Siang itu, ruang rapat gabungan kantor PG dan PBK di London, dipenuhi banyak orang. Mereka adalah para supervisor PG dan ketua regu pengawal seluruh Eropa, beserta staf dan petinggi dua perusahaan tersebut.Leon, ketua pengawal keluarga Baltissen, Luiz dan Benedicto, turut hadir dalam pertemuan itu, bersama dengan Bertrand Luiz, Gutierre Fidelle Luiz dan Hugo Baltissen.Bertrand adalah putra pertama Jose Luiz, sahabat Gustavo Baltissen, Ayah Alvaro yang merupakan warga asli Spanyol. Gutierre adalah sepupu Bertrand. Sementara Hugo adalah Adik Alvaro, tetapi berbeda Ibu. Wirya dan Alvaro bergantian menjelaskan rencana perubahan manajemen PBK, yang otomatis akan mengubah pengawas seluruh unit kerja, yang akan dimulai beberapa bulan mendatang. Hal itu dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi baru, sekaligus perubahan wajah-wajah dalam struktur perusahaan.Selanjutnya Zulfi memaparkan detail laporan keuangan selama enam bulan terakhir, khusus wilayah Eropa. Pria berkulit kecokelatan juga
Keesokan harinya, Utari dan Fatma ikut kelompok Heru berangkat menuju Perancis. Hisyam, Wirya dan Zulfi serta beberapa ajudan muda mengawal para bos PG, karena Alvaro dan yang lainnya tetap tinggal di London untuk menunggu kedatangan Miranda serta Delmar.Perjalanan menggunakan kereta Eurostar yang berkecepatan tinggi, memakan waktu sekitar 2 jam 22 menit. Eurostar bergerak dengan kecepatan 320 km/jam. Lebih dari 12 kali waktu keberangkatan yang ditawarkan Eurostar setiap harinya.Kelompok pimpinan Zulfi memutuskan mengikuti keberangkatan menjelang siang hari, agar mereka bisa menikmati pemandangan indah di sepanjang jalur kereta. Utari duduk berdampingan dengan Fatma. Keduanya sibuk membuat swa foto ataupun video singkat yang mengisahkan perjalanan tersebut. Meskipun itu adalah ketiga kalinya Utari bertolak ke Perancis, tetapi baru kali itu dia menaiki kereta. Sebab yang dulu dia menumpang di pesawat.Perjalanan menggunakan Eurostar memang sedikit lebih lama waktu tempuh daripada me
"Sepertinya dia nggak bohong, Bro," tutur Dandi, seusai membaca informasi dari resepsionis gedung kantor PG dan PBK di London. "Maksudmu?" tanya Kiano sambil memandangi sahabatnya di kursi samping kiri. "Dia bilang ke kamu, dia berbisnis di sini, Swiss dan banyak negara lainnya. Itu memang benar." Kiano menegakkan badan. "Jelasin siapa dia." "Namanya Hisyam, tapi belakangnya nggak tahu. Jabatannya, manajer operasional PG cabang Eropa. Sekaligus manajer operasional PBK di sini." Kiano mengerjap-ngerjapkan mata. "Ehm, dia pengawal?" "Ya, tapi petingginya, bukan pengawal biasa." Kiano berdecih. "Pantas saja gerakannya cepat sekali. Aku nggak lihat dia ngangkat kaki." "Aku juga nggak ngeh. Cuma sempat lihat kelebatannya sebelum kamu terpelanting." "Hmm, pantas juga dia sangat sombong." "Jabatannya bukan kaleng-kaleng, Bro. PG dan PBK itu perusahaan besar. Gajinya dobel, dan pastinya gede." "Kalau dia miskin, Tari pasti nggak mau." "Ehm, dan tentang mereka, sepertiny
Utari terkekeh dan nyaris tersedak nasi. Dia menghentikan tawa dan segera meminum airnya, lalu meneruskan bersantap hingga makanan habis. Perut yang kenyang membuat Utari mengantuk. Dia membetulkan posisi duduk, lalu memejamkan mata. Sukma perempuan berjaket hijau lumut perlahan melayang, hingga tidak menyadari jika Heru berdiri dan jalan bersama teman-temannya untuk membuat video di gerbong paling belakang. Hisyam dan Beni tetap tinggal untuk menjaga Utari. Sebab Fatma masih tertidur, kedua pria yang sama-sama mengenakan jaket kulit hitam harus mengawasi sang nona. Hisyam yang berada di kursi sisi kanan, memerhatikan Utari yang mulai miring ke kanan. Dia bergegas bangkit untuk berpindah ke kursi kosong yang tadinya ditempati Heru, lalu memegangi pundak Utari yang masih terlelap. "Ben, ambilin bantalku," pinta Hisyam sambil menoleh ke kanan. Beni mengambil benda yang dimaksud, kemudian memberikannya pada rekannya. "Tari pulas banget kayaknya. Nyaris jatuh pun, dia nggak sadar."
Hari terakhir di Belanda digunakan kelompok pimpinan Wirya buat menjelajahi beberapa tempat wisata terkenal. Menjelang senja mereka berpindah ke kanal, sebagai destinasi penutup. Mereka sangat antusias menaiki kapal, sesaat setelah Linggha menyelesaikan negoisasi dengan pemilik kapal. Pria bertato banyak dulunya pernah menetap selama lima tahun di negara tersebut, hingga sangat menguasai bahasa serta kulturnya. Utari memandangi Linggha yang sedang berbincang dengan pemilik kapal. Ivan turut dalam percakapan itu, karena dia sedikit menguasai bahasa setempat. Ivan mempelajarinya secara otodidak dan akan dipraktikkan bila berjumpa dengan Linggha. "Aku pengen bisa banyak bahasa," tutur Utari sambil memindai sekitar. "Ikut kelas private, Non," balas Fatma. "Kelas di mana?" "Kalau nggak salah, karyawan kantor lantai lima ada yang buka kelas provate." "Yang mana?" "Perempuan, rambutnya merah dan pakai kacamata. Manis juga." "Gebetannya Beni," seloroh Hisyam yang berada di kursi bela
Hari berganti. Rombongan pimpinan Zulfi telah berada di London sejak kemarin sore. Mereka beristirahat semalaman, kemudian mereka berpamitan untuk pulang ke negara tercinta. Hisyam mendekap Mardi sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Berjuang bersama selama setahun terakhir menjadikan Hisyam sangat dekat dengan Mardi secara emosional. Setelah mengurai dekapan, keduanya berbincang sesaat. Kemudian Hisyam berpindah untuk menyalami Hanania, yang memberinya banyak wejangan. "Tahan diri, Syam. Jauhi masalah, karena di sini kamu yang tertua, sekaligus pemimpin yang lainnya," tukas Hanania. "Ya, Kak," sahut Hisyam. Dia memandangi perut perempuan berjilbab biru yang kian membuncit. "Kalau sudah lahiran, kabarin. InsyaAllah, saat akikahan anak Kakak, aku pulang," paparnya. "Hu um. Pas sama waktu mudik liburan akhir tahun." "Yups. Sekaligus nikahan Rangga." Hanania memandangi pria yang dimaksud. "Pantau Rangga, Syam. Kalau gejala asmanya mulai kerasa, langsung angkut ke rumah sakit."
Seorang pria berkemeja marun, keluar dari mobil sedan hitam. Dia bergegas mendatangi kedua perempuan yang sedang memasukkan barang belanjaan ke bagasi mobil SUV putih. Lelaki berkulit kecokelatan menarik tangan kanan perempuan berambut sebahu, yang spontan menoleh. Utari membulatkan mata sesaat, sebelum menarik tangannya dengan keras hingga terlepas dari pegangan pria tersebut. "Ri, kita mesti bicara," ujar Kiano sembari berusaha menggapai tangan gadis berbaju salem. "Enggak mau!" tegas Utari sambil menepis tangan Kiano."Sebentar aja, Ri." "Kamu dengar nggak aku bilang apa tadi?" "Ya, aku dengar. Tapi, ini penting banget." Fatma maju dan menyelipkan diri di antara kedua orang tersebut. "Permisi. Anda harus menyingkir!" tegasnya sembari menatap Kiano dengan tajam. Meskipun pria tersebut lebih tinggi darinya, Fatma sama sekali tidak terintimidasi. "Aku cuma mau bicara sebentar dengan Tari. Maksimal 15 menit," terang Kiano sambil mengamati perempuan bermata besar yang menjadi per
Suasana ruang rapat di kantor Sherburne, siang itu terlihat banyak orang. Mereka tengah memerhatikan pria berparas Asia, yang sedang menerangkan detail tim-nya untuk mengerjakan proyek, yang telah disepakati dengan perusahaan itu dan beberapa rekan bisnis lainnya. Pada sesi tanya jawab, para pria asli Eropa bertanya dengan serius. Hinyam menjawab semuanya secara lugas. Meskipun tampil tenang, sebetulnya Hisyam deg-degan. Sebab baru kali itulah dia tampil menjadi pembicara mewakili PG. Biasanya, Adelard yang akan menjelaskan keunggulan PG. Namun, karena dia sudah kembali ke Indonesia, mau tidak mau Hisyam yang harus memikul tanggung jawab sebagai wakil PG di Eropa. Rangga yang juga ikut dalam rapat itu, berusaha menahan tawa saat melihat dahi rekannya berkeringat. Rangga menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, hingga Hisyam usai berpidato. Sekian menit berlalu, peserta rapat lainnya telah membubarkan diri. Hisyam dan Rangga masih bertahan untuk berbincang dengan Galant Sherburne,
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin