Jalinan waktu terus bergulir. Pagi itu, Hisyam memasuki ruangan staf PG untuk mendatangi Utari. Dia meminta gadis tersebut buat menginap di rumah Miranda, karena Hisyam dan rekan-rekannya hendak berdinas ke luar kota. "Kok, ngedadak, Bang?" tanya Utari. "Orang yang mau kudatangi, besok mau ke Amerika. Jadi semua urusan di Glasgow sudah harus selesai hari ini," jelas Hisyam. "Abang pergi berapa hari?" "Tiga. Besok aku mau ke Nottingham. Lusa, ke Plymouth. Baru pulang." "Ehm, berarti Bibi kubawa ke rumah Kak Mira.""Ya. Di mess juga tinggal Agus sama Deri. Mereka bisa ngurus diri sendiri." "Oke, deh. Hati-hati." "Kamu juga. Jangan keluyuran berdua aja sama Fatma. Aku sudah ngomong ke Babang Ignazio. Dia yang akan ngawal kamu kalau harus ketemu klien." "Hmm, ya." Utari memandangi pria berkemeja biru tua yang sedang berbincang dengan Agus dan Deri, dua staf PG yang telah bekerja selama 6 bulan di London. Utari terus mengamati Hisyam hingga pria tersebut menjauh dan menghilang di
Ruang rapat Dewawarman Grup, siang itu terlihat banyak orang. Mereka tengah membahas jadwal kerja masing-masing sampai beberapa bulan ke depan. Atalaric meringis kala ditugaskan Heru untuk menangani area Amerika dan Kanada. Sementara Sekar beradu toss dengan Maudy Yasinta, karena mereka mendapat area dinas Australia dan New Zealand. Tohpati mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut. Pria berkulit kecokelatan tidak bisa lagi mengelak dari tanggung jawab mengelola perusahaan milik keluarganya, khusus area Asia.Sementara Nirpataka dan Damsaz saling melirik, sebelum sama-sama menggaruk kepala. Naysila, Adik Damsaz, mengulaskan senyuman menyaksikan tingkah keempat cucu laki-laki keluarga Dewawarman, yang terpaksa menanggung beban kerja lebih besar dibandingkan yang perempuan. Heru, Sekar, Atalaric dan Utari merupakan anak dari almarhum Dhahir, putra tertua keluarga Gusti Dewawarman. Ezhar, Ayah Tohpati, Maudy dan Nirpataka merupakan anak kedua. Sedangkan Gamal, Ayah Damsaz dan Nays
Utari mengernyitkan dahi, karena sejak tadi ponselnya terus berdering. Namun, bila diangkat, tidak ada seorang pun yang menyapanya. Pada dering terakhir, Utari langsung mengangkat panggilan itu sambil memberi kode pada Fatma untuk memvideokannya."Hello, who is this?" tanya Utari. "Jika niatmu hanya mengganggu, aku sudah merekam pembicaraan ini dan akan melaporkannya ke polisi!" tegasnya. "Wait," ujar sang penelepon. "Who are you?" "My name is Gordon." "Okay, lanjutkan.""Kamu tidak perlu tahu aku siapa." "Hmm, kenapa?" "Itu tidak penting. Aku menghubungimu karena ingin menyampaikan sesuatu." "Katakan.""Kamu harus berhati-hati, karena ada orang yang menyewa temanku untuk melakukan sesuatu padamu." "Siapa dia?" "Aku tidak tahu." "Lalu, bagaimana kamu bisa mendapatkan nomorku?' Telepon terputus. Utari tertegun sejenak, lalu cepat-cepat menelepon balik. Namun, nomor itu sudah tidak aktif dan membuatnya bingung. "Kenapa, Kak?" tanya Fatma. "Dia belum selesai bicara, tapi la
Grup PG dan PBK area Eropa Hisyam : Welcome, Robi, Frank, Irwin dan Kurniawan.Beni : Selamat bergabung, Teman-teman. Fatma : Pacarku! Rangga : Siapa, @Fatma? Fatma : Bang Kurniawan.Irfan : Eeaaa! Nurhan : Prikitiw! Penelope : Aku cemburu! Dreena : Aku parah hati! Vanessa : Aku mau semedi di Tripoli. Jauhari : Loh, kok, aku baru tahu, kalau 4 orang itu mau dikirim ke London? Yusuf : @Ari, ka mana wae, euy? Aditya : Dari kemaren sudah diumumkan Bang W juga. Jauhari : Di mana? Hisyam : Di dieu, yeuh! Zulfi : Dimaklumi, Gaes. Ari baru pulang nguli mulung Lamborghini. Agus : Mantaplah, Bang Ari. Deri : Bagi aku satu mobilnya, @Bang Ari. Jauhari : Gampang. Nanti kukirim. Dalam bentuk miniatur. Hugo : Asek! Ada orang baru! Delmar : Akhirnya ada yang bisa dibajak ke Benedicto. Bertrand : Tidak bisa, @Delmar. Luiz lebih butuh orang. Wirya : Tim Spanyol, silakan cari sendiri pegawainya. Yang ini, khusus PG dan PBK. Hugo : Tolong carikan, @Abang ketiga. Wirya : Cari by y
Kedua kelompok saling berhadapan. Tidak ada seorang pun yang urun bicara. Mereka hanya memandangi pihak lawan, seakan-akan tengah mengukur kekuatan rival. Utari yang bergandengan tangan dengan Fatma, akhirnya bergeser maju di antara Hisyam dan Beni. Perempuan berjaket abu-abu memandangi Kiano yang balas menatapnya lekat-lekat. "Berhenti mengintaiku," pinta Utari. "Aku nggak bermaksud begitu. Aku cuma ingin bicara berdua denganmu," jawab Kiano. "Tentang apalagi, sih?" "Enggak bisa dibahas di sini. Ikutlah denganku." Utari menggeleng, lalu dia mengaitkan tangan kanan ke lengan kiri Hisyam. "Aku mau ngobrol, tapi Abang harus ikut." "Ini urusan kita, nggak ada sangkut-pautnya dengan dia." Kiano menatap tajam pria yang membuat hatinya panas. "Sudah kukatakan dari tempo hari. Abang calon suamiku, dan dia harus tahu apa pun tentangku. Termasuk apa yang mau kamu omongin." Kiano melengos. "Kenapa kamu mau diatur sama dia?" "Dengar nggak tadi aku bilang apa? Dia calon suamiku, dan Aba
Suasana supermarket sore itu terlihat ramai. Banyak orang memborong berbagai kebutuhan pokok untuk stok di rumah. Troli sarat barang didorong pengunjung hilir mudik melintasi lorong-lorong. Deretan meja kasir juga dipenuhi antrean. Demikian pula yang dilakukan Hisyam dan rekan-rekannya. Mereka berpencar menuju area masing-masing dan nantinya akan bertemu di food court. Pria berjaket kulit cokelat menyusuri koridor khusus sayur dan buah. Dia mencari-cari jagung manis kemasan yang akhirnya ditemukan terselip di antara aneka panganan lainnya. Sebab hanya ada dua jagung, Hisyam memutar troli dan jalan menuju lorong khusus makanan kaleng. Dia berhenti untuk mengamati deretan kaleng beraneka warna, lalu mengambil beberapa benda bergambar jagung pipilan. "Permisi, kamu, orang PBK, betul?" tanya seorang pria dari sebelah kanan Hisyam, yang spontan menoleh. "Ya," jawab Hisyam. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya. "Lupa, ya, sama aku? Kita pernah berjumpa tahun lalu, waktu kamu ngawal Mas Tio ke
Sepasang mata bermanik cokelat gelap, mengamati kedua orang yang berada di sofa ruang tamu. Pria bersweter hijau tua berusaha menajamkan telinga, agar bisa mendengarkan percakapan kedua orang tersebut. Beni yang menemani Hisyam di kursi ruang tengah, menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Beni tahu jika Hisyam sedang tegang. Sebab itulah dia berusaha menenangkan lelaki tersebut. Sementara di teras depan, Lazuardi, Rangga, Irfan dan Nurhan sedang mengamati sekelompok orang bawaan sang tamu, yang tengah berkumpul di dekat mobil SUV silver. Ignazio dan Juan, kedua ajudan Miranda, turut menemani keempat rekan mereka di teras. Kedua pria asli Spanyol juga memerhatikan kelompok pria berjaket kulit hitam di dekat mobil, yang sedang berbincang menggunakan bahasa negara lain. "Apa kalian tahu, mereka pakai bahasa apa?" tanya Lazuardi. "Kupikir itu mirip bahasa Rusia," terang Ignazio dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Bertahun-tahun menjadi pegawai keluarga Baltissen, menjadikannya dan re
Hisyam memerhatikan gadis berambut panjang yang sedang mencoba beberapa cincin bermata putih. Pria berambut tebal menghela napas berat, lalu mengembuskannya sekali waktu. Hisyam terus mengamati Utari yang tampak bahagia bisa mengenakan perhiasan berkilau berlian asli. Hisyam mengeluh dalam hati kala sang nona memilih cincin yang harganya paling mahal. Pria berhidung bangir mengambil dompet dari saku celana. Hisyam mengeluarkan kartu kredit dan memberikannya pada Utari. "Buat apa?" tanya Utari sambil menatap kartu itu. "Bayar cincin," jelas Hisyam. "Enggak usah. Ini aku bayar sendiri." "Tapi, ini buat memuluskan sandiwara." "Makanya aku yang bayar. Ini ideku, jadi aku yang harus keluar uang." "Aku jadi nggak enak, karena nggak ada kontribusinya." Utari tersenyum. "Abang bisa bantu bayar biaya tiket masuk tempat wisata di Spanyol. Aku pengen ke tempat yang direkomendasikan Kak Mira." "Yang mana?" "Mirador De Artxanda." Hisyam mengangguk paham. "Di situ pemandangannya bagus m