Hisyam memandangi layar laptop yang menampilkan data unit kerja PBK yang dikirimkan Mardi melalui surel. Sang direktur operasional PBK tersebut akan selesai masa tugasnya beberapa bulan lagi, dan Hisyam yang akan menggantikan posisi Mardi.
Kendatipun tahu jika tugasnya akan bertambah berat karena unit kerja PBK lebih banyak daripada PG, tetapi Hisyam yakin bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Posisi Hisyam di PG cabang Eropa akan digantikan Rangga, Adik Wirya, direktur utama PBK dan BPAGK, tempat di mana Hisyam pernah bekerja, sebelum dipindahkan ke Eropa. Rangga saat itu menjabat manajer HRD BPAGK. Dia dipilih Tio dan lima ketua tim PG untuk memimpin kantor cabang Eropa. Kinerja bagus Rangga selama tiga tahun terakhir di BPAGK, menjadi alasan kuat dirinya diberikan tugas penting tersebut. Selain Rangga, ada beberapa pengawal muda yang akan membantunya dan Hisyam bekerja. Mereka akan bersinergi dengan beberapa perusahaan anggota PC yang berada di London, Paris dan Denhag. "Syam, Senin, jadi ikut aku ke Swiss?" tanya Jaka yang baru memasuki ruang kerja juniornya. "Ya, Bang," jawab Hisyam. "Tari, diajak aja. Biar nggak suntuk." "Ehm, istri Abang ikut, nggak?" "Ikut. Makanya dia minta Tari juga ikut, biar ada teman ngobrol." "Harus ngajak Fatma juga." "Enggak apa-apa. Biar Fatma yang ngawal mereka jalan. Kita sama Drajat, meeting." "Berarti Beni dan yang lainnya tetap di sini." "Ya, karena Mardi sama Adelard mau ke Jerman." "Berdua aja?" "Enggak. Sama perwakilan dari Pangestu dan Janitra Grup." Hisyam manggut-manggut. "Oke, aku chat Tari. Biar dia siap-siap dari sekarang." "Bawa barang seperlunya aja. Kita cuma tiga hari perginya." "Kak Nia dan Fatma bisa cuma bawa satu tas. Tari nggak bakal bisa. Dia selalu mastiin pakaiannya sesuai." Jaka mengulum senyuman. "Kayaknya kamu sudah paham karakternya Tari." "Aku dapat banyak info dari Yusuf." "Ah, ya, aku lupa kalau dulu, Yusuf pernah jadi ketua pengawal Dewawarman." Jaka terdiam sejenak, lalu dia bertanya, "Sekarang, siapa ketuanya?" "Masih Sanjaya. Tapi, kata Bang W, lagi dicari junior buat gantiin Sanjaya. Karena dia sudah harus fokus jadi pengajar PBK sekaligus manajer marketing SHEHHBY." "Sanjaya itu pintar. Lihat gayanya, mirip Andri." "Ya, dia rada serius. Beda sama Listu, Uday dan Lazuardi." "Mereka seangkatan, ya?" "Hu um. Angkatan tiga." "Lazuardi kayaknya bakal jadi salah satu yang menonjol di angkatan itu." "Dia cerdas dan penurut. Jadi kesayangan Kang Zulfi." "Jadi nggak dia dikirim ke sini?" "Insyaallah. Aku udah merengek lama sama Bang W. Tadinya aku minta Dimas yang dikirim, tapi nggak dikasih." "Dimas dan Aditya lagi dipersiapkan Wirya buat pegang pengawasan Asia Tenggara." "Ya, karena Yusuf dan Ari sudah sibuk di Asia lainnya, plus Australia dan New Zealand." "Baguslah. Memang regenerasi sudah harus dipersiapkan dari jauh-jauh hari." Matahari pagi bergerak naik. Siang menjelang dengan kecepatan maksimal. Panggilan seseorang dari depan pintu yang dalam kondisi terbuka, menyebabkan Hisyam menghentikan aktivitas dan menengadah. "Bang, kita cari makan di luar, yuk!" ajak Utari sambil melangkah memasuki ruangan. "Ehm, aku banyak kerjaan. Susah buat keluar," tolak Hisyam. "Ayolah, Bang. Temani aku." "Kan, ada Fatma." "Dia tadi pulang duluan." "Kenapa?" "Lagi sakit perut karena tamu bulanannya datang." Hisyam tertegun sesaat, lalu mengangguk mengerti. "Minta temenin sama Irfan aja, ya? Dia lagi lowong." Utari mencebik. "Aku maunya sama Abang. Lagian Abang udah janji sama Bang Varo, Bang Yanuar, Bang Yoga, Bang Wirya dan Bang Zulfi, untuk menjagaku selama di sini." Hisyam meringis. "Enggak sekalian nyebutin semua pengawal lapis dua?" "Aku nggak hafal semuanya. Cuma tahu mereka, Bang Mardi, Bang Jaka, Bang Andri dan Mas Yono." "Harusnya kamu sudah hafal tim Power Rangers. Jumlahnya juga cuma 16 orang." "Wajibkah?" "Yoih. Supaya nggak ketukar orang saat ketemu nanti. Karena mereka semuanya pegang jabatan penting di PG, PC, PBK, PM, PCB, HWZ, LCGL dan beberapa perusahaan lainnya." "Abang nyebutin perusahaan-perusahaan itu, otakku langsung demam." Hisyam tergelak, sedangkan Utari tersenyum lebar. Setelah tawanya lenyap, Hisyam berdiri dan menyambar tas selempang kecil yang berisikan barang-barang penting. Hisyam mematikan laptop, lalu mengajak Utari keluar. Dia menutup pintu ruang kerja, kemudian mengayunkan tungkai menyusul sang nona yang terlebih dahulu jalan menuju lift. Pria berkemeja krem berhenti di depan ruang staf. Dia memanggil Irfan dan mengajak lelaki yang lebih muda untuk ikut bersamanya. Kedua lelaki yang berpostur hampir sama, jalan bersisian menuju elevator. Sekian menit terlewati, ketiga orang tersebut telah berada di mobil SUV putih, yang menjadi kendaraan inventaris buat Hisyam. Mereka berbincang mengenai kabar terbaru dari tanah air. "Aku jadi pengen daftar buat pegang cabang Amerika dan Kanada," tukas Hisyam, sesaat setelah Utari menjelaskan informasi dari tim PG. "Kalau Abang ke sana, di sini siapa yang pegang?" tanya Irfan yang bertugas sebagai sopir. "Lazuardi. Dia bisa kerjasama dengan Uday atau Fikri." "Aku ikut, dong, Bang. Belum tahu Amerika dan Kanada kayak gimana." "Kamu daftar ke Bang W." "Oke. Nanti aku chat beliau." "Jangan di-spam. Nanti dia ngamuk." "Hu um, kayak siapa itu dulu? Spam pesan lima kali. Besoknya dipanggil ke kantor dan dimarahin Bang W." "Kalau nggak salah, angkatannya Syuja. Lupa aku namanya." "Jangankan Ayah Bayazid, aku pun kalau di-spam pesan, pasti ngamuk," sela Utari dari kursi belakang. "Ya, aku juga sama. Tapi, aku masih bisa nahan sabar. Bang W juga sebetulnya penyabar. Mungkin waktu itu dia lagi capek banget, jadinya emosi," papar Hisyam. "Ngebayangin jadi Bang W, aku udah capek duluan," timpal Irfan. "Beliau pegang tiga perusahaan. Jadinya sibuk berat. Pasti capek," ungkap Hisyam. "Walaupun di HWZ beliau nggak terlalu hectic, tapi PBK ini yang paling menyita waktu," lanjutnya. "Para Abang itu makannya apa, ya? Kerjaannya keluyuran terus," tutur Utari. "Ketiga kakakku aja nggak sesibuk Power Rangers," sambungnya. "Makannya biasa, Ri. Tapi dopingnya yang luar biasa," cakap Hisyam. "Apaan, Bang?" "Doa istri, Ibu dan keluarga mereka. Serta banyak pegawai yang menggantungkan hidup dari PBK, BPAGK dan perusahaan sampingan lainnya." *** Heru memandangi perempuan tua berjilbab hitam yang sedang menelepon Adik bungsunya. Heru mengeluh dalam hati karena Sulistiana sepertinya sulit memahami jika Utari belum ingin kembali ke Indonesia. Heru melirik Sekar yang sedang berbincang dengan Tania di kursi sebelah kanan. Dia memberi kode pada adiknya yang segera mengangguk paham. Kemudian Heru mengerling Atalaric, yang sedang fokus pada ponselnya. Putra sulung keluarga Dewawarman berdeham yang menjadikan Atalaric menengadah. Keduanya seolah-olah tengah berbincang menggunakan bahasa batin, kemudian sama-sama mengangguk. Setelah Sulistiana memutus sambungan telepon, Heru berdiri dan menyambangi sang ibu. Dia mengajak perempuan kesayangan untuk berpindah ke ruang kerja, dengan diikuti Sekar dan Atalaric. Setibanya di tempat tujuan, Heru duduk berdampingan dengan Sulistiana. Dia menyampaikan informasi terkini dari PG, tentang tawaran kerja buat sang putri bungsu. "Ibu nggak setuju," tolak Sulistiana. "Apa alasan Ibu untuk menolak?" tanya Heru dengan suara lembut agar tidak menyinggung ibunya. "Tari itu perempuan, Mas. Apalagi usianya sudah dua puluh enam tahun. Sudah sepantasnya dia menikah dan memiliki keluarga sendiri." "Tari sedang patah hati, Bu. Di sana dia sangat betah dan enjoy bekerja jadi asisten Adelard. Lebih baik kita biarkan dia di sana, sambil menunggu luka hatinya pulih." "Ibu sudah didesak keluarga Sumantri untuk melakukan pertunangan antara Tari dan Leo." "Dan Tari sudah menegaskan, jika dia menolak pertunangan itu." "Dia harus menurut, karena ini wasiat Ayah kalian." "Bu, belum cukupkah Sekar dan Aric yang jadi korban perjodohan?" Sulistiana terkesiap. "Mereka hanya tidak beruntung. Mungkin saja nasib Tari berbeda." "Kalau sama, gimana?" Sulistiana terdiam. Dia menggerak-gerakkan lidah, tetapi tidak ada kalimat yang berhasil diucapkan. Sentuhan di lengan kanan menyebabkannya menoleh dan beradu pandang dengan putri keduanya. "Mas Heru benar, Bu. Aku sudah menuruti kemauan Ayah dan Ibu. Menikah dengan laki-laki pilihan kalian yang ternyata tidak punya attitude yang bagus," ungkap Sekar. "Aku bertahan menjadi istrinya dan menyembunyikan aib suami dari keluarga. Tapi, perselingkuhan terakhirnya tidak dapat kuterima, apalagi dimaafkan. Hingga aku yakin untuk bercerai, dan memilih menjadi janda. Daripada harus tersiksa batin terus-menerus." "Aric juga sudah menuruti keinginan Ayah dan Ibu. Dia meninggalkan pacarnya demi menerima pertunangan yang kalian rencanakan dengan kerabat Ayah. Tapi, hasilnya, perempuan itu justru mempermalukan Aric dengan hamil anak pacarnya, lalu mereka kabur dengan membawa uang antaran." "Kumohon, Bu. Biarkan Tari memilih jalan hidupnya sendiri. Dia nggak bisa cinta sama Leo, karena nggak klik. Kita nggak bisa maksa, Bu, karena Tari yang menjalani kehidupannya, dan bukan kita. Apa Ibu mau, anak bungsu Ibu jadi janda juga kayak aku?" tanya Sekar yang mengagetkan Sulistiana. "Atau Ibu mau, Tari kayak aku? Susah dapat jodoh, karena disumpahi keluarga mantan pacar?" desak Atalaric yang kian mengejutkan Sulistiana. "Kami mohon, Bu. Biarkan Tari dengan keputusannya sendiri," cakap Heru. "Dia senang di London, karena bisa lepas dari nama besar keluarga kita dan menjadi orang biasa. Bukan putri keluarga kaya," tambahnya. "Aku, Mas Heru dan Mbak Sekar, sudah menyetujui tawaran Mas Tio. Agar Tari jadi pegawai tetap di PG cabang Eropa," papar Atalaric. "Dia nggak sendirian, Bu. Banyak pengawal yang akan menemaninya bekerja," lanjutnya. "Selain itu, Varo sudah menjanjikan perlindungan maksimal pada Tari, dari keluarga Baltissen, Luiz dan Benedicto," beber Heru. "Di sana ada Miranda, Adik bungsu Varo. Lalu ada Dreena dan Vanessa. Jadi Tari nggak akan kesepian," lontarnya. "Aku dan Mas Heru akan bergantian mengunjungi Tari tiap tiga bulan sekali. Dia juga akan pulang ke sini dua kali setahun. Jadi Ibu bisa tetap bertemu dengannya," tukas Atalaric. "Ibu jangan khawatir. Kita juga bisa mengunjungi Tari dan tinggal sebulan di sana. Aku yang akan nemenin Ibu, jika Mas Heru dan Aric tengah sibuk," imbuh Sekar.Pekikan Utari mengejutkan orang-orang di ruang tamu rumah khusus karyawan PG dan PBK di London. Hisyam dan teman-temannya bertambah heran, karena gadis berkulit kuning langsat tersebut berjoget sambil tersenyum lebar.Penjelasan dari Fatma akhirnya bisa dipahami Hisyam. Dia mengulum senyuman menyaksikan tingkah Adik bungsu Heru, yang kentara sekali sedang berbahagia. Setelah Utari tenang, Hisyam mendatangi gadis berhidung bangir dan menyalaminya sambil mengucapkan selamat. Pria berkaus turkish terkejut ketika Utari memeluknya sembari mengucapkan terima kasih. "Terima kasih buat apa, Ri?" tanya Hisyam sambil menolak tubuh. "Abang sudah bantu aku bekerja dengan baik di sini. Hingga Mas Tio dan yang lainnya mempercayakan posisi penting itu padaku," jelas Utari sembari mundur sedikit. Dia malu karena memeluk Hisyam dengan spontan, hingga dipandangi yang lainnya. "Aku cuma berkontribusi sedikit. Selebihnya, kamu memang bagus hasil kerjanya. Aku juga terbantu banget, karena sejak ada ka
Penerbangan selama 1 jam 35 menit akhirnya usai. Setelah hampir semua penumpang turun, barulah Hisyam mengajak kelompoknya melangkah keluar pesawat. Mereka mengucapkan terima kasih pada crew pesawat yang membalas dengan seulas senyuman. Utari menggandeng Hanania. Mereka jalan mengekori langkah Hisyam, Sudrajat dan Jaka. Sedangkan Irfan dan Fatma menutup barisan. Ketujuh orang tersebut mengayunkan tungkai menyusuri lorong panjang hingga tiba di tempat pengambilan bagasi. Sebab tidak membawa koper besar, mereka tidak berhenti di sana, dan meneruskan langkah hingga tiba di depan area kedatangan. Hisyam mendatangi seorang pria asli Spanyol, yang menggunakan setelan jas hitam, dengan logo PBK di ujung kerah kiri. Lelaki berambut cepak memberi hormat yang dibalas kelima pengawal dengan hal serupa. Utari dan Hanania hanya mengangguk sopan pada ketua regu pengawal area Swiss. Seusai berbincang sesaat, pria bersetelan jas hitam yang bernama Delamo, mengajak kelompok tersebut menuju tempat
Hari berganti. Siang itu, Hisyam dan teman-temannya telah berada di kereta yang akan mengantarkan mereka menuju London. Sepanjang perjalanan, Utari lebih banyak diam. Pikirannya berkelana pada saat dirinya dan Kiano masih menjalin hubungan kasih. Betapa Utari sangat mencintai pria yang merupakan kekasih pertamanya. Sepasang mata bermanik cokelat itu mengabut, kala Utari teringat kenangan terindahnya bersama Kiano, hanya selang sebulan sebelum pria tersebut berpamitan untuk kembali ke Singapura. Pada awalnya Utari tidak terlalu curiga ketika menemukan banyak percakapan pesan Kiano dan Avariella, kerabat pria tersebut dari pihak ayahnya. Namun, malam itu Utari benar-benar penasaran karena Avariella jelas-jelas mengucapkan kerinduannya pada Kiano, lengkap dengan stiker peluk dan cium. Kendatipun Utari punya beberapa sahabat dan kerabat laki-laki, tetapi dia tidak pernah mengungkapkan kerinduan dengan berbagai stiker yang menunjukkan kemesraan, lebih dari sekadar kerabat. Utari h
Langit siang perlahan meredup. Udara malam kian sejuk karena angin yang berembus kencang. Hingga banyak orang memutuskan untuk berlindung di dalam rumah, ataupun mengenakan pakaian tebal karena terpaksa berada di luar bangunan.Utari memasuki mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh sang sopir. Dia memasang sabuk pengaman, kemudian memandangi area depan mobil.Hisyam melajukan mobil MPV putih dengan kecepatan sedang. Dia memfokuskan pandangan ke depan untuk memastikan tidak ada hewan yang melintas di jalanan.Lokasi rumah khusus tim PBK dan PG berada di pinggir Kota London. Sudah sering para pengendara harus mengerem tiba-tiba akibat ada hewan yang menyeberang tanpa peduli dengan situasi.Hisyam pernah nyaris menabrak anak anjing yang tengah mengejar induknya. Untungnya dia sigap mengerem hingga tidak menubruk binatang kecil yang segera menjauh."Bang, dapat salam dari Zaara dan Malanaya," ujar Utari seusai membaca pesan dari kedua sahabatnya di grup khusus mereka bertiga."Waalaiku
07"Harusnya jangan cuma ditendang sekali, Syam," tukas Adelard, sesaat setelah Utari selesai mengadukan peristiwa yang terjadi puluhan menit silam. "Ho oh. Mestinya, hajar itu penjahat cinta,' sahut Mardi. "Patah-patahin tulangnya, kayak yang biasa dilakukan Zulfi," imbuh Jaka. "Gunakan wushu secara maksimal," papar Sudrajat. "Kalau perlu, dielus lehernya pakai belati, kayak yang Bang Wirya lakuin dulu," cetus Beni. "Stop!" desis Hanania. "Usul kalian nggak ada yang benar!" omelnya. "Tapi, cowok itu memang harus dihajar, Kak. Aku masih belum puas lihat dia dipukulin Kak Dahlia, dulu," ungkap Fatma. "Jangankan kamu, Fa, aku juga masih geram pengen mukulin dia, sekaligus menampar pacarnya itu," sela Utari. "Bisa-bisanya dia ngatain aku perebut tunangannya. Padahal aku nggak tahu kalau si piano rusak itu sudah bertunangan. Kalau tahu, nggak mungkin aku bertahan jadi kekasihnya!" sungutnya. "Coba kalian tenang dulu. Kita fokus ke masalah tadi," tutur Hanania sambil mengarahkan pa
Ketegangan di pundak Hisyam perlahan berkurang. Tiga hari terlewati semenjak dirinya bertengkar dengan Kiano, tetapi pria itu tidak ada tanda-tanda telah melaporkan Hisyam ke polisi. Wakil dari pengacara PG dan PBK telah mencari informasi dari kantor polisi terdekat dengan tempat kejadian perkara. Namun, tidak ada seorang pun yang menyebarkan informasi perdebatan yang diakhiri dengan adu kekuatan oleh kedua pria, di area parkir depan supermarket. Siang itu, Hisyam dan Mardi tiba di kantor klien tepat jam 2 siang. Mereka bergegas menuju ruang rapat di lantai 9, di mana para petinggi beberapa perusahaan telah menunggu.Sesampainya di sana, kedua pria bersetelan jas hitam kompak menegakkan badan dan memberi hormat. Kemudian mereka menyalami kedelapan orang dalam ruangan, lalu bersiap-siap memulai presentasi. Mardi memulai pidatonya dengan menyapa CEO Harding Grup dengan bahasa Spanyol yang fasih. Nigel Hiraldo membalas dengan bahasa serupa. Dia senang karena makin banyak rekan bisnis
Jalinan waktu terus bergulir. Mardi, Jaka, Hanania, Sudrajat, dan Adelard mulai mengemasi barang-barang mereka. Yang tidak digunakan dalam waktu dekat, dikirim ke Indonesia menggunakan jasa pengiriman kargo. Irfan dan Nurhan akan bertahan sampai tiga bulan ke depan, sesuai instruksi dari Wirya. Selain itu, keduanya diharapkan untuk melatih keempat pengawal muda yang menjadi anggota tim baru. Utari begitu senang untuk bertemu dengan Kakak tertua. Dia jadi lebih sering mengecek kalender dan menghitung hari pertemuan dengan Heru. Meskipun hanya seorang Kakak yang datang, Utari sudah sangat bahagia dijenguk keluarganya. Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu. Siang itu Utari ikut Hisyam dan Beni yang bertugas menjemput kelompok belasan orang. Mereka menumpang di bus berukuran kecil yang disediakan hotel tempat para bos akan menginap. Sepanjang jalan menuju bandara, Utari tidak henti-hentinya berbalas pesan dengan Sekar dan Atalaric melalui grup khusus mereka. Heru masih belum menimpali p
Langit malam bertabur bintang. Rembulan memamerkan separuh bentuknya yang memukau. Angin berembus ringan menggoyang dedaunan di pohon-pohon. Hampir tidak ada bunyi kendaraan yang melintas. Sebab area itu berada di bagian ceruk lembah dan cukup jauh dari jalan raya. Jika tidak membaca papan di tepi jalan, warga pendatang tidak akan tahu bila ada belasan rumah di sana. Halaman rumah dinas di ujung ceruk terlihat ramai orang. Mereka tengah bersantap bersama dengan menu aneka panganan khas Indonesia, yang dibawa tim Alvaro. Sesuai dengan permintaan Utari dan rekan-rekannya yang merindukan makanan dari negeri asal mereka. Hisyam pada awalnya bergabung dengan kelompok pengawal muda, tetapi kemudian dia pindah ke kelompok petinggi PBK yang memanggilnya dan Sudrajat untuk berbincang sambil menikmati hidangan. Sementara Utari bergabung dengan para bos PG yang menempati karpet lain. Gadis berhidung bangir mendengarkan percakapan semua pria dewasa sembari sekali-sekali tertawa. Gelaka
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin