“Nuwa, tenang, letakkan pisaunya,” ucap Dayyan ketika melihat istrinya menatap orang satu demi satu di dalam ruangan. Wanita bermata besar itu hanya menggeleng. Ingatannya di peperangan masih melekat erat. Ia menyangka masih berada dalam tawanan Xia He. Nuwa menoleh dan melihat Bhani. Rasa-rasa anak itu familiar di matanya. “Bhani,” ujarnya. “Iya, iya, dia Bhani,” jawab Dayyan. “Ibu,” jawab anak itu sambil mendekat.“Aku bukan ibumu. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nuwa sambil tetap memegang pisau. “Nuwa, tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Peperangan telah selesai. Xia He sudah mati, kau aman, kita semua aman. Kau kena tembak dan berbaring selama beberapa bulan. Letakkan pisaunya, dan biarkan dokter memeriksamu dulu.” Dayyan mendekat sedikit demi sedikit. Kemudian ketika sangat dekat dia berhasil merampas pisau buah dari tangan Nuwa. Wanita itu sendiri masih bingung dengan apa yang ada di depan matanya. Terutama Dayyan dan Bhani mengapa harus ada satu kamar bersaman
“Iya, kalau memang kau memaksa. Lalu kau kritis dan harus dibawa ke rumah sakit. Semua orang telanjur mengenali kalau aku suamimu, begitu juga dengan Hira. Dan kau tak sadarkan diri dua hari lamanya padahal seharusnya kau sudah sadar. Keadaanmu di luar dugaan, kau koma, harus ada yang mengurusmu dari pihak keluarga. Kau tak punya keluarga di sini. Meminta teman-temanmu juga tidak mungkin. Jadi …” “Jadi. Jangan bilang kalau kau …” sahut Nuwa. “Jadi aku menjadikan sandiwara itu benar adanya. Aku menikahimu saat kau tidak sadar, secara sah dan ini buktinya.” Dayyan mengeluarkan ponsel dan membuka video ketika dia mengikrarkan ijab qabul untuk mengesahkan Nuwa. Terkejut dan tak percaya, ponsel Dayyan jatuh dari tangan Nuwa. Mata wanita itu mengerjap cepat, ia tersenyum kemudian meneteskan air mata.“Ini juga kartu pernikahan kita.” Dayyan menunjukkan bukti yang lain. “Cukup, video tadi sudah sangat jelas. Aku tak perlu bukti apa-apa lagi.” Wanita itu masih terisak. Dayyan mengelus kepa
Sepanjang hari Nuwa berpikir tanpa menyentuh makanan sama sekali. Penolakannya tadi malam, serta raut wajah kecewa Dayyan yang tidak berkata apa-apa padanya. Soal dosa, Nuwa sangat mengerti. Namun, apabila hatinya enggan, dia bisa apa? Sudah mencoba ia mengingat kebaikan lelaki itu selama dirinya sakit. Sayangnya tak bisa menggantikan apa yang telah hilang darinya. “Maaf, sekai lagi maaf. Tapi sepertinya aku tidak akan bisa jadi istri yang tepat untukmu. Kau pilih saja perempuan lain. Aku ingin hidup seperti dulu di rumahku yang kecil di mana aku bebas mengingat Kai. Di sini aku dibayang-bayangi olehnya, sedangkan sudah ada kau di depanku. Aku tak bisa seperti ini terus,” gumamnya setelah berpikir panjang. Hari sudah siang dan sebentar lagi biasanya Dayyan akan pulang dari mengajar untuk menjemput Bhani pulang sekolah. Nuwa di rumah hanya mengurus Bhira saja. Soal menjaga anak dia tak pernah ada masalah, soal membelokkan hati ternyata yang paling sulit baginya. Terhitung sudah tiga
Tahun demi tahun Nuwa lewati dan tak terasa usianya sekarang sudah 24 tahun saja. Ia masih betah dalam kesendiriannya. Sedangkan Dayyan sudah lama memutuskan menikah lagi dengan Fani setelah berulang kali memikirkan anak-anaknya yang butuh kasih sayang seorang ibu. Nuwa turut bahagia, tapi ia tak bisa datang ke pernikahan karena ada ujian kenaikan tingkat yang harus ia susun.Wanita Suku Mui itu melihat begitu banyak muridnya yang kini sudah berjumlah ratusan. Ia membuat sistem jenjang agar memperjelas mana yang baru mana yang sudah senior. Yang senior bahkan sudah bisa diperbantukan untuk mengajar yang baru. Keinginan Kai untuk membuat Nuwa menjadi guru besar terwujud sudah. Jika biasanya janda banyak fitnahnya, maka tak ada yang berani melakukan hal demikian pada Nuwa. Selesai ujian kenaikan tingkat ia memanggil Rizki—yang sebentar lagi ikut ujian masuk sebagai pilot, kemudian Farhan yang semakin dewasa dan mirip dengan Maira, juga Bhani yang tetap saja memanggilnya dengan sebutan
Dayyan membuka matanya perlahan-lahan. Tanpa terasa ia meneteskan air mata karena terlalu sedih dengan peristiwa akhir-akhir ini yang menimpa hidupnya. Kemudian ia pun menoleh dan memeriksa sekeliling. “Eh, aku masih di rumah sakit?” Ia bangun dan memastikan isi kepalanya. Apakah nyata atau tidak. Kucek-kucek lagi mata sampai pedih dan iya memang masih di rumah sakit bukan di kuburan. “Enak, ya, tidur lama-lama. Istrinya ada perkembangan dia tak sadar. Untung Bhani sigap sebagai anak.” Dayyan mendengar suara tapi tak lihat orangnya. Ia usap matanya kuat-kuat. Perlahan-lahan ada bayangan Hira dan memang sungguhan ada orang di depan matanya. “Nuwa masih hidup?” tunjuk Dayyan pada seseorang yang berbaring di ranjang. “Kau mengharap dia mati? Biar bisa nikah lagi, gitu?” tegur Hira. “Kalau mau nikah lagi tak perlu menunggu Nuwa sadar, sekarang kau ijab qabul dengan perempuan lain pun bisa. Bangun-bangun dibunuh kau dengan Nuwa.” “Bukan begitu maksudku, tapi bukannya aku sudah menikah
Nuwa kembali ke desanya. Sejak kekalahan yang dialami oleh Xia He para warga Suku Mui yang tersiksa mendapatkan pengawasan dua kali lebih ketat. Bahkan hidup mereka jadi dua kali lebih sulit. Ada beberapa tentara yang menyiksa hingga salah satu warga babak belur. Nuwa ingin menolong, ia mampu melawan para tentara itu. Sayangnya tubuh Nuwa tembus pandang. Penyiksaan itu hanya bisa ia lihat dengan mata kepalanya saja.“Nuwa,” sapa sebuah suara yang selama ini menemani dirinya selama koma.“Kai, tak bisakah kita menolong mereka?” Nuwa memegang tangan suaminya, sayangnya Kai pun tak bisa ia sentuh juga. “Nuwa, sampai di sini saja aku bisa menemanimu, aku tidak akan datang melihatmu lagi. Kau sudah punya hidup yang baru. Berbahagialah dan raih semua apa yang kau impikan.” “Kai, aku ingin agar saudara-saudara kita semuanya selamat.” “Kalau begitu bangun dan wujudkanlah, kalau kau tidur semuanya tidak akan bisa tercapai. Jangan terlalu lelah dan jangan lupa bahagiakan dirimu sendiri, Nuw
“Nuwa, katakanlah sesuatu apakah kau menerima pernikahan ini?” ‘Aduuuuh, bagaimana caranya supaya dia mengerti. Kenapa mendadak aku jadi bisu begini, susaaah sekali bicara.’ Demi memberikan isyarat pada Dayyan, mata besar Nuwa berkedip beberapa kali dengan cepat. Dayyan paham? Tidak sama sekali. “Maksudnya? Bisa lebih jelas?”‘Hiiiih, tahu tak kalau aku masih sakiiiiit!’ Nuwa berkedip lagi tiga kali, nggak juga Dayyan paham. Pelan-pelan Nuwa mengangguk, kepalanya serasa didatangi setruk kunang-kunang jadinya. “Alhamdulillah,” ucap Dayyan, “tujuh bulan kau koma, akhirnya penantianku tidak sia-sia.”‘Tujuh bulan aku koma? Tidur atau latihan meninggal itu?’ Nuwa baru tahu ternyata selama itu dia tak sadarkan diri. Mimpinya terlalu indah dan random. Dari satu petulangan ke petualangan lain. Mimpi terakhirnya ia melawan Dayyan yang mengubah wujudnya sebagai Naga Fu Rong, dengan menggunakan pedang sakti dari langit. Dayyan memegang dua bahu istrinya. Mata Nuwa mengerjap cepat. Ia setuj
“Assalammualaikum, Nuwa,” sapa seorang perempuan yang masuk dalam kamar 103. Wanita itu baru saja lepas melahirkan anak keempat kemarin pagi. Nuwa mengenali suara Maira tetapi ia hanya bisa tersenyum saja.“Akhirnya kau sadar juga. Lama sekali kau tidurnya, dari Kakak ketahuan hamil sampai anak kami lahir. Lihatlah, Nuwa, ini bayi perempuan yang kami idam-idamkan.” Maira menyodorkan anak keempatnya di hadapan Nuwa. Bayi mungil yang masih kemerahan itu terlelap sangat nyenyak. ‘Ya Allah lucunya,’ gumam wanita Suku Mui itu dalam hati, ‘jadi ingat saat aku melahirkan 10 anakku dalam mimpi, gemoy semua pipinya, hiiih gemas ingin cubit. Dapat tidak, ya, yang seperti mereka di alam nyata?’ “Dayyan, kenapa Nuwa diam saja dari tadi. Apa dia tidak suka dijenguk, atau masih sakit?” tanya Maira ketika Nuwa hanya bisa tersenyum saja padanya.“Bukan marah, suaranya belum kembali, mungkin masih jalan-jalan di alam mimpi, tapi ada bagusnya juga. Jadi dia tidak protes dari dua hari lalu,” jawab Day
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun