Dayyan menghentikan jeep yang berjalan di belakangnya. Ia meminta diantar ke tenda medis terdekat sambil tetap membawa tubuh lemah Nuwa dalam genggaman tangannya. Mobil berjalan bak orang kesetanan, menembus apa saja yang ada di depan mata karena denyut nadi Nuwa semakin melemah. Ada sarana medis di bangun tak jauh dari lokasi perang. Banyak yang terluka di sana. “Dokter, tolong, ini darurat,” pinta Dayyan pada siapa saja yang mendengarnya. Tak ada yang peduli, lelaki bermata abu-abu itu kemudian menarik paksa dokter pria yang lewat di depannya. “Tolong dia, aku mohon,” pinta Dayyan. “Tapi aku ada pasien yang juga kena luka tembak.” “Tolong!” Dayyan meremas bahu dokter itu cukup kuat. Situasi sangat kacau balau ketika lebih banyak pasien daripada petugas medis. Nuwa kemudian diletakkan diatas pembaringan mana saja yang ditemukan. Dokter memeriksa detak jantung dan denyut nadi kemudian memasang alat bantu pernapasan dan mengambil tindakan. “Kau suaminya? Kenapa istrimu kau biark
“Hira, tolonglah. Ini situasi genting.” “Dan sejak kapan kalian berdua menikah? Dua hari lalu kau pergi perang kau masih duda, pulang-pulang sudah menjadi suami orang. Mau aku adukan pada ibu?” “Jangan. Tolong, mengertilah situasi tadi serba terdesak. Aku terpaksa melakukannya.” Dayyan menyugar rambutnya, bak orang frustrasi. “Melakukan apa?” tanya Hira. “Menggunting semua bajunya yang berlumuran darah dan mengganti dengan yang bersih.” “Dayyan, padahal aku seharusnya tidak perlu tahu hal itu, tapi kau malah memberitahunya sendiri. Kau panik, kau lelah, istirahatlah. Aku masih banyak pekerjaan. Soal pernikahan main-mainmu dengan Nuwa kita bahas saat aku sudah istirahat. Percayalah aku menganggap masalah ini serius. Aku tidak segan-segan mengadukan ini pada Ibu.” Hira meninggalkan saudara kembarnya yang mematung di lorong rumah sakit. Dayyan terpaku, situasi yang serba sulit tadi membuatnya berada dalam masalah besar. Kebohongan yang luar biasa. Pernikahan tidak boleh dibuat baha
Dayyan, Hira, dua orang saksi dan satu orang hakim yang ditunjuk sebagai wali dari Nuwa karena wanita Suku Mui itu tiada punya kerabat lagi, berkumpul di kantor catatan pernikahan. Ya, secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun, lelaki bermata abu-abu itu memenuhi tanggung jawabnya secara utuh. Adapun Maira, Gu, dan semua keluarga sudah diberi tahu bagaiamana keadaan Nuwa dan pernikahan yang terkesan mendadak itu tanpa harus mengumbar aib apa yang dilakukan oleh ayahnya Bhani. Cukup dua saudara kembar itu saja yang tahu. Sah sudah. Nuwa tak lagi menjanda, proses pun tak lama karena tidak ada pesta pernikahan sama sekali. Dayyan pun tak lagi menduda. Semua catatan sipil akan diurus nanti. Soal mahar karena keadaan terdesak, Dayyan meminjam cincin emas milik Hira karena ia lupa harus ada mas kawin sebagai syarat sah pernikahan. “Hutang kau dengan aku.” Hira menyerahkan cincin emasnya.“Iya, nanti aku ganti, tenanglah. Kau memang kakak yang baik.” Dayyan membersihkan cincin itu
“Iya, akan aku coba.” Dayyan kini hanya berdua saja dengan istri barunya. Terkadang takdir memang sangat lucu untuk dijalani. Namun, tubuh manusia yang lemah dan fana tak akan mampu melawan. Hanya mampu menjalani dengan penuh keridhoan agar terasa lapang di hati. Baik itu takdir tentang jodoh, kehidupan, atau kematian. Baik Nuwa ataupun Dayyan sejatinya sama-sama kehilangan yang teramat sangat. Bedanya Dayyan tak terlalu terlihat sedih karena wajahnya yang cenderung datar tanpa ekspresi apa pun. Jika Nuwa masih belum sepenuhnya menerima takdir kehilangan Kai dari cara ia menolak lamaran para pria berulang kali. Sampai-sampai Nuwa sendiri merasa bosan ditanyakan perihal itu-itu saja. Kini dua orang yang sempat kehilangan itu telah terikat bersama. Waktu yang dilewati Dayyan selama menjaga Nuwa tak terasa sudah dua minggu saja. Setiap pagi ia akan mengunjungi istrinya setelah menitipkan Bhira—putrinya yang masih kecil pada neneknya. Pernah ia bawa Bhani untuk menjenguk guru sekaligus
“Kai, aku hampir tak percaya kalau rumah ini milik kita. Bukannya rumah kita dulu kecil dan buruk sekali ya.” Nuwa memegang erat tangan suaminya. Iya, saat dia baru membuka mata dan disambut oleh uluran tangan Kai, lelaki itu mengajaknya berjalan kaki menuju satu rumah baru yang sangat besar.“Di sini semuanya tersedia, Nuwa,” jawab Kai. “Di sini itu maksudmu di mana? Bukannya kita sekarang ada di desa?” “Nuwa, kau sudah lupa kalau aku sudah mati?” Lelaki itu melirik istrinya. “Aku tidak lupa. Tapi aku juga ingat kalau aku sudah mati, Kai. Artinya sekarang kita sudah bersama dan tidak akan terpisahkan lagi.” “Kau belum mati, Nuwa.” “Tolong jangan suruh aku kembali, Kai. Aku di sana kesepian, tidak ada teman, tidak ada tempat untuk meminta kasih sayang. Aku pantang mengemis cinta dari orang. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Cukup biarkan saja aku tinggal di sini bersamamu. Itu sudah jauh dari cukup. Pun anak kita akan lahir sebentar lagi.” “Iya, untuk s
“Eh, Dayyan, mata Nuwa, mata Nuwa terbuka.” Maira agak panik dan tak bisa menahan diri. Dayyan lekas berlari dan benar mata Nuwa berkedip beberapa kali. Lelaki itu menekan bel yang ada di dinding. Tak butuh waktu lama dua orang perawat kemudian datang. Mereka yang melihat pasien sadar lekas memanggil dua orang dokter yang menangani Nuwa.“Kalian bisa keluar dulu, ya, biar kami tangani dia terlebih dahulu,” pinta dokter pada Maira dan Dayyan. Dua kakak adik itu keluar dengan harap-harap cemas.Dokter yang menangani Nuwa melihat keadaan pasien. Mata Nuwa tertutup lagi. Dilakukan beberapa pemeriksaan bahkan menguji rangsangan pada kulit wanita Suku Mui itu, nyatanya hasil masih sama. Namun, gerakan pernapasan Nuwa sudah jauh lebih baik daripada biasanya. Salah satu dokter menguji dengan membuka alat bantu pernapasan yang menggunakan tutup mulut. Ketika dibuka Nuwa tak lagi sesak napas. Sekarang wanita itu menggunakan alat bantu napas yang sederhana saja. “Bagaimana keadaan Nuwa, Dokte
“Nuwa, tenang, letakkan pisaunya,” ucap Dayyan ketika melihat istrinya menatap orang satu demi satu di dalam ruangan. Wanita bermata besar itu hanya menggeleng. Ingatannya di peperangan masih melekat erat. Ia menyangka masih berada dalam tawanan Xia He. Nuwa menoleh dan melihat Bhani. Rasa-rasa anak itu familiar di matanya. “Bhani,” ujarnya. “Iya, iya, dia Bhani,” jawab Dayyan. “Ibu,” jawab anak itu sambil mendekat.“Aku bukan ibumu. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nuwa sambil tetap memegang pisau. “Nuwa, tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Peperangan telah selesai. Xia He sudah mati, kau aman, kita semua aman. Kau kena tembak dan berbaring selama beberapa bulan. Letakkan pisaunya, dan biarkan dokter memeriksamu dulu.” Dayyan mendekat sedikit demi sedikit. Kemudian ketika sangat dekat dia berhasil merampas pisau buah dari tangan Nuwa. Wanita itu sendiri masih bingung dengan apa yang ada di depan matanya. Terutama Dayyan dan Bhani mengapa harus ada satu kamar bersaman
“Iya, kalau memang kau memaksa. Lalu kau kritis dan harus dibawa ke rumah sakit. Semua orang telanjur mengenali kalau aku suamimu, begitu juga dengan Hira. Dan kau tak sadarkan diri dua hari lamanya padahal seharusnya kau sudah sadar. Keadaanmu di luar dugaan, kau koma, harus ada yang mengurusmu dari pihak keluarga. Kau tak punya keluarga di sini. Meminta teman-temanmu juga tidak mungkin. Jadi …” “Jadi. Jangan bilang kalau kau …” sahut Nuwa. “Jadi aku menjadikan sandiwara itu benar adanya. Aku menikahimu saat kau tidak sadar, secara sah dan ini buktinya.” Dayyan mengeluarkan ponsel dan membuka video ketika dia mengikrarkan ijab qabul untuk mengesahkan Nuwa. Terkejut dan tak percaya, ponsel Dayyan jatuh dari tangan Nuwa. Mata wanita itu mengerjap cepat, ia tersenyum kemudian meneteskan air mata.“Ini juga kartu pernikahan kita.” Dayyan menunjukkan bukti yang lain. “Cukup, video tadi sudah sangat jelas. Aku tak perlu bukti apa-apa lagi.” Wanita itu masih terisak. Dayyan mengelus kepa