Sepanjang pagi hingga siang itu Sulistiana tidak keluar dari kamarnya. Bahkan, troli makanan yang diantarkan asisten rumah tangga, masih tetap di tempat semula hingga masuk waktu Zuhur. Utari yang berada di rumah, hanya bisa menghela napas berulang kali. Menghadapi perempuan perajuk tersebut menjadikan Utari harus memperluas kesabarannya. Menjelang sore, kedua sahabat Utari datang dan mengajaknya jalan-jalan. Tania ikut bersama mereka, karena tidak mau ditinggal tantenya. "Yunara nggak ikut, Mala?" tanya Utari, sesaat setelah memasuki kursi tengah mobil putri bungsu keluarga Latief."Dia ikut Kakek Edmundo dan Babah main golf," jawab Malanaya yang berada di samping kiri sopir."Aku belum sempat mendatangi Kakek dan Emak di rumah baru." "Besok, mau? Kujemput." "Boleh. Sore, kan?" "Enggak. Kayak sekarang aja. Biar puas ngobrolnya." Utari memutar badan ke belakang untuk mengamati kedua ajudan baru keluarga Pramudya. "Kita belum kenalan. Aku, Utari," sapanya sembari mengulurkan tan
Hari berganti. Jumat pagi, belasan mobil MPV dan SUV bergerak menjauhi kediaman Wirya, yang menjadi titik berkumpulnya semua anggota rombongan. Setibanya di dekat gerbang utama cluster, beberapa unit mobil Jeep Mercedes-Benz bergabung di barisan belakang. Mereka adalah para bos PG yang turut berangkat bersama rombongan PBK. Hisyam berada di mobil kelima yang dikemudikan Banim. Dia mendengarkan acara berbalas kata keenam sahabatnya yang menempati kursi tengah dan belakang. Hisyam dan Banim terbahak, ketika Yusuf beradu mulut dengan Beni. Keduanya yang berada di kursi tengah, saling mencekik pura-pura, tanpa ada seorang pun yang berniat untuk melerai.Notifikasi di ponselnya menyebabkan Hisyam menghentikan gelakak. Dia segera menggulirkan jemari ke grup baru, yang akan dibentuk setiap mereka melakukan perjalanan secara rombongan. ***Grup OTW to BorneoYoga : Gaes, posisi? Zulfi : Aku masih di mobil kedua. Haryono : Aku di mobil ketiga. Andri : Mobilku ditikung Banim! Hisyam : H
Sore itu, acara siraman dilakukan di dua tempat berbeda. Acara Zaheera dilaksanakan di kediaman orang tuanya di kawasan Gusti Hamzah, yang lebih dikenal dengan jalan Pancasila. Acara Rangga dilakukan di taman belakang hotel. Area luas itu dihiasi aneka janur yang berbentuk setengah lingkaran. Rangga yang duduk di kursi sambil bertelanjang dada, menadahkan tangan dan mengikuti untaian doa yang dipanjatkan pamannya, yang menjadi pemimpin acara. Setelahnya, acara siraman dimulai. Harsaya dan Murti memandikan putra kedua mereka secara bergantian. Murti berusaha keras menahan tangisan. Namun, akhirnya dia terisak-isak sambil memeluk Rangga yang turut menangis. Harsaya memandangi istri dan anaknya sembari mengerjap-ngerjapkan mata. Terbayang kembali masa kecil hingga remaja Rangga, yang termasuk anak baik-baik. Selanjutnya, satu per satu tetua keluarga turut memandikan sang calon pengantin laki-laki. Sultan dan Winarti, Gustavo dan Ira, serta Elis, ikut menyirami pria berkulit kuning l
Sabtu siang, gedung pertemuan terbesar di Kota Pontianak dipenuhi banyak orang. Para tamu datang silih berganti dengan menggunakan pakaian terbaik, dan mobil-mobil mentereng.Semua ajudan kompak mengenakan kemeja batik biru mengilat dan celana biru tua. Sementara para pengawal lapis satu dan dua mengenakan setelan rompi tuksedo hitam. Kendatipun penyejuk udara di dalam ruangan telah bekerja maksimal, tetapi karena sinar terik siang itu menjadikan hawa panas masih terasa. Area depan yang telah dipasangi tenda, akhirnya menjadi tempat favorit sebagian besar tamu dari luar kota. Terutama karena disediakam AC besar dan banyak kipas angin, hingga udaranya lebih sejuk daripada di dalam yang banyak orang. Akan tetapi, beberapa menit sebelum acara hiburan dimulai, semua orang di bagian luar memasuki ruangan. Mereka menyiapkan ponsel masing-masing untuk merekam drama yang akan ditampilkan para senior. Genderang perang terdengar dari pengeras suara. Perhatian orang-orang tertuju pada pintu
Jalinan waktu terus bergulir. Senin pagi, rombongan pimpinan Chairil telah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Jakarta. Hampir semua orang terlelap, akibat kelelahan karena padatnya jadwal selama tiga hari kemarin. Hanya ada sedikit yang masih terjaga dan mereka sibuk berbincang dengan berbagai topik.Hisyam menggeliat pelan di kursinya. Perjalanan panjang dari London yang dilanjutkan dengan penerbangan ke Pontianak hanya selang beberapa hari, menyebabkan tubuhnya pegal-pegal. Hisyam melirik ke kanan. Dia mengulum senyuman menyaksikan Utari dan Fatma tidur dengan menempelkan kepala mereka. Tatapan Hisyam beralih ke sekitar. Rekan-rekannya telah terlelap di kursi deretan belakang. Demikian pula dengan para orang tua yang menempati deretan kiri. Panggilan Alvaro membuat Hisyam menengadah Dia spontan mengangguk, lalu melepaskan sabuk pengaman. Hisyam berdiri dan menyambangi pria berparas separuh luar negeri di kursi paling depan. "Juna, pindah ke kursi Om Hisyam. Padr
Suasana hening melingkupi area pemakaman di wilayah Jakarta Selatan. Hanya ada sedikit orang di sana yang sedang berziarah. Selebihnya sunyi. Seorang perempuan tua memandangi pusara di hadapannya dengan tatapan nanar. Sekali-sekali dia akan mengusap matanya yang berair. Kemudian dia bermonolog sambil membayangkan sosok suaminya yang telah wafat 5 tahun silam. Sulistiana mengadukan kegundahan hatinya, akibat rencana pernikahan putri bungsunya. Sulistiana sangat berharap jika Dhahir Dewawarman bisa mendengarkan curahan hatinya. Meskipun dunia mereka sudah terpisah. Langit senja kian menggelap. Sulistiana menengadah untuk memandangi sang surya yang makin meredup. Sebelum akhirnya benar-benar tenggelam di ufuk barat. Perempuan tua berjilbab krem menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sulistiana enggan beranjak karena masih merindukan suaminya. Sulistiana mengalihkan pandangan pada beberapa orang pengunjung makam lainnya yang bergerak menjauh. Dia mendengkus pelan, la
"Bang, aku tadi nggak dengar informasi awal dari Mas Elkaar. Dia bilang apa?" tanya Hisyam yang berada di kursi tengah bersama Jauhari dan Mukti. "Mas Elkaar menjelaskan hasil pengintaian anak buahnya di stasiun, terminal bus dan bandara. Tapi nggak ada info tentang Bu Sulistiana," sahut Wirya yang berada di kursi samping sopir. "Terus, gimana?" "Terpaksa kita cari di berbagai tempat. Bagian kita, hotel-hotel di kawasan Tendean sampai Gatot Subroto." "Ditanyain satu-satu?" "Ya. Cara manual memang terkesan lama. Tapi, ini cara satu-satunya yang bisa kita lakukan buat nyari beliau." "Enggak dicari ke luar Jakarta? Maksudku, Bekasi, Depok dan sekitarnya." "Ini lagi dijalankan. Tim Galang, Aswin, Fajar, Nugraha dan Salman yang bergerak ke sana. Mas Dharma dan Bang Nasir, langsung ke Bandung. Ada sahabat karib dan sepupu Bu Sulistiana di sana. Mungkin mereka bisa ngasih info." "Tim Bandung, sudah bergerak?" "Hendri lagi ngatur di sana. Karena semua pengawas sedang nyari di sini, a
"Awas!" seru seorang pria bersweter abu-abu, sambil menarik orang di depannya. Pekikan orang-orang yang berada di tepi jalan raya Kota London, mengiringi gerakan cepat Hisyam Fayadh yang berhasil menjauhkan seorang perempuan berambut panjang, yang nyaris ditabrak mobil di perempatan itu. "Astagfirullah!" jerit Utari Pratista Dewawarman, sembari mengusap dadanya yang berdebar-debar. "Ya, Allah," rintihnya sambil mengatur napas yang sempat tercekat."Non, nggak apa-apa, kan?" tanya Hisyam, pengawal lapis tiga PBK yang tengah menemani Utari jalan-jalan. "Ehm, ya, aku nggak apa-apa," cicit Utari sembari memejamkan mata. "Lututku lemas," rengeknya. Hisyam memindai sekitar, kemudian dia menuntun Utari ke salah satu kafe kecil di tepi jalan. Keduanya menempati kursi di meja terdepan. Pegawai kafe segera memberikan minuman pada Utari, karena dia memahami jika perempuan tersebut tengah syok. "Non melamun," ucap Hisyam sambil memandangi Nona muda keluarga Dewawarman di kursi seberang.Utar