Hari terakhir di Bilbao, Hisyam dan Utari melakukan pemotretan serta video durasi pendek, sebagai bentuk totalitas mereka menjadi pasangan yang akan segera menikah. Hisyam yang difoto terlebih dahulu, mengikuti arahan fotografer yang sengaja disewa, agar hasilnya bagus. Pria bertuksedo hitam bergaya dengan cukup luwes seraya tersenyum. Kala Utari muncul dari ruang ganti, Hisyam tertegun. Baru kali itu dia melihat sang gadis berdandan. Sebab biasanya Utari hanya menggunakan bedak dan lipstik nude, serta eye shadow cokelat.Gadis bergaun panjang abu-abu muda mengayunkan tungkai mendekati Hisyam. Utari berdiri di samping kanan lelaki tersebut sembari merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Buketnya ketinggalan," tutur Beni sembari memberikan buket bunga kecil pada Utari. "Sudah siap?" tanya sang fotografer menggunakan bahasa Inggris. Hisyam mengacungkan jempol kanan, lalu dia memposisikan diri di belakang Utari. Hisyam memegangi tangan kanan sang nona, sementara tangan kirinya mene
Miranda dan Edmundo melambaikan tangan untuk melepas keberangkatan tim Hisyam menuju London. Miranda tidak turut ke sana, karena dia hendak melakukan terapi buat menurunkan emosi. Leon dan Carlos yang mengantarkan kelima orang tersebut ke bandara, berbincang mengenai banyak hal, terutama tentang keluarga Macaire. Carlos yang sudah belasan tahun bersama keluarga Baltissen, sangat memahami pertikaian kedua marga tersebut, yang dimulai sejak Calinda Finola Macaire bersitegang dengan kakaknya, Felipe. Carlos yang merupakan Kakak kelas Hugo, Bertrand, dan Guiterre, menjadi salah satu saksi berbagai usaha Felipe untuk menjegal Calinda dan Gustavo, yang dianggap sebagai penguasa harta keluarga Macaire. Setelah Calinda wafat, Gustavo kembali ke Indonesia untuk mencari Ira dan putranya, yang ditinggalkan sejak puluhan tahun silam atas permintaan Edmundo. Hal itu dimanfaatkan Felipe untuk mencoba mengganggu bisnis keluarga Baltissen. Namun, Jose Luiz dan Javier Benedicto beserta beberapa r
Pesawat yang ditumpangi tim Alvaro mendarat di bandara Bilbao, Jumat malam waktu setempat. Bertrand dan Guiterre menjemput mereka, sesuai permintaan Alvaro.Edmundo dan kedua cucunya sama sekali tidak mengetahui kedatangan kelompok tersebut. Mereka juga tidak tahu jika Bertrand dan yang lainnya sengaja menutupi hal itu. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Jose Luiz, Gustavo dan Alvaro banyak bertanya pada Bertrand yang ditemani ajudannya, Vincente. Hal serupa juga dilakukan Wirya dan Yoga yang berada di mobil kedua. Guiterre dan pengawalnya, Miguel, menjelaskan kabar terbaru yang mereka dengar dari Carlos serta Leon. "Yanuar tidak ke sini?" tanya Guiterre. "Enggak. Dia lagi keliling Asia Tenggara sama Aswin, Galang dan Salman," jawab Wirya. "Akhir bulan nanti dia datang sama rombongan PC," sambung Yoga. "Berapa orang yang datang?" desak Guiterre. "Sama pengawal, sekitar 40 sampai 50 orang," terang Wirya. "Banyak juga." "Tiga hari di London, setelah itu mereka nyebar ke Peran
Grup Rahasia TigaZulfi : Astagfirullah. Grup apalagi ini? Wirya : Si bule demen banget bikin penuh grup di hape nomor umum. Yoga : Sama grup ini, total ada 30 grup di hape putih. Andri : Di aku, ada 35 grup. Haryono : Harusnya di nomor khusus Power Rangers Alvaro : Enggak bisa, @Andri. Hisyam dan yang lainnya nggak gabung di sana. Yanuar : Heh! Kalian bertiga ke Bilbao kagak ngomong-ngomong! Benci aku! Alvaro : Berisik! Elu kerja aja yang benar, @Sipitih! Yanuar : Kenapa gue ditinggal? Alvaro : Elu, kan, akhir bulan nanti bakal ke London. Jadi yang sekarang elu kagak usah ngikut. Zulfi : Berhenti protes, @Sipitih! Andri : Ho oh. Aku nggak diajak, tapi nggak ngomel-ngomel. Haryono : Lama-lama Yanuar jadi makin mirip Emak Ira. Wirya : Memang emaknya itu. Mungkin ketukar sama Varo. Hugo : Dan aku kaget, Abang kesatu, ketiga dan empat datang nggak kasih info dulu! Alvaro : Kalau kami ngomong, nanti nggak surprised lagi, @Hugo. Hugo : @Carlos. @Leon. @Hisyam. @Beni. Kelua
Seorang pria bergegas keluar dari terminal kedatangan bandara Heathrow London. Dia memutuskan untuk menaiki kereta api untuk menuju pusat kota. Lelaki bercelana kargo hijau tua, mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang menuju stasiun bandara. Dia mengecek jadwal keberangkatan di billboard, kemudian meneruskan langkah hingga tiba di pintu masuk. Sekian menit berlalu, pria berjaket parka dan topi bisbol hitam, telah berada di gerbong kereta yang tidak terlampau banyak penumpangnya . Dia menyampirkan ransel ke pundak kanan. Terbiasa bersikap waspada, membuatnya memindai sekitar setiap beberapa menit. Perjalanan berakhir 30 menit di dekat distrik utama. Pria berkulit kuning langsat keluar dari kereta dan jalan cepat menuju stasiun. Dia menghentikan taksi, lalu meminta diantarkan ke salah satu gedung perkantoran di kawasan bisnis Southwark. Setibanya di tempat tujuan, pria tersebut keluar dari taksi yang berhenti di tepi jalan. Dia mengayunkan tungkai menuju gerbang depan pusat per
"Mau!" teriak Kimora melalui sambungan telepon jarak jauh."Izin dulu ke papamu," balas Hisyam. "InsyaAllah, beliau pasti ngizinin. Kan, sudah pernah diskusi sama Bang W dan Om Linggha." "Tapi aku harus dapat izin tertulis, buat ngajuin kepindahanmu ke kantor pusat." "Besok aku antarkan ke kantor. Nemuin siapa di sana?" "Mas Yon. Dia yang stand by." "Bang W dan yang lainnya, di mana?" "Lagi gentayangan." "Oh, ya, Bang. Nanti aku tinggal di mana?" "Kalau lagi dinas, di rumah Pak Jerome. Tapi kalau off, bisa nginap bareng Tari. Gwen nanti juga tinggal di rumah sebelah.""Semoga kami bisa temenan." "Pasti bisa. Mereka baik. Apalagi Gwen, rada kocak." "Bahasa Indonesianya sudah lancar?" "Kata Bang W, sih, belum. Tapi dia paham kita ngomong apa." "Syukurlah. Aku jadi nggak repot kudu nerangin." "Ada lagi yang mau ditanyain?" "Ehm, tentang pakaian. Apa yang harus kusiapkan?" "Sekarang sedang musim gugur. Habis itu musim dingin. Pastinya harus sedia banyak baju lengan panjang,
Pagi itu Utari bangun dan seketika terkejut, karena dia telah berada di kamarnya. Gadis berbibit penuh, bangkit sambil bertumpu dengan kedua siku. Dia memindai sekitar sambil bertanya-tanya dalam hati, tentang bagaimana caranya dia bisa berpindah ke kasur. Utari memandangi jendela yang gordennya terbuka sedikit. Sinar matahari pagi telah menyorot, membuatnya menggerutu karena telah kesiangan. Tiga puluh menit terlewati, Utari telah berada di kursi dekat meja makan. Dia menikmati hidangan buatan asisten rumah yang sudah bekerja di tempat itu, sejak Marley pindah ke London beberapa tahun silam."Bi, kemarin malam, siapa yang memindahkanku ke kamar?" tanya Utari, sesaat setelah Maggie duduk di kursi seberang. "Hisyam gendong kamu," jawab perempuan paruh baya berambut pirang. Utari membulatkan matanya. "Digendong?" "Yes, bridal style. So sweet.""Hmm. Dia memang manis." Maggie mengamati perempuan muda yang tengah merapikan rambutnya dengan jemari. "Do you like him?" godanya. Utari
Kedua rumah di ujung ceruk pinggir Kota London, malam itu terlihat ramai orang. Frank dan ketiga rekannya telah datang bersamaan dengan Gwenyth Zhi, serta keluarga Cheung, yang tiba tadi siang dari Taiwan.Utari yang berada di ruang tamu, berbincang dengan Gwenyth dan Earlene Yang, istri Chyou Jaden Cheung, sepupu Dante Adhitama. Sementara Maggie sibuk bermain dengan Bingwen Prinsen Cheung, anak Chyou yang berusia setahun, yang ditemani pengasuhnya yang bernama Xinxin. Para pria berkumpul di depan mess sambil memanggang daging dan yang lainnya. Mereka berbincang sambil bercanda, hingga gelakak mereka menguar beberapa kali. Setelah makanan matang, Syafid dan Deri mengantarkan beberapa piring ke dalam rumah dinas. Sebab udara di luar cukup dingin, para perempuan tidak ikut berkumpul di halaman. "Bibi, mari kita makan," ajak Earlene dengan bahasa Indonesia berlogat unik. "Kalian makan saja lebih dulu. Aku masih mau bermain dengan Bingwen," jawab Maggie tanpa menoleh. "Serahkan ke p