Langit malam bertabur bintang. Rembulan memamerkan separuh bentuknya yang memukau. Angin berembus ringan menggoyang dedaunan di pohon-pohon. Hampir tidak ada bunyi kendaraan yang melintas. Sebab area itu berada di bagian ceruk lembah dan cukup jauh dari jalan raya. Jika tidak membaca papan di tepi jalan, warga pendatang tidak akan tahu bila ada belasan rumah di sana. Halaman rumah dinas di ujung ceruk terlihat ramai orang. Mereka tengah bersantap bersama dengan menu aneka panganan khas Indonesia, yang dibawa tim Alvaro. Sesuai dengan permintaan Utari dan rekan-rekannya yang merindukan makanan dari negeri asal mereka. Hisyam pada awalnya bergabung dengan kelompok pengawal muda, tetapi kemudian dia pindah ke kelompok petinggi PBK yang memanggilnya dan Sudrajat untuk berbincang sambil menikmati hidangan. Sementara Utari bergabung dengan para bos PG yang menempati karpet lain. Gadis berhidung bangir mendengarkan percakapan semua pria dewasa sembari sekali-sekali tertawa. Gelaka
Siang itu, ruang rapat gabungan kantor PG dan PBK di London, dipenuhi banyak orang. Mereka adalah para supervisor PG dan ketua regu pengawal seluruh Eropa, beserta staf dan petinggi dua perusahaan tersebut.Leon, ketua pengawal keluarga Baltissen, Luiz dan Benedicto, turut hadir dalam pertemuan itu, bersama dengan Bertrand Luiz, Gutierre Fidelle Luiz dan Hugo Baltissen.Bertrand adalah putra pertama Jose Luiz, sahabat Gustavo Baltissen, Ayah Alvaro yang merupakan warga asli Spanyol. Gutierre adalah sepupu Bertrand. Sementara Hugo adalah Adik Alvaro, tetapi berbeda Ibu. Wirya dan Alvaro bergantian menjelaskan rencana perubahan manajemen PBK, yang otomatis akan mengubah pengawas seluruh unit kerja, yang akan dimulai beberapa bulan mendatang. Hal itu dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi baru, sekaligus perubahan wajah-wajah dalam struktur perusahaan.Selanjutnya Zulfi memaparkan detail laporan keuangan selama enam bulan terakhir, khusus wilayah Eropa. Pria berkulit kecokelatan juga
Keesokan harinya, Utari dan Fatma ikut kelompok Heru berangkat menuju Perancis. Hisyam, Wirya dan Zulfi serta beberapa ajudan muda mengawal para bos PG, karena Alvaro dan yang lainnya tetap tinggal di London untuk menunggu kedatangan Miranda serta Delmar.Perjalanan menggunakan kereta Eurostar yang berkecepatan tinggi, memakan waktu sekitar 2 jam 22 menit. Eurostar bergerak dengan kecepatan 320 km/jam. Lebih dari 12 kali waktu keberangkatan yang ditawarkan Eurostar setiap harinya.Kelompok pimpinan Zulfi memutuskan mengikuti keberangkatan menjelang siang hari, agar mereka bisa menikmati pemandangan indah di sepanjang jalur kereta. Utari duduk berdampingan dengan Fatma. Keduanya sibuk membuat swa foto ataupun video singkat yang mengisahkan perjalanan tersebut. Meskipun itu adalah ketiga kalinya Utari bertolak ke Perancis, tetapi baru kali itu dia menaiki kereta. Sebab yang dulu dia menumpang di pesawat.Perjalanan menggunakan Eurostar memang sedikit lebih lama waktu tempuh daripada me
"Sepertinya dia nggak bohong, Bro," tutur Dandi, seusai membaca informasi dari resepsionis gedung kantor PG dan PBK di London. "Maksudmu?" tanya Kiano sambil memandangi sahabatnya di kursi samping kiri. "Dia bilang ke kamu, dia berbisnis di sini, Swiss dan banyak negara lainnya. Itu memang benar." Kiano menegakkan badan. "Jelasin siapa dia." "Namanya Hisyam, tapi belakangnya nggak tahu. Jabatannya, manajer operasional PG cabang Eropa. Sekaligus manajer operasional PBK di sini." Kiano mengerjap-ngerjapkan mata. "Ehm, dia pengawal?" "Ya, tapi petingginya, bukan pengawal biasa." Kiano berdecih. "Pantas saja gerakannya cepat sekali. Aku nggak lihat dia ngangkat kaki." "Aku juga nggak ngeh. Cuma sempat lihat kelebatannya sebelum kamu terpelanting." "Hmm, pantas juga dia sangat sombong." "Jabatannya bukan kaleng-kaleng, Bro. PG dan PBK itu perusahaan besar. Gajinya dobel, dan pastinya gede." "Kalau dia miskin, Tari pasti nggak mau." "Ehm, dan tentang mereka, sepertiny
Utari terkekeh dan nyaris tersedak nasi. Dia menghentikan tawa dan segera meminum airnya, lalu meneruskan bersantap hingga makanan habis. Perut yang kenyang membuat Utari mengantuk. Dia membetulkan posisi duduk, lalu memejamkan mata. Sukma perempuan berjaket hijau lumut perlahan melayang, hingga tidak menyadari jika Heru berdiri dan jalan bersama teman-temannya untuk membuat video di gerbong paling belakang. Hisyam dan Beni tetap tinggal untuk menjaga Utari. Sebab Fatma masih tertidur, kedua pria yang sama-sama mengenakan jaket kulit hitam harus mengawasi sang nona. Hisyam yang berada di kursi sisi kanan, memerhatikan Utari yang mulai miring ke kanan. Dia bergegas bangkit untuk berpindah ke kursi kosong yang tadinya ditempati Heru, lalu memegangi pundak Utari yang masih terlelap. "Ben, ambilin bantalku," pinta Hisyam sambil menoleh ke kanan. Beni mengambil benda yang dimaksud, kemudian memberikannya pada rekannya. "Tari pulas banget kayaknya. Nyaris jatuh pun, dia nggak sadar."
Hari terakhir di Belanda digunakan kelompok pimpinan Wirya buat menjelajahi beberapa tempat wisata terkenal. Menjelang senja mereka berpindah ke kanal, sebagai destinasi penutup. Mereka sangat antusias menaiki kapal, sesaat setelah Linggha menyelesaikan negoisasi dengan pemilik kapal. Pria bertato banyak dulunya pernah menetap selama lima tahun di negara tersebut, hingga sangat menguasai bahasa serta kulturnya. Utari memandangi Linggha yang sedang berbincang dengan pemilik kapal. Ivan turut dalam percakapan itu, karena dia sedikit menguasai bahasa setempat. Ivan mempelajarinya secara otodidak dan akan dipraktikkan bila berjumpa dengan Linggha. "Aku pengen bisa banyak bahasa," tutur Utari sambil memindai sekitar. "Ikut kelas private, Non," balas Fatma. "Kelas di mana?" "Kalau nggak salah, karyawan kantor lantai lima ada yang buka kelas provate." "Yang mana?" "Perempuan, rambutnya merah dan pakai kacamata. Manis juga." "Gebetannya Beni," seloroh Hisyam yang berada di kursi bela
Hari berganti. Rombongan pimpinan Zulfi telah berada di London sejak kemarin sore. Mereka beristirahat semalaman, kemudian mereka berpamitan untuk pulang ke negara tercinta. Hisyam mendekap Mardi sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Berjuang bersama selama setahun terakhir menjadikan Hisyam sangat dekat dengan Mardi secara emosional. Setelah mengurai dekapan, keduanya berbincang sesaat. Kemudian Hisyam berpindah untuk menyalami Hanania, yang memberinya banyak wejangan. "Tahan diri, Syam. Jauhi masalah, karena di sini kamu yang tertua, sekaligus pemimpin yang lainnya," tukas Hanania. "Ya, Kak," sahut Hisyam. Dia memandangi perut perempuan berjilbab biru yang kian membuncit. "Kalau sudah lahiran, kabarin. InsyaAllah, saat akikahan anak Kakak, aku pulang," paparnya. "Hu um. Pas sama waktu mudik liburan akhir tahun." "Yups. Sekaligus nikahan Rangga." Hanania memandangi pria yang dimaksud. "Pantau Rangga, Syam. Kalau gejala asmanya mulai kerasa, langsung angkut ke rumah sakit."
Seorang pria berkemeja marun, keluar dari mobil sedan hitam. Dia bergegas mendatangi kedua perempuan yang sedang memasukkan barang belanjaan ke bagasi mobil SUV putih. Lelaki berkulit kecokelatan menarik tangan kanan perempuan berambut sebahu, yang spontan menoleh. Utari membulatkan mata sesaat, sebelum menarik tangannya dengan keras hingga terlepas dari pegangan pria tersebut. "Ri, kita mesti bicara," ujar Kiano sembari berusaha menggapai tangan gadis berbaju salem. "Enggak mau!" tegas Utari sambil menepis tangan Kiano."Sebentar aja, Ri." "Kamu dengar nggak aku bilang apa tadi?" "Ya, aku dengar. Tapi, ini penting banget." Fatma maju dan menyelipkan diri di antara kedua orang tersebut. "Permisi. Anda harus menyingkir!" tegasnya sembari menatap Kiano dengan tajam. Meskipun pria tersebut lebih tinggi darinya, Fatma sama sekali tidak terintimidasi. "Aku cuma mau bicara sebentar dengan Tari. Maksimal 15 menit," terang Kiano sambil mengamati perempuan bermata besar yang menjadi per