Langit siang perlahan meredup. Udara malam kian sejuk karena angin yang berembus kencang. Hingga banyak orang memutuskan untuk berlindung di dalam rumah, ataupun mengenakan pakaian tebal karena terpaksa berada di luar bangunan.
Utari memasuki mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh sang sopir. Dia memasang sabuk pengaman, kemudian memandangi area depan mobil.
Hisyam melajukan mobil MPV putih dengan kecepatan sedang. Dia memfokuskan pandangan ke depan untuk memastikan tidak ada hewan yang melintas di jalanan.
Lokasi rumah khusus tim PBK dan PG berada di pinggir Kota London. Sudah sering para pengendara harus mengerem tiba-tiba akibat ada hewan yang menyeberang tanpa peduli dengan situasi.
Hisyam pernah nyaris menabrak anak anjing yang tengah mengejar induknya. Untungnya dia sigap mengerem hingga tidak menubruk binatang kecil yang segera menjauh.
"Bang, dapat salam dari Zaara dan Malanaya," ujar Utari seusai membaca pesan dari kedua sahabatnya di grup khusus mereka bertiga.
"Waalaikumsalam. Kangen aku sama mereka," balas Hisyam.
"Enggak kangen sama Teh Edelweiss?"
"Itu pasti. Pacar abadiku itu."
"Aku salut sama kalian. Bisa menjalin hubungan batin yang kokoh. Padahal Teteh El sudah punya suami."
"Pak Dante tahu, jika aku menyayangi istrinya seperti adikku. Bukan sayang laki-laki ke perempuan."
"Ya, karena itu Koko nggak cemburu ke Abang."
"Kadang dia cemburu juga. Tapi kucuekin aja."
"Cemburunya kayak gimana?"
"Pak Dante bakal langsung nelepon dan minta aku putuskan hubungan dengan istrinya. Kujawab, Bapak lagi kesambet? Akhirnya ketawa lagi dia."
Utari tertawa, kemudian dia cepat-cepat menghentikan gelakaknya. "Lucu itu Koko. Gayanya sok cool, tapi aslinya manja banget."
"Begitulah. Dia juga nggak peduli sekitar. Kalau lagi pengen, bakal langsung nyiumin istrinya di depan pegawai. Habis itu dia maksa Teh El ke kamar. Bikin aku senewen."
Utari terbahak dan memancing Hisyam melakukan hal serupa. Keduanya baru berhenti tertawa ketika sudah hampir sampai di tempat tujuan.
Seusai Hisyam menghentikan mobil di tempat parkir, keduanya turun dari kendaraan sambil membawa tas kain masing-masing.
Tiba-tiba Utari terpeleset akibat jalanan licin yang tergenang air. Hisyam sigap memegangi rekannya, kemudian dia membantu Utari menepi.
"Kamu melamun lagi," keluh Hisyam sambil memandangi gadis berjaket panjang abu-abu muda.
"Ehm, nggak," sanggah Utari.
"Itu bisa tisoledad, padahal genangan airnya bisa dihindari."
"Aku ...."
Utari tidak jadi melanjutkan perkataan karena namanya dipanggil seseorang yang baru turun dari mobil sedan di sisi kanan tempat parkir.
Kala pria itu dan seorang temannya mendekat, Utari spontan mengaitkan tangannya ke lengan kiri Hisyam yang sempat bingung menyaksikan tingkah sang gadis.
"Bang, itu Kiano," cicit Utari.
"Oh, ternyata itu orangnya," sahut Hisyam.
"Abang bantuin aku, ya."
"Gimana?'
"Kita berlakon sebagai pasangan kekasih. Aku akan bilang kalau Abang adalah orang yang dijodohkan Ibu denganku."
Hisyam hendak membantah, tetapi diurungkan karena Kiano dan rekannya telanjur tiba di depannya. Hisyam spontan menegakkan badan sambil membusungkan dada. Gaya andalannya jika hendak mengintimidasi orang.
Kiano memandangi kedua orang di hadapannya dengan saksama. Dia mengamati lelaki berkulit kecokelatan yang sedang digandeng Utari. Rasa cemburunya mencuat dan menyebabkan Kiano tidak menyukai pria berjaket kulit hitam tersebut.
"Aku mencarimu ke kantor, Tari. Tapi kamunya nggak ada," ungkap Kiano sambil memandangi perempuan yang masih disayanginya dengan sorot mata penuh kerinduan.
"Buat apa mencariku?" tanya Utari.
"Kita harus bicara, berdua saja."
Utari menggeleng. "Seperti yang kukatakan tempo hari lewat telepon, tidak ada yang harus kita bicarakan lagi."
"Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Avariella."
"Aku tidak peduli."
"Aku juga sudah menjelaskan semuanya pada Kakek dan keluargaku. Mereka ingin bertemu denganmu dan tentu saja keluargamu."
"Ngapain harus ketemu dengan kami?"
"Aku sudah meminta mereka untuk melamarkanmu."
Utari terkesiap sesaat, kemudian dia menoleh ke kanan dan beradu pandang dengan Hisyam. "Sorry, tapi aku sudah menerima perjodohan dengan Abang. Dan kami akan segera menikah."
Kiano membulatkan matanya. "Bukannya dulu kamu menolak dijodohkan?"
"Itu karena aku belum tahu jika Abang adalah orang yang baik, setia dan sangat bertanggung jawab. Aku pindah ke sini sebagai upaya untuk lebih dekat dengannya. Dan, ternyata aku benar-benar menyayanginya."
Hisyam menyunggingkan senyuman. Dia takjub dengan drama yang dilakukan dengan baik oleh Utari. Hisyam membalas perkataan gadis tersebut dengan melepaskan pegangan, lalu menggeser tangannya untuk mendekap pundak Utari dari samping.
Sang gadis menengadah karena Hisyam lebih tinggi darinya. Mereka sama-sama tersenyum, lalu Utari memindahkan tangannya untuk melingkari pinggang Hisyam.
"Maaf, tapi kami harus buru-buru berbelanja. Permisi," tukas Hisyam.
"Aku belum selesai bicara dengan Tari!" desis Kiano.
"Dia tadi sudah menegaskan tentang hubungan kami. Jadi, lebih baik kamu menyingkir dan pergi jauh dari sini. Bila tidak, jangan salahkan jika aku melakukan tindakan preventif untuk melindungi calon istriku."
"Jangan sombong dulu, Bung. Aku yakin jika kamu hanya pelarian bagi Tari."
"Enggak masalah. Sebentar lagi kami akan menikah dan dia akan jadi milikku. Tidak akan ada kesempatan buatmu untuk menggapainya lagi, karena aku akan benar-benar menjaga milikku dari orang licik sepertimu."
"Aku tidak licik!"
"Begitu? Berarti aku keliru karena ternyata kamu bukan licik, tetapi nggak tahu diri. Sudah jelas-jelas salah, menjadikan Tari ban serep, padahal kamu juga membagi hati ke perempuan lain. Kemaruk!"
Kiano maju dan hendak meninju Hisyam, tetapi sang pengawal lebih dulu bergerak menendangi lawannya. Kiano tidak sempat menjerit ketika kepalanya dtendangi Hisyam dari samping, dengan kencang.
Dunia Kiano mendadak berkunang-kunang. Dia limbung dan nyaris jatuh, sebelum Dandi cepat-cepat menangkapnya. Hisyam mengarahkan Utari kembali ke mobil. Keduanya memasuki kendaraan, lalu Hisyam segera mengemudikan mobilnya menjauhi area tersebut.
07"Harusnya jangan cuma ditendang sekali, Syam," tukas Adelard, sesaat setelah Utari selesai mengadukan peristiwa yang terjadi puluhan menit silam. "Ho oh. Mestinya, hajar itu penjahat cinta,' sahut Mardi. "Patah-patahin tulangnya, kayak yang biasa dilakukan Zulfi," imbuh Jaka. "Gunakan wushu secara maksimal," papar Sudrajat. "Kalau perlu, dielus lehernya pakai belati, kayak yang Bang Wirya lakuin dulu," cetus Beni. "Stop!" desis Hanania. "Usul kalian nggak ada yang benar!" omelnya. "Tapi, cowok itu memang harus dihajar, Kak. Aku masih belum puas lihat dia dipukulin Kak Dahlia, dulu," ungkap Fatma. "Jangankan kamu, Fa, aku juga masih geram pengen mukulin dia, sekaligus menampar pacarnya itu," sela Utari. "Bisa-bisanya dia ngatain aku perebut tunangannya. Padahal aku nggak tahu kalau si piano rusak itu sudah bertunangan. Kalau tahu, nggak mungkin aku bertahan jadi kekasihnya!" sungutnya. "Coba kalian tenang dulu. Kita fokus ke masalah tadi," tutur Hanania sambil mengarahkan pa
Ketegangan di pundak Hisyam perlahan berkurang. Tiga hari terlewati semenjak dirinya bertengkar dengan Kiano, tetapi pria itu tidak ada tanda-tanda telah melaporkan Hisyam ke polisi. Wakil dari pengacara PG dan PBK telah mencari informasi dari kantor polisi terdekat dengan tempat kejadian perkara. Namun, tidak ada seorang pun yang menyebarkan informasi perdebatan yang diakhiri dengan adu kekuatan oleh kedua pria, di area parkir depan supermarket. Siang itu, Hisyam dan Mardi tiba di kantor klien tepat jam 2 siang. Mereka bergegas menuju ruang rapat di lantai 9, di mana para petinggi beberapa perusahaan telah menunggu.Sesampainya di sana, kedua pria bersetelan jas hitam kompak menegakkan badan dan memberi hormat. Kemudian mereka menyalami kedelapan orang dalam ruangan, lalu bersiap-siap memulai presentasi. Mardi memulai pidatonya dengan menyapa CEO Harding Grup dengan bahasa Spanyol yang fasih. Nigel Hiraldo membalas dengan bahasa serupa. Dia senang karena makin banyak rekan bisnis
Jalinan waktu terus bergulir. Mardi, Jaka, Hanania, Sudrajat, dan Adelard mulai mengemasi barang-barang mereka. Yang tidak digunakan dalam waktu dekat, dikirim ke Indonesia menggunakan jasa pengiriman kargo. Irfan dan Nurhan akan bertahan sampai tiga bulan ke depan, sesuai instruksi dari Wirya. Selain itu, keduanya diharapkan untuk melatih keempat pengawal muda yang menjadi anggota tim baru. Utari begitu senang untuk bertemu dengan Kakak tertua. Dia jadi lebih sering mengecek kalender dan menghitung hari pertemuan dengan Heru. Meskipun hanya seorang Kakak yang datang, Utari sudah sangat bahagia dijenguk keluarganya. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Siang itu Utari ikut Hisyam dan Beni yang bertugas menjemput kelompok belasan orang. Mereka menumpang di bus berukuran kecil yang disediakan hotel tempat para bos akan menginap. Sepanjang jalan menuju bandara, Utari tidak henti-hentinya berbalas pesan dengan Sekar dan Atalaric melalui grup khusus mereka. Heru masih belum menimpali p
Langit malam bertabur bintang. Rembulan memamerkan separuh bentuknya yang memukau. Angin berembus ringan menggoyang dedaunan di pohon-pohon. Hampir tidak ada bunyi kendaraan yang melintas. Sebab area itu berada di bagian ceruk lembah dan cukup jauh dari jalan raya. Jika tidak membaca papan di tepi jalan, warga pendatang tidak akan tahu bila ada belasan rumah di sana. Halaman rumah dinas di ujung ceruk terlihat ramai orang. Mereka tengah bersantap bersama dengan menu aneka panganan khas Indonesia, yang dibawa tim Alvaro. Sesuai dengan permintaan Utari dan rekan-rekannya yang merindukan makanan dari negeri asal mereka. Hisyam pada awalnya bergabung dengan kelompok pengawal muda, tetapi kemudian dia pindah ke kelompok petinggi PBK yang memanggilnya dan Sudrajat untuk berbincang sambil menikmati hidangan. Sementara Utari bergabung dengan para bos PG yang menempati karpet lain. Gadis berhidung bangir mendengarkan percakapan semua pria dewasa sembari sekali-sekali tertawa. Gelaka
Siang itu, ruang rapat gabungan kantor PG dan PBK di London, dipenuhi banyak orang. Mereka adalah para supervisor PG dan ketua regu pengawal seluruh Eropa, beserta staf dan petinggi dua perusahaan tersebut.Leon, ketua pengawal keluarga Baltissen, Luiz dan Benedicto, turut hadir dalam pertemuan itu, bersama dengan Bertrand Luiz, Gutierre Fidelle Luiz dan Hugo Baltissen.Bertrand adalah putra pertama Jose Luiz, sahabat Gustavo Baltissen, Ayah Alvaro yang merupakan warga asli Spanyol. Gutierre adalah sepupu Bertrand. Sementara Hugo adalah Adik Alvaro, tetapi berbeda Ibu. Wirya dan Alvaro bergantian menjelaskan rencana perubahan manajemen PBK, yang otomatis akan mengubah pengawas seluruh unit kerja, yang akan dimulai beberapa bulan mendatang. Hal itu dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi baru, sekaligus perubahan wajah-wajah dalam struktur perusahaan.Selanjutnya Zulfi memaparkan detail laporan keuangan selama enam bulan terakhir, khusus wilayah Eropa. Pria berkulit kecokelatan juga
Keesokan harinya, Utari dan Fatma ikut kelompok Heru berangkat menuju Perancis. Hisyam, Wirya dan Zulfi serta beberapa ajudan muda mengawal para bos PG, karena Alvaro dan yang lainnya tetap tinggal di London untuk menunggu kedatangan Miranda serta Delmar.Perjalanan menggunakan kereta Eurostar yang berkecepatan tinggi, memakan waktu sekitar 2 jam 22 menit. Eurostar bergerak dengan kecepatan 320 km/jam. Lebih dari 12 kali waktu keberangkatan yang ditawarkan Eurostar setiap harinya.Kelompok pimpinan Zulfi memutuskan mengikuti keberangkatan menjelang siang hari, agar mereka bisa menikmati pemandangan indah di sepanjang jalur kereta. Utari duduk berdampingan dengan Fatma. Keduanya sibuk membuat swa foto ataupun video singkat yang mengisahkan perjalanan tersebut. Meskipun itu adalah ketiga kalinya Utari bertolak ke Perancis, tetapi baru kali itu dia menaiki kereta. Sebab yang dulu dia menumpang di pesawat.Perjalanan menggunakan Eurostar memang sedikit lebih lama waktu tempuh daripada me
"Sepertinya dia nggak bohong, Bro," tutur Dandi, seusai membaca informasi dari resepsionis gedung kantor PG dan PBK di London. "Maksudmu?" tanya Kiano sambil memandangi sahabatnya di kursi samping kiri. "Dia bilang ke kamu, dia berbisnis di sini, Swiss dan banyak negara lainnya. Itu memang benar." Kiano menegakkan badan. "Jelasin siapa dia." "Namanya Hisyam, tapi belakangnya nggak tahu. Jabatannya, manajer operasional PG cabang Eropa. Sekaligus manajer operasional PBK di sini." Kiano mengerjap-ngerjapkan mata. "Ehm, dia pengawal?" "Ya, tapi petingginya, bukan pengawal biasa." Kiano berdecih. "Pantas saja gerakannya cepat sekali. Aku nggak lihat dia ngangkat kaki." "Aku juga nggak ngeh. Cuma sempat lihat kelebatannya sebelum kamu terpelanting." "Hmm, pantas juga dia sangat sombong." "Jabatannya bukan kaleng-kaleng, Bro. PG dan PBK itu perusahaan besar. Gajinya dobel, dan pastinya gede." "Kalau dia miskin, Tari pasti nggak mau." "Ehm, dan tentang mereka, sepertiny
Utari terkekeh dan nyaris tersedak nasi. Dia menghentikan tawa dan segera meminum airnya, lalu meneruskan bersantap hingga makanan habis. Perut yang kenyang membuat Utari mengantuk. Dia membetulkan posisi duduk, lalu memejamkan mata. Sukma perempuan berjaket hijau lumut perlahan melayang, hingga tidak menyadari jika Heru berdiri dan jalan bersama teman-temannya untuk membuat video di gerbong paling belakang. Hisyam dan Beni tetap tinggal untuk menjaga Utari. Sebab Fatma masih tertidur, kedua pria yang sama-sama mengenakan jaket kulit hitam harus mengawasi sang nona. Hisyam yang berada di kursi sisi kanan, memerhatikan Utari yang mulai miring ke kanan. Dia bergegas bangkit untuk berpindah ke kursi kosong yang tadinya ditempati Heru, lalu memegangi pundak Utari yang masih terlelap. "Ben, ambilin bantalku," pinta Hisyam sambil menoleh ke kanan. Beni mengambil benda yang dimaksud, kemudian memberikannya pada rekannya. "Tari pulas banget kayaknya. Nyaris jatuh pun, dia nggak sadar."
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin