborghini. Agus : Mantaplah, Bang Ari. Deri : Bagi aku satu mobilnya, @Bang Ari. Jauhari : Gampang. Nanti kukirim. Dalam bentuk miniatur. Hugo : Asek! Ada orang baru! Delmar : Akhirnya ada yang bisa dibajak ke Benedicto. Bertrand : Tidak bisa, @Delmar. Luiz lebih butuh orang. Wirya : Tim Spanyol, silakan cari sendiri pegawainya. Yang ini, khusus PG dan PBK. Hugo : Tolong carikan, @Abang ketiga. Wirya : Cari by y