Suasana supermarket sore itu terlihat ramai. Banyak orang memborong berbagai kebutuhan pokok untuk stok di rumah. Troli sarat barang didorong pengunjung hilir mudik melintasi lorong-lorong. Deretan meja kasir juga dipenuhi antrean. Demikian pula yang dilakukan Hisyam dan rekan-rekannya. Mereka berpencar menuju area masing-masing dan nantinya akan bertemu di food court. Pria berjaket kulit cokelat menyusuri koridor khusus sayur dan buah. Dia mencari-cari jagung manis kemasan yang akhirnya ditemukan terselip di antara aneka panganan lainnya. Sebab hanya ada dua jagung, Hisyam memutar troli dan jalan menuju lorong khusus makanan kaleng. Dia berhenti untuk mengamati deretan kaleng beraneka warna, lalu mengambil beberapa benda bergambar jagung pipilan. "Permisi, kamu, orang PBK, betul?" tanya seorang pria dari sebelah kanan Hisyam, yang spontan menoleh. "Ya," jawab Hisyam. "Maaf, Anda siapa?" tanyanya. "Lupa, ya, sama aku? Kita pernah berjumpa tahun lalu, waktu kamu ngawal Mas Tio ke
Sepasang mata bermanik cokelat gelap, mengamati kedua orang yang berada di sofa ruang tamu. Pria bersweter hijau tua berusaha menajamkan telinga, agar bisa mendengarkan percakapan kedua orang tersebut. Beni yang menemani Hisyam di kursi ruang tengah, menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Beni tahu jika Hisyam sedang tegang. Sebab itulah dia berusaha menenangkan lelaki tersebut. Sementara di teras depan, Lazuardi, Rangga, Irfan dan Nurhan sedang mengamati sekelompok orang bawaan sang tamu, yang tengah berkumpul di dekat mobil SUV silver. Ignazio dan Juan, kedua ajudan Miranda, turut menemani keempat rekan mereka di teras. Kedua pria asli Spanyol juga memerhatikan kelompok pria berjaket kulit hitam di dekat mobil, yang sedang berbincang menggunakan bahasa negara lain. "Apa kalian tahu, mereka pakai bahasa apa?" tanya Lazuardi. "Kupikir itu mirip bahasa Rusia," terang Ignazio dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Bertahun-tahun menjadi pegawai keluarga Baltissen, menjadikannya dan re
Hisyam memerhatikan gadis berambut panjang yang sedang mencoba beberapa cincin bermata putih. Pria berambut tebal menghela napas berat, lalu mengembuskannya sekali waktu. Hisyam terus mengamati Utari yang tampak bahagia bisa mengenakan perhiasan berkilau berlian asli. Hisyam mengeluh dalam hati kala sang nona memilih cincin yang harganya paling mahal. Pria berhidung bangir mengambil dompet dari saku celana. Hisyam mengeluarkan kartu kredit dan memberikannya pada Utari. "Buat apa?" tanya Utari sambil menatap kartu itu. "Bayar cincin," jelas Hisyam. "Enggak usah. Ini aku bayar sendiri." "Tapi, ini buat memuluskan sandiwara." "Makanya aku yang bayar. Ini ideku, jadi aku yang harus keluar uang." "Aku jadi nggak enak, karena nggak ada kontribusinya." Utari tersenyum. "Abang bisa bantu bayar biaya tiket masuk tempat wisata di Spanyol. Aku pengen ke tempat yang direkomendasikan Kak Mira." "Yang mana?" "Mirador De Artxanda." Hisyam mengangguk paham. "Di situ pemandangannya bagus m
27Malam pertama di Bilbao, Edmundo Baltissen mengajak semua tamu bersantap di restoran baru. Javier Benedicto dan Jose Luiz juga hadir bersama pasangan masing-masing. Sepanjang acara makan, Hisyam dan teman-temannya bergantian menerangkan tentang orang-orang di London. Dreena dan Vanessa tidak ikut pulang ke Bilbao, karena mereka sudah ke sana bersama Alvaro beberapa waktu lalu. Hugo meminta kepala pengawalnya, yakni Leon, untuk memvideokan acara itu dan mengirimkannya pada Alvaro serta Gustavo. Sebab waktu di Bilbao lebih lambat 5 jam dari Jakarta, Alvaro baru melihat video itu seusai salat Subuh. Komisaris 4 PBK mengulum senyuman menyaksikan berbagai gaya keluarga dan kerabatnya, di kampung halaman sang babah. Alvaro meneruskan video itu ke grup khusus Power Rangers dan beberapa grup lainnya. Kemudian dia keluar dari kamar untuk melakukan joging bersama Arjuna. Hal yang selalu dilakukannya jika penghujung minggu tiba.Matahari pagi bergerak naik sepenggalah. Wirya menelepon A
Kedua kelompok saling berhadapan. Leon berusaha menahan diri untuk tidak bersikap keras pada regu pimpinan Laurencius. Begitu pula dengan Jorge dan rekan-rekannya. Mereka berdiri di belakang Leon yang sedang berdebat dengan Laurencius. Miranda muncul dari dalam rumah bersama Utari. Perempuan berambut pirang gelap mendatangi kerabat jauhnya sembari mengepalkan kedua tangan membentuk tinjuan. Hisyam dan Beni segera menahan Miranda yang merengsek maju. Namun, perempuan tersebut berhasil meloloskan diri hingga tiba di depan Laurencius. "Kakek sedang istirahat. Kalian, pergilah!" titah Miranda menggunakan bahasa Spanyol. "Ipar cantikku, apa kabar?" tanya Laurencius sembari menyentuh lengan kiri Miranda yang spontan menepisnya. "Aku bukan iparmu. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Terutama sejak Papa mertuamu berkhianat!" "Papa tidak seperti itu. Dia hanya ingin mendapatkan hak bagiannya." "Bagiannya sudah habis di meja judi! Dia mau merampas bagian mamaku dan Bibi Serafina!" "Bibi
Hari terakhir di Bilbao, Hisyam dan Utari melakukan pemotretan serta video durasi pendek, sebagai bentuk totalitas mereka menjadi pasangan yang akan segera menikah. Hisyam yang difoto terlebih dahulu, mengikuti arahan fotografer yang sengaja disewa, agar hasilnya bagus. Pria bertuksedo hitam bergaya dengan cukup luwes seraya tersenyum. Kala Utari muncul dari ruang ganti, Hisyam tertegun. Baru kali itu dia melihat sang gadis berdandan. Sebab biasanya Utari hanya menggunakan bedak dan lipstik nude, serta eye shadow cokelat.Gadis bergaun panjang abu-abu muda mengayunkan tungkai mendekati Hisyam. Utari berdiri di samping kanan lelaki tersebut sembari merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Buketnya ketinggalan," tutur Beni sembari memberikan buket bunga kecil pada Utari. "Sudah siap?" tanya sang fotografer menggunakan bahasa Inggris. Hisyam mengacungkan jempol kanan, lalu dia memposisikan diri di belakang Utari. Hisyam memegangi tangan kanan sang nona, sementara tangan kirinya mene
Miranda dan Edmundo melambaikan tangan untuk melepas keberangkatan tim Hisyam menuju London. Miranda tidak turut ke sana, karena dia hendak melakukan terapi buat menurunkan emosi. Leon dan Carlos yang mengantarkan kelima orang tersebut ke bandara, berbincang mengenai banyak hal, terutama tentang keluarga Macaire. Carlos yang sudah belasan tahun bersama keluarga Baltissen, sangat memahami pertikaian kedua marga tersebut, yang dimulai sejak Calinda Finola Macaire bersitegang dengan kakaknya, Felipe. Carlos yang merupakan Kakak kelas Hugo, Bertrand, dan Guiterre, menjadi salah satu saksi berbagai usaha Felipe untuk menjegal Calinda dan Gustavo, yang dianggap sebagai penguasa harta keluarga Macaire. Setelah Calinda wafat, Gustavo kembali ke Indonesia untuk mencari Ira dan putranya, yang ditinggalkan sejak puluhan tahun silam atas permintaan Edmundo. Hal itu dimanfaatkan Felipe untuk mencoba mengganggu bisnis keluarga Baltissen. Namun, Jose Luiz dan Javier Benedicto beserta beberapa r
Pesawat yang ditumpangi tim Alvaro mendarat di bandara Bilbao, Jumat malam waktu setempat. Bertrand dan Guiterre menjemput mereka, sesuai permintaan Alvaro.Edmundo dan kedua cucunya sama sekali tidak mengetahui kedatangan kelompok tersebut. Mereka juga tidak tahu jika Bertrand dan yang lainnya sengaja menutupi hal itu. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Jose Luiz, Gustavo dan Alvaro banyak bertanya pada Bertrand yang ditemani ajudannya, Vincente. Hal serupa juga dilakukan Wirya dan Yoga yang berada di mobil kedua. Guiterre dan pengawalnya, Miguel, menjelaskan kabar terbaru yang mereka dengar dari Carlos serta Leon. "Yanuar tidak ke sini?" tanya Guiterre. "Enggak. Dia lagi keliling Asia Tenggara sama Aswin, Galang dan Salman," jawab Wirya. "Akhir bulan nanti dia datang sama rombongan PC," sambung Yoga. "Berapa orang yang datang?" desak Guiterre. "Sama pengawal, sekitar 40 sampai 50 orang," terang Wirya. "Banyak juga." "Tiga hari di London, setelah itu mereka nyebar ke Peran
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin