Suasana hening melingkupi kediaman Heru, awal malam itu. Meskipun ada beberapa orang di ruang tamu, tetapi tidak ada seorang pun yang urun suara. Sulistiana memijat dahinya yang tiba-tiba berdenyut. Perempuan tua berjilbab krem baru nendengar keputusan Utari, yang telah menerima pinangan Hisyam. Sulistiana tidak menduga bila putrinya akan memilih menikahi Hisyam, yang baru dekat dengannya selama beberapa bulan terakhir. Sulistiana terkejut dan sedikit kecewa, karena tadinya dia mengharapkan Utari mendapatkan pria yang levelnya sama dengan keluarga Dewawarman. Hisyam dan Utari yang duduk berdampingan di sofa panjang, saling melirik sesaat, sebelum sama-sama memandangi Sulistiana. Hal serupa juga dilakukan Heru, Sekar dan Atalaric yang menempati kursi di sekitar Sulistiana. "Bu, Hisyam masih menunggu," tukas Heru memecah keheningan. "Ibu tidak tahu harus menjawab apa. Karena sepertinya tidak ada yang peduli dengan hati Ibu," rajuk Sulistiana sambil menengadah untuk memerhatikan pas
Hisyam termangu sambil memandangi papan tulis, yang tergantung di dinding ruang tamu rumah Wirya. Benda putih besar itu telah penuh dengan nama-nama panitia, yang ditulis Zulfi dengan rapi. Alvaro yang memimpin rapat, tengah berdiskusi dengan ketiga Kakak Utari, Tio, Dante dan Baskara. Mereka nantinya jadi tim penanggung jawab acara akad dan resepsi. Sementara Wirya dan para Power Rangers, menyusun detail anggota PBK serta PB yang akan berjaga pada beberapa acara nanti. Sebab acara pernikahan beruntun full 4 minggu, semua anggota ring satu hingga tiga harus dipastikan berbeda orangnya. Hisyam tertegun ketika mendengar percakapan para sahabatnya yang merupakan anggota pengawal lapis tiga hingga lima. Hisyam terkejut kala Jauhari sibuk mengecek m-banking untuk memastikan transferan dari semua anggota pengawal muda telah masuk. "Kalian ngapain ngumpulin duit?" tanya Hisyam, setelah berpindah duduk ke dekat teman-temannya di teras depan. "Ini buat dana dadakan," kilah Jauhari. "Jan
Sepanjang pagi hingga siang itu Sulistiana tidak keluar dari kamarnya. Bahkan, troli makanan yang diantarkan asisten rumah tangga, masih tetap di tempat semula hingga masuk waktu Zuhur. Utari yang berada di rumah, hanya bisa menghela napas berulang kali. Menghadapi perempuan perajuk tersebut menjadikan Utari harus memperluas kesabarannya. Menjelang sore, kedua sahabat Utari datang dan mengajaknya jalan-jalan. Tania ikut bersama mereka, karena tidak mau ditinggal tantenya. "Yunara nggak ikut, Mala?" tanya Utari, sesaat setelah memasuki kursi tengah mobil putri bungsu keluarga Latief."Dia ikut Kakek Edmundo dan Babah main golf," jawab Malanaya yang berada di samping kiri sopir."Aku belum sempat mendatangi Kakek dan Emak di rumah baru." "Besok, mau? Kujemput." "Boleh. Sore, kan?" "Enggak. Kayak sekarang aja. Biar puas ngobrolnya." Utari memutar badan ke belakang untuk mengamati kedua ajudan baru keluarga Pramudya. "Kita belum kenalan. Aku, Utari," sapanya sembari mengulurkan tan
Hari berganti. Jumat pagi, belasan mobil MPV dan SUV bergerak menjauhi kediaman Wirya, yang menjadi titik berkumpulnya semua anggota rombongan. Setibanya di dekat gerbang utama cluster, beberapa unit mobil Jeep Mercedes-Benz bergabung di barisan belakang. Mereka adalah para bos PG yang turut berangkat bersama rombongan PBK. Hisyam berada di mobil kelima yang dikemudikan Banim. Dia mendengarkan acara berbalas kata keenam sahabatnya yang menempati kursi tengah dan belakang. Hisyam dan Banim terbahak, ketika Yusuf beradu mulut dengan Beni. Keduanya yang berada di kursi tengah, saling mencekik pura-pura, tanpa ada seorang pun yang berniat untuk melerai.Notifikasi di ponselnya menyebabkan Hisyam menghentikan gelakak. Dia segera menggulirkan jemari ke grup baru, yang akan dibentuk setiap mereka melakukan perjalanan secara rombongan. ***Grup OTW to BorneoYoga : Gaes, posisi? Zulfi : Aku masih di mobil kedua. Haryono : Aku di mobil ketiga. Andri : Mobilku ditikung Banim! Hisyam : H
Sore itu, acara siraman dilakukan di dua tempat berbeda. Acara Zaheera dilaksanakan di kediaman orang tuanya di kawasan Gusti Hamzah, yang lebih dikenal dengan jalan Pancasila. Acara Rangga dilakukan di taman belakang hotel. Area luas itu dihiasi aneka janur yang berbentuk setengah lingkaran. Rangga yang duduk di kursi sambil bertelanjang dada, menadahkan tangan dan mengikuti untaian doa yang dipanjatkan pamannya, yang menjadi pemimpin acara. Setelahnya, acara siraman dimulai. Harsaya dan Murti memandikan putra kedua mereka secara bergantian. Murti berusaha keras menahan tangisan. Namun, akhirnya dia terisak-isak sambil memeluk Rangga yang turut menangis. Harsaya memandangi istri dan anaknya sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Terbayang kembali masa kecil hingga remaja Rangga, yang termasuk anak baik-baik. Selanjutnya, satu per satu tetua keluarga turut memandikan sang calon pengantin laki-laki. Sultan dan Winarti, Gustavo dan Ira, serta Elis, ikut menyirami pria berkulit kuning l
Sabtu siang, gedung pertemuan terbesar di Kota Pontianak dipenuhi banyak orang. Para tamu datang silih berganti dengan menggunakan pakaian terbaik, dan mobil-mobil mentereng.Semua ajudan kompak mengenakan kemeja batik biru mengilat dan celana biru tua. Sementara para pengawal lapis satu dan dua mengenakan setelan rompi tuksedo hitam. Kendatipun penyejuk udara di dalam ruangan telah bekerja maksimal, tetapi karena sinar terik siang itu menjadikan hawa panas masih terasa. Area depan yang telah dipasangi tenda, akhirnya menjadi tempat favorit sebagian besar tamu dari luar kota. Terutama karena disediakam AC besar dan banyak kipas angin, hingga udaranya lebih sejuk daripada di dalam yang banyak orang. Akan tetapi, beberapa menit sebelum acara hiburan dimulai, semua orang di bagian luar memasuki ruangan. Mereka menyiapkan ponsel masing-masing untuk merekam drama yang akan ditampilkan para senior. Genderang perang terdengar dari pengeras suara. Perhatian orang-orang tertuju pada pintu
Jalinan waktu terus bergulir. Senin pagi, rombongan pimpinan Chairil telah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Jakarta. Hampir semua orang terlelap, akibat kelelahan karena padatnya jadwal selama tiga hari kemarin. Hanya ada sedikit yang masih terjaga dan mereka sibuk berbincang dengan berbagai topik.Hisyam menggeliat pelan di kursinya. Perjalanan panjang dari London yang dilanjutkan dengan penerbangan ke Pontianak hanya selang beberapa hari, menyebabkan tubuhnya pegal-pegal. Hisyam melirik ke kanan. Dia mengulum senyuman menyaksikan Utari dan Fatma tidur dengan menempelkan kepala mereka. Tatapan Hisyam beralih ke sekitar. Rekan-rekannya telah terlelap di kursi deretan belakang. Demikian pula dengan para orang tua yang menempati deretan kiri. Panggilan Alvaro membuat Hisyam menengadah Dia spontan mengangguk, lalu melepaskan sabuk pengaman. Hisyam berdiri dan menyambangi pria berparas separuh luar negeri di kursi paling depan. "Juna, pindah ke kursi Om Hisyam. Padr
Suasana hening melingkupi area pemakaman di wilayah Jakarta Selatan. Hanya ada sedikit orang di sana yang sedang berziarah. Selebihnya sunyi. Seorang perempuan tua memandangi pusara di hadapannya dengan tatapan nanar. Sekali-sekali dia akan mengusap matanya yang berair. Kemudian dia bermonolog sambil membayangkan sosok suaminya yang telah wafat 5 tahun silam. Sulistiana mengadukan kegundahan hatinya, akibat rencana pernikahan putri bungsunya. Sulistiana sangat berharap jika Dhahir Dewawarman bisa mendengarkan curahan hatinya. Meskipun dunia mereka sudah terpisah. Langit senja kian menggelap. Sulistiana menengadah untuk memandangi sang surya yang makin meredup. Sebelum akhirnya benar-benar tenggelam di ufuk barat. Perempuan tua berjilbab krem menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sulistiana enggan beranjak karena masih merindukan suaminya. Sulistiana mengalihkan pandangan pada beberapa orang pengunjung makam lainnya yang bergerak menjauh. Dia mendengkus pelan, la