Pagi itu Utari bangun dan seketika terkejut, karena dia telah berada di kamarnya. Gadis berbibit penuh, bangkit sambil bertumpu dengan kedua siku. Dia memindai sekitar sambil bertanya-tanya dalam hati, tentang bagaimana caranya dia bisa berpindah ke kasur. Utari memandangi jendela yang gordennya terbuka sedikit. Sinar matahari pagi telah menyorot, membuatnya menggerutu karena telah kesiangan. Tiga puluh menit terlewati, Utari telah berada di kursi dekat meja makan. Dia menikmati hidangan buatan asisten rumah yang sudah bekerja di tempat itu, sejak Marley pindah ke London beberapa tahun silam."Bi, kemarin malam, siapa yang memindahkanku ke kamar?" tanya Utari, sesaat setelah Maggie duduk di kursi seberang. "Hisyam gendong kamu," jawab perempuan paruh baya berambut pirang. Utari membulatkan matanya. "Digendong?" "Yes, bridal style. So sweet.""Hmm. Dia memang manis." Maggie mengamati perempuan muda yang tengah merapikan rambutnya dengan jemari. "Do you like him?" godanya. Utari
Kedua rumah di ujung ceruk pinggir Kota London, malam itu terlihat ramai orang. Frank dan ketiga rekannya telah datang bersamaan dengan Gwenyth Zhi, serta keluarga Cheung, yang tiba tadi siang dari Taiwan.Utari yang berada di ruang tamu, berbincang dengan Gwenyth dan Earlene Yang, istri Chyou Jaden Cheung, sepupu Dante Adhitama. Sementara Maggie sibuk bermain dengan Bingwen Prinsen Cheung, anak Chyou yang berusia setahun, yang ditemani pengasuhnya yang bernama Xinxin. Para pria berkumpul di depan mess sambil memanggang daging dan yang lainnya. Mereka berbincang sambil bercanda, hingga gelakak mereka menguar beberapa kali. Setelah makanan matang, Syafid dan Deri mengantarkan beberapa piring ke dalam rumah dinas. Sebab udara di luar cukup dingin, para perempuan tidak ikut berkumpul di halaman. "Bibi, mari kita makan," ajak Earlene dengan bahasa Indonesia berlogat unik. "Kalian makan saja lebih dulu. Aku masih mau bermain dengan Bingwen," jawab Maggie tanpa menoleh. "Serahkan ke p
Keesokan harinya, Chyou dan adiknya, ikut Hisyam ke kantor. Sementara Utari meliburkan diri untuk menemani Earlene dan yang lainnya jalan-jalan mengelilingi kota. Utari mengemudikan sendiri mobil MPV yang biasa digunakan Hisyam untuk beraktivitas. Maggie duduk di kursi samping kiri sambil memangku Bingwen. Gwenyth, Earlene dan Xinxin duduk di kursi tengah. Sementara Beck dan Xiao Dhan, kedua ajudan keluarga Cheung, menempati kursi belakang sambil memvideokan sekeliling. Sepanjang perjalanan, Maggie bertindak sebagai pemandu wisata. Dia mengoceh dalam bahasa Inggris Britain yang dipadukan dengan bahasa Indonesia. Semenjak menjadi asisten rumah Marley dan Gayatri, Maggie giat berlatih bahasa Indonesia. Selain itu dia juga pandai menirukan logat khas Jawa, yang sering diucapkannya bila tengah menelepon Gayatri. Utari mengajak kelompok tersebut ke taman terbesar di London, yakniTaman Hyde, yang luasnya mencapai 142 hektare. Di dekat Taman Hyde ada satu taman lagi bernama Kensington.
Hari berganti menjadi minggu. Rombongan Chyou telah kembali ke Taiwan. Gwenyth juga sudah bertugas di kantor PG sebagai asisten Rangga, sekaligus perwakilan dari Adhitama, Vong, Cheung dan Zheung. Pagi itu Hisyam berangkat lebih awal bersama Rangga dan Lazuardi. Pria berkemeja biru muda dengan logo PBK di saku, mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju Brighton. Jarak 54 mil ditempuh dalam waktu hampir dua jam. Hisyam meneruskan perjalanan hingga tiba di sebuah proyek resor terbaru, yang pengembangnya bekerjasama dengan PG dan PB.Setelah memarkirkan mobil, ketiga pria tersebut keluar. Mereka mendatangi kantor pengembang dan disambut supervisor serta kepala keamanan. Seusai berbincang sesaat, sang supervisor memberikan tiga helm proyek yang segera dikenakan para tamu. Kemudian mereka keluar untuk menuju area proyek dengan mobil khusus. "Apa tidak terlihat, ke mana pencuri itu pergi?" tanya Hisyam sambil memerhatikan kepala keamanan bernama Dawson yang menjadi sopir. "
Malam itu, seunit mobil MPV hitam melaju di jalanan Kota Brighton. Pengemudinya memfokuskan pandangan ke depan sambil mendengarkan petunjuk rekannya di sebelah kiri. Kelima pria di belakang, sibuk mengenakan atribut penyamaran. Mereka saling memberikan masukan agar hasilnya bagus dan bisa menyembunyikan wajah asli. Setibanya di tempat tujuan, kelima pria yang sama-sama mengenakan sweter gelap, turun dari kendaraan sambil membawa ransel masing-masing. Mereka menunggu mobil kembali melaju, kemudian mereka jalan berderet menyusuri jalan setapak di tepi lahan kosong. Dari kejauhan, tampak beberapa lampu menyinari pos pengamanan. Kelima lelaki tersebut segera merunduk sembari meneruskan langkah lebih cepat. Semak-semak tinggi di tempat itu melindungi mereka dari pantauan petugas keamanan. Ditambah lagi embusan angin yang searah dengan mereka. Hingga derap langkah kelimanya tidak terdengar siapa pun. Sementara di pos penjagaan, Rangga dan Lazuardi tengah berbincang dengan beberapa petu
Lazuardi dan Rangga mengamati keempat pelaku yang tengah diamankan di kantor polisi terdekat dengan lokasi proyek. Sementara kedua korban luka sudah dilarikan ke rumah sakit oleh ketiga petugas keamanan, yang tadi ikut ke tempat kejadian.Demikian pula dengan Robi yang badannya luka-luka terkena batu saat bergulingan tadi. Beni yang menungguinya di rumah sakit, turut meringis ketika Robi mengaduh saat lukanya dibersihkan perawat. Hisyam yang berada di kantor polisi, menggertakkan gigi seusai mendengar penuturan salah seorang pencuri, yang menjelaskan cara mereka melakukan aksi. Hisyam makin emosi karena ternyata pencurian itu adalah keempat kalinya dilakukan komplotan itu di lokasi proyek. Jack tampak termangu karena memikirkan nasib istri staf.yang melakukan pencurian. Perempuan yang merupakan kerabat asisten rumah tangga Jack, saat itu tengah hamil tua. Jack dan Rangga sudah berembuk. Mereka sepakat untuk tidak menginformasikan tentang staf bernama Rogan pada keluarganya, karena k
Grup Pengawal Lapis Tiga, Empat dan Lima Beni : Ada yang janjian kencan, euy! Valdi : Aku ngikik dengar dia ngerayu. Robi : Memanglah Abang kita, nih. Perayu ulung. Lazuardi : Aku sampai bengong dulu. Rada nggak yakin, Abang kalem kita ternyata tengah menyebar jaring cinta. Frank : Rangga ngakak pas baca chat-nya Beni tadi. Yusuf : Orang London, kalian belum pada tidur? Beni : Belum, @Yusuf. Jauhari : Kalian tadi ngomongin siapa? Robi : Hisyam. Anak kesayangan Emak OY. Aditya : Hisyam ngapain? Lazuardi : Ngerayu Tari, ngajak kencan.Dimas : Eeeaaa. Harun : Cie, @Hisyam. Nanang : Hisyam, nih, semua Nona muda dipepetin. Gumelar : Bagilah aku satu, @Hisyam. Hisyam : Semuanya tergantung tampang dan keberuntungan, @Nanang dan @Gumelar. Wahyudi : Bagosss! Disuruh kerja jauh-jauh, malah mepet anak gadis orang. Jeffrey : Aku cemburu! Ibrahim ; Aku sakit hati! Fawwaz : Aku benci Hisyam! Aku benci! Chairil : Syam, kamu nyerobot mulu! Syuja : Kapanlah giliranku yang dapat No
Matahari sudah naik sepenggalah ketika Hisyam terbangun. Dia meringis karena tulang-tulangnya sakit saat digerakkan. Hisyam menggeliat pelan, lalu bangkit dengan bertahan pada tangan kiri. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian memindai sekitar. Pria berkaus hitam mengambil gelas dari meja samping kiri kasur. Dia meneguk air putih hingga habis, lalu meletakkan gelas kembali ke tempat semula. Hisyam mengatur napas sembari mengingat-ingat kejadian semalam. Dia meraba dahi dan leher yang masih hangat, walaupun sudah tidak sepanas semalam. Pria berhidung bangir mengamati tas di kursi dekat jendela. Dia menduga jika ada yang mengantarkan barangnya dari rumah mess. Entah siapa. Hisyam memaksakan diri bangkit dan jalan menuju kursi. Dia mengambil tas dan membuka ritsleting. Kemudian mengambil tas kecil berisi peralatan mandi dan meletakkan benda itu ke kursi. Pria berkulit kecokelatan meraih baju dan celana dari dalam tas. Dia mengecek sekali lagi, sebelum mengeluh karena tidak dibeka
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin