Nuwa kembali ke desanya. Sejak kekalahan yang dialami oleh Xia He para warga Suku Mui yang tersiksa mendapatkan pengawasan dua kali lebih ketat. Bahkan hidup mereka jadi dua kali lebih sulit. Ada beberapa tentara yang menyiksa hingga salah satu warga babak belur. Nuwa ingin menolong, ia mampu melawan para tentara itu. Sayangnya tubuh Nuwa tembus pandang. Penyiksaan itu hanya bisa ia lihat dengan mata kepalanya saja.“Nuwa,” sapa sebuah suara yang selama ini menemani dirinya selama koma.“Kai, tak bisakah kita menolong mereka?” Nuwa memegang tangan suaminya, sayangnya Kai pun tak bisa ia sentuh juga. “Nuwa, sampai di sini saja aku bisa menemanimu, aku tidak akan datang melihatmu lagi. Kau sudah punya hidup yang baru. Berbahagialah dan raih semua apa yang kau impikan.” “Kai, aku ingin agar saudara-saudara kita semuanya selamat.” “Kalau begitu bangun dan wujudkanlah, kalau kau tidur semuanya tidak akan bisa tercapai. Jangan terlalu lelah dan jangan lupa bahagiakan dirimu sendiri, Nuw
“Nuwa, katakanlah sesuatu apakah kau menerima pernikahan ini?” ‘Aduuuuh, bagaimana caranya supaya dia mengerti. Kenapa mendadak aku jadi bisu begini, susaaah sekali bicara.’ Demi memberikan isyarat pada Dayyan, mata besar Nuwa berkedip beberapa kali dengan cepat. Dayyan paham? Tidak sama sekali. “Maksudnya? Bisa lebih jelas?”‘Hiiiih, tahu tak kalau aku masih sakiiiiit!’ Nuwa berkedip lagi tiga kali, nggak juga Dayyan paham. Pelan-pelan Nuwa mengangguk, kepalanya serasa didatangi setruk kunang-kunang jadinya. “Alhamdulillah,” ucap Dayyan, “tujuh bulan kau koma, akhirnya penantianku tidak sia-sia.”‘Tujuh bulan aku koma? Tidur atau latihan meninggal itu?’ Nuwa baru tahu ternyata selama itu dia tak sadarkan diri. Mimpinya terlalu indah dan random. Dari satu petulangan ke petualangan lain. Mimpi terakhirnya ia melawan Dayyan yang mengubah wujudnya sebagai Naga Fu Rong, dengan menggunakan pedang sakti dari langit. Dayyan memegang dua bahu istrinya. Mata Nuwa mengerjap cepat. Ia setuj
“Assalammualaikum, Nuwa,” sapa seorang perempuan yang masuk dalam kamar 103. Wanita itu baru saja lepas melahirkan anak keempat kemarin pagi. Nuwa mengenali suara Maira tetapi ia hanya bisa tersenyum saja.“Akhirnya kau sadar juga. Lama sekali kau tidurnya, dari Kakak ketahuan hamil sampai anak kami lahir. Lihatlah, Nuwa, ini bayi perempuan yang kami idam-idamkan.” Maira menyodorkan anak keempatnya di hadapan Nuwa. Bayi mungil yang masih kemerahan itu terlelap sangat nyenyak. ‘Ya Allah lucunya,’ gumam wanita Suku Mui itu dalam hati, ‘jadi ingat saat aku melahirkan 10 anakku dalam mimpi, gemoy semua pipinya, hiiih gemas ingin cubit. Dapat tidak, ya, yang seperti mereka di alam nyata?’ “Dayyan, kenapa Nuwa diam saja dari tadi. Apa dia tidak suka dijenguk, atau masih sakit?” tanya Maira ketika Nuwa hanya bisa tersenyum saja padanya.“Bukan marah, suaranya belum kembali, mungkin masih jalan-jalan di alam mimpi, tapi ada bagusnya juga. Jadi dia tidak protes dari dua hari lalu,” jawab Day
Nuwa sudah menggunakan seragam baru yang diberikan perawat olehnya. Pelan-pelan saja Dayyan menyisir rambut Nuwa agar tak jatuh ke lantai lagi, setelahnya dikeringkan menggunakan hair dryer yang dipinjamkan Hira. “Gini, kan, bagus rambutmu kalau warna hitam alami, kenapa harus dicat warna pirang?” Dayyan mencium aroma rambut Nuwa yang wangi daun mint. ‘Daripada aku cat warna ungu, persis teronglah aku.’ Nuwa menarik napas sejenak, setelah itu dia terkejut. ‘Pelan-pelanlah, ooii.’ Pipi Nuwa ditepuk agak kuat sama Dayyan, karena lelaki itu mengaplikasikan pelembab ke wajah istrinya. Ada beberapa barang perawatan kulit wajah yang dibelikan oleh Hira untuk iparnya. “Ini lipstik, kan?” Dayyan menunjukan salah satu alat make up pada Nuwa, wanita itu mengedipkan mata saja. Dibuka oleh Ayah Bhani tutup lipstik itu dan dia aplikasikan ke bibir istrinya mencong miring sana sini. “Eh, lipstik kenapa tidak ada warnanya sama sekali?” Dayyan ulang-ulang poles ke bibir Nuwa sampai wanita itu hamp
Fisioterapi dimulai. Nuwa masih duduk di kursi roda, Dayyan menemani di sebelahnya. Dua orang perawat datang bergantian memijit bagian tubuh yang kehilangan kekuatan. Dimulai dari kepala dulu. Agak ringan rasanya pikiran Nuwa setelah dipijat. Kemudian salah satu perawat berpindah pada bagian kaki juga tangan yang sangat memerlukan banyak pijatan. Salah satu perawat meninggalkan Nuwa karena ada pasien lain pula yang harus dilayani. Lalu Dayyan pun dimintakan tolong untuk menekan titik-titik di telapak kaki Nuwa agar peredaran darah wanita Suku Mui itu lancar dan kakinya mulai bisa digerakkan. Namun, apa yang terjadi. Bukan pijatan ringan yang diberikan oleh sniper itu melainkan sebuah gelitikan hingga Nuwa merasa geli.‘Pergilah kau sana. Mending tidak usah sekalian.” Nuwa tertawa tanpa mengeluarkan suara karena geli sekali di telapak kakinya. Dayyan mana sadar dia salah, tetap aja pijit-pijit sampai Nuwa tak tahan lagi dan jatuh dari kursi roda. Air mata mengalir dari sudut penglih
‘Gimana caraku bicara? Suara saja tak keluar dari kemarin. Andaikan bisa bicara aku tak perlu hidup serumit sekarang.’ Bubur jatah dari rumah sakit sudah sampai di kamar nomor 103. Lekas saja Dayyan menyuapi istrinya yang masih duduk di kursi roda. Awalnya Nuwa ingin mencoba makan sendiri, tapi sendok itu jatuh berulang kali. Bubur yang terasa hambar di lidah Nuwa, makanan untuk orang sakit, tapi karena tidak ada yang lain jadi ditelan saja sampai habis. Suapan terakhir, mangkuk bubur telah kosong. Namun, sendok itu digigit oleh Nuwa.“Lepas, kau tak boleh makan sendok, tak tercerna oleh perutmu.” Dayyan berusaha menarik sendok itu tapi masih tertahan di gigi Nuwa. ‘Aku lapar masih ingin makan. Buburnya tidak enak,’ ucap wanita itu dalam hati saja sambil menunjuk perutnya lagi berkali-kali biar Dayyan paham. “Masih lapar?” Akhirnya lelaki yang seperti sebatang kayu lurus itu peka juga, Nuwa mengangguk cepat. “Begini saja, aku akan beli makanan di luar, ada yang ingin kau beli tid
Nuwa sholat terpaksa mau tak mau kalau tidak di ranjang ya di kursi roda. Selesai, ia pun mendorong kursi roda dengan dua tangannya dan mendekat ke pembaringan. Ia naik dengan dua tangannya hingga kini tak harus bergantung 100% pada Dayyan, sebab lelaki itu belum menampakkan diri dari tadi. Terapi di tangan Nuwa sudah mulai menunjukkan hasil yang pesat. Kini ia sudah bisa makan sendiri sampai habis, masih bubur dari rumah sakit. Sebelum makan ia sanggul rambut panjangnya agar tidak mengganggu. Tak ada tusuk konde atau pun karet ia gunakan pena saja sebagai penyangga.Dayyan datang membawa Bhira. Gadis cilik itu ia letakkan di sebelah ibu tirinya yang baru selesai makan. Kemudian Dayyan meletakkan sebuah meja kecil, pensil, penghapus, dan buku gambar sesuai permintaan Nuwa. Wanita itu mulai belajar menggambar demi melatih gerakan tangannya lebih stabil.“Boleh tahu tidak, ponselku di mana?” Kalimat pertama yang ditulis oleh Nuwa, tulisannya agak-agak miring dan berantakan. “Oh, ponse
“Nuwa, kau baik-baik saja?” Dayyan menempelkan telapak tangannya di kening istrinya. Takutnya demam tinggi. Tapi Nuwa malah menjauhkan jidatnya, udah keseringan lelaki itu curi-curi kesempatan dan main cium saja. Kemudian Nuwa pura-pura tersenyum lebar. Ia tunjukkan hasil gambarannya pada Dayyan. Agak berantakan karena tangannya belum pulih seperti sedia kala. “Bagus juga gambarmu.” Dayyan memperhatikan arsiran pensil 2B itu. ‘Jauh dikit bisa? Aku ingin makan,’ ucap Nuwa dalam hati saja. Namun, yang ada malah Dayyan duduk di sampingnya santai tanpa beban dan tanpa ingin beranjak. Nuwa makan dengan hati-hati. Setiap kali Dayyan menoleh ia akan sigap, tapi tak bisa kabur. “Kau kenapa? Ada yang aneh di kamar ini? Tenanglah aku tak akan memakanmu. Paling aku ajak tidur saja,” ujar Ayah Bhira sambil tersenyum. Ia mulai paham apa maksud tersirat Nuwa menunjukkan gambar rumahnya di desa dulu. ‘Kan, kau ini memang mesum orangnya. Tidur terus yang ada di pikiranmu.’ Nuwa menghabiskan cemi