Ayu bergegas membuka pintu kamar dengan kencang.
"Nda, a-ada Pak Hendra!" ucap Ayu antusias."Papa?" Manda terkejut."Ayo, cepat keluar," Ayu menggandeng tangan Manda dan mengiringnya keluar kamar.Papa Hendra sedang duduk di ruang tamu ditemani suami Ayu."Papa," sapa pelan Manda."Halo, Manda," sapa Papa sembari tersenyum.Manda menghampiri Papa Hendra, lalu mencium punggung tangannya."Apa kabar?" tanya Papa."Baik, Pa," jawab Manda dengan menundukkan kepalanya."Pak Hendra, mau minum apa? Teh atau kopi, Pak?" Ayu menawarkan."Teh saja, Yu,""Iya, Pak. Sebentar ya," lalu Ayu mengajak suaminya untuk membantu di dapur."Papa pulang kapan?" tanya Manda dengan gugup."Kemarin Papa pulang,""Oohh,"Manda terus menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap mata papa mertuanya. Manda merasa malu karena masalah yang terjadi akibat keb*dohannya."Papa, kenapa mengundang perempuan desa ini kemari?!" protes Mama Andien sembari mendekati suaminya."Manda masih bagian dari keluarga kita. Kenapa Papa gak boleh membawanya pulang?""Pulang? Apa maksudnya? Mama sudah mengusirnya," tuding Mama Andien ke Manda."Manda akan tinggal di rumah ini. Dia masih istri Arman, jadi Manda punya hak untuk tinggal di sini," tegas Papa Hendra."Papa gak adil. Dulu Papa mengusir Arman karena dia menikahi Sarah. Kenapa Mama gak boleh mengusir Manda yang sudah mengkhianati Arman?!""Masalahnya berbeda,""Apanya yang beda?! Papa anggap Arman bersalah karena menyakiti perasaan Manda. Dan sekarang Manda yang menyakitinya, Papa gak anggap itu sebagai masalah?!" Mama Andien gak terima dengan sikap suaminya.Manda hanya diam berdiri di samping Papa Hendra sambil menundukkan kepalanya."Mama benar, Pa. Papa gak adil. Papa pilih kasih. Arman itu anak kandung Papa, sedangkan Manda hanya o
"Hai, Man. Maaf terlambat. Biasalah terjebak macet," ujar Windy, yang baru saja datang ke coffee shop untuk menemui Arman."Iya, gak apa-apa. Duduklah," Arman beranjak diri menyambut Windy."Makasih,"Seorang pelayan coffee shop menghampiri mereka. Dia menanyakan pesanan Windy."Ice cappucino aja, Mba," jawab Windy."Baik, Mba. Mas mau nambah lagi minumnya?""Gak Mba. Cukup. Makasih," jawab sopan Arman."Baik, ditunggu sebentar ya, Mba," pamit pelayan itu."Apa kabar, Man? Lama kita gak ketemu,""Baik," jawab singkat Arman sembari tersenyum tipis."Ada apa mengajakku janjian di sini?""Kamu sudah tahu soal masalahku dengan Manda, kan?""Ooh. Itu. Iya, aku tahu," sahut Windy dengan canggung."Manda cerita sama Kak Daniel, katanya kamu ada di rumah Bram malam itu. Apa itu benar?" selidik Arman."Iya, benar. Malam itu aku memang ke sana karena undangan Bram untu
"Rasanya capek dikucilkan di rumah, Yu. Mereka semua membenci Manda, terutama Mas Arman. Hanya Papa yang bersikap baik pada Manda," keluh Manda yang berbaring lesu di sofa ruang kerjanya di Bakery."Kamu belum berbaikan dengan Arman?" Ayu duduk di seberang Manda."Gimana mau baikan? Mas Arman terus menghindar. Tiap kali Manda mendekatinya, Mas Arman semakin menjauh. Dia mengabaikan Manda. Bahkan seolah Mas Arman gak menganggap Manda ada," gerutu Manda dengan mata berkaca-kaca sedih."Yang sabar ya, Nda. Mungkin butuh waktu buat Arman untuk memaafkanmu," hibur Ayu."Manda tahu, Yu. Manda coba bersabar. Tapi ini sudah hari ketiga sejak Manda kembali ke rumah Papa. Dan sikap Mas Arman masih sama. Apa sebaiknya Manda keluar saja dari rumah itu? Jadi Mas Arman gak terganggu oleh Manda,""Hei, kenapa keluar? Kamu mau nyerah,""Bukan ingin nyerah. Hanya saja Manda berpikir, kalau Manda masih tinggal di rumah itu, Mas Arman dan Mama akan
Daniel membawakan segelas coklat hangat untuk Arman.Mereka duduk santai di kursi malas, di dekat kolam renang rumah Daniel."Langitnya cerah sekali malam ini. Banyak bintang yang terlihat jelas. Cahayanya juga sangat cantik," puji Arman sambil menengadahkan kepalanya ke atas."Iya, benar. Malam yang indah. Tapi rasanya sangat aneh,""Aneh kenapa?" tanya Arman heran sembari menoleh ke kakaknya."Ya, aneh saja. Dua orang pria menikmati langit yang indah hanya berdua. Seharusnya suasana seperti ini bisa jadi romantis kalau aku duduk bersama Tamara. Tapi denganmu, rasanya menggelikan," canda Daniel dengan ekspresi wajah yang jijik.Arman meninju lengan kakaknya seraya berdecak kesal."Aduuh, sakit tahu," Daniel mengelus-elus lengannya."Makanya jangan bercanda,"Lalu keduanya tertawa bersama."Man, kamu ingat saat kita masih kecil, waktu Nenek masih ada. Nenek sering mengajak kita duduk di balkon
Manda melangkah masuk ke ruang makan, di mana kedua mertuanya, Sarah dan ibunya sedang sarapan.Seketika pandangan sinis Mama Andien, Sarah dan ibunya tertuju padanya.Hal itu membuat Manda jadi canggung dan ragu untuk duduk bersama mereka."Manda, ayo kemarilah," sambut Papa Hendra."Iya, Pa," sahut pelan Manda.Baru saja akan berjalan, tiba-tiba Arman muncul dan berdiri di sampingnya."Pagi," sapa Arman pada kedua orangtuanya."Pagi, Sayang. Ayo, kita sarapan bersama," sambut hangat Mama Andien."Duduk sini, Man," Sarah menepuk kursi di sebelahnya.Arman sempat melirik ke Manda sebentar. Kemudian dia tersenyum padanya."Aku gak salah lihat, kan? Mas Arman ... tersenyum padaku?" batin Manda, tertegun dengan apa yang dilihatnya.Alih-alih duduk di sebelah Sarah, Arman lebih memilih kursi di samping Mamanya.Melihat Manda yang hendak duduk di samping Arman, Sarah bergegas mengh
"Arman dan Manda ... kami gak akan bercerai. Arman sudah memaafkan Manda dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya,"Mama Andien, Sarah dan ibunya terperanjat dengan keputusan Arman.Mendengar hal itu, Manda juga tercengang. Matanya berkaca-kaca terharu. Dadanya terasa lebih lapang."Apa?!!" seru Sarah beranjak diri."Kamu ... memaafkan perempuan ini?! Aku gak salah dengar, kan? Perempuan desa ini sudah mengkhianatimu dan kamu gak menghukumnya?!" ucap Sarah marah dengan menuding ke arah Manda."Arman, pikirkan kembali keputusanmu! Perempuan ini jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga kita! Melukai harga dirimu sebagai suami! Apa kamu lupa itu?!" protes Mama Andien."Maaf, Ma. Ini keputusan akhir Arman. Arman harap Mama mengerti," pinta sopan Arman."Keputusanmu ini salah! Mama gak mau menerimanya!!""Ma, Mama gak boleh memaksa Arman mengubah keputusannya. Kita harus menghargainya," bela Pap
"Bu Clarkson, tolong jangan pergi. Kita bisa bicarakan ini baik-baik," bujuk Mama Andien pada besannya."Gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Penghinaan ini sudah cukup saya terima. Saya gak bisa membiarkan Sarah terus-menerus disakiti hatinya!" ucap marah ibu Sarah sambil mengepak baju ke dalam koper."Kami ini keluarga terhormat, Bu Andien. Putra Anda sudah merendahkan putri kami dan lebih memilih perempuan lain yang derajatnya di bawah kami. Apa istimewanya perempuan itu?! Dibandingkan Sarah, dia gak ada apa-apanya. Tapi Arman malah menyingkirkan Sarah!""Bu Clarkson, saya mohon, Bu. Saya juga gak terima dengan sikap Arman. Saya juga gak sudi memiliki menantu seperti Manda. Tolong, Anda tenanglah. Saya akan coba membujuk Arman sekali lagi," pinta Mama Andien."Sudah berakhir, Bu! Saya sudah sakit hati pada Arman! Saya gak mau lagi menganggapnya sebagai menantu saya!" tolak tegas ibu Sarah."Sarah, bersiap-siaplah. Kita akan pergi dari
Tet ... tet ... Daniel membunyikan klakson mobilnya, ketika melihat Arman dan Papanya hendak masuk ke dalam rumah.Setelah memarkirkan mobilnya, Daniel sekeluarga turun dari dalam mobil, lalu menghampiri mereka berdua."Opaa," sapa anak-anak Daniel berlari memeluk Papa Hendra.Papa Hendra menyambut gembira kedatangan cucu-cucunya.Daniel dan Tamara juga menyapa Papa Hendra dan Arman."Papa darimana?" tanya Daniel."Keluar sebentar sama Arman tadi," jawab Papa Hendra."Mama di rumah, Pa?" tanya Tamara."Iya, Mama di rumah. Ayo, masuklah,"Papa Hendra, Tamara, dan anak-anak berjalan lebih dulu di depan. Sementara Daniel sengaja memperlambat jalannya bersama Arman."Hei, Man. Jadi bagaimana? Katanya hari ini kamu mau memberitahuku soal keputusanmu," tanya Daniel dengan suara pelan."Jadi Kakak sengaja ke sini karena mau tahu itu aja?" ujar Arman."Bukan karena itu aja. Aku juga k