Nuwa sholat terpaksa mau tak mau kalau tidak di ranjang ya di kursi roda. Selesai, ia pun mendorong kursi roda dengan dua tangannya dan mendekat ke pembaringan. Ia naik dengan dua tangannya hingga kini tak harus bergantung 100% pada Dayyan, sebab lelaki itu belum menampakkan diri dari tadi. Terapi di tangan Nuwa sudah mulai menunjukkan hasil yang pesat. Kini ia sudah bisa makan sendiri sampai habis, masih bubur dari rumah sakit. Sebelum makan ia sanggul rambut panjangnya agar tidak mengganggu. Tak ada tusuk konde atau pun karet ia gunakan pena saja sebagai penyangga.Dayyan datang membawa Bhira. Gadis cilik itu ia letakkan di sebelah ibu tirinya yang baru selesai makan. Kemudian Dayyan meletakkan sebuah meja kecil, pensil, penghapus, dan buku gambar sesuai permintaan Nuwa. Wanita itu mulai belajar menggambar demi melatih gerakan tangannya lebih stabil.“Boleh tahu tidak, ponselku di mana?” Kalimat pertama yang ditulis oleh Nuwa, tulisannya agak-agak miring dan berantakan. “Oh, ponse
“Nuwa, kau baik-baik saja?” Dayyan menempelkan telapak tangannya di kening istrinya. Takutnya demam tinggi. Tapi Nuwa malah menjauhkan jidatnya, udah keseringan lelaki itu curi-curi kesempatan dan main cium saja. Kemudian Nuwa pura-pura tersenyum lebar. Ia tunjukkan hasil gambarannya pada Dayyan. Agak berantakan karena tangannya belum pulih seperti sedia kala. “Bagus juga gambarmu.” Dayyan memperhatikan arsiran pensil 2B itu. ‘Jauh dikit bisa? Aku ingin makan,’ ucap Nuwa dalam hati saja. Namun, yang ada malah Dayyan duduk di sampingnya santai tanpa beban dan tanpa ingin beranjak. Nuwa makan dengan hati-hati. Setiap kali Dayyan menoleh ia akan sigap, tapi tak bisa kabur. “Kau kenapa? Ada yang aneh di kamar ini? Tenanglah aku tak akan memakanmu. Paling aku ajak tidur saja,” ujar Ayah Bhira sambil tersenyum. Ia mulai paham apa maksud tersirat Nuwa menunjukkan gambar rumahnya di desa dulu. ‘Kan, kau ini memang mesum orangnya. Tidur terus yang ada di pikiranmu.’ Nuwa menghabiskan cemi
Dua orang itu masih diam-diaman saja seperti es di musim salju yang akan mencair di musim panas. Nuwa berharap hal-hal ‘demikian’ ditunda saja dulu sampai dia benar-benar pulih dan bisa berjalan tanpa hambatan. Namun, tidak dengan Dayyan. Setiap hari melihat kulit putih pucat Nuwa tanpa batasan sama sekali bukanlah hal yang mudah untuk ukuran lelaki normal dan masih muda seperti dirinya. Dayyan harus menahan diri setiap hari karena ketidak berdayaan istrinya. Dan tadi saat melihat Nuwa bisa jalan hatinya merasa senang. Namun, apa mungkin? Apa dia tega? Apa Nuwa nanti tidak kesakitan? Selama beberapa menit keduanya semakin lama semakin hening. Hanya terdengar suara napas saja yang berhembus. Namun, beberapa detik kemudian … Grooook …“Astaghfirullah, beneran mendengkur tidurnya. Kelelehan atau bagaimana?” Dayyan melihat Nuwa telah terlelap, padahal tadi masih pandang-pandangan berdua. Tak hanya itu saja, tangan Nuwa yang sudah sembuh mendekati normal terlentang dan sampai di wajah l
Musim dingin di Syam sedang mencapai titik terendah. Jadi memang normalnya orang malas mandi kalau tidak penting-penting sekali dan dalam situasi wajib mandi besar. Pagi-pagi sekali ketika dokter yang menangani Nuwa sudah datang, Dayyan membawa istrinya untuk diperiksakan. Sekali lagi Nuwa uji coba berjalan, dan ia mampu walau agak tertatih. Beberapa catatan medis diperiksa oleh dokter dan keduanya diminta untuk ke ruangan saja agar lebih mudah untuk berbicara. “Berdasarkan perkembangan, istri Tuan akan kami perbolehkan pulang siang ini juga, tapi dengan catatan harus rawat jalan di sini. Di rumah juga harus sering-sering dilatih tangan dan kakinya. Tidak ada masalah lagi sebenarnya, tapi ini untuk jaga-jaga saja. Akan aku buatkan resep obat untuknya,” ucap dokter. Nuwa tak dengar dibahas tentang suaranya yang tak kunjung kembali. Ia pun menarik kemeja suaminya dan menunjuk bagian tenggorokan dan bibirnya. Maksudnya tanyakan pada dokter kapan suaranya kembali. Capek kalau main kode
“Sayang, ayolah, aku minta maaf. Yang tadi itu benar tidak sengaja,” ucap Dayyan di dalam mobil. Nuwa diam saja dari tadi tak mau bicara. Selain masih marah rasanya bicara pun dengan suaminya seperti tidak ada gunanya. “Atau kau ma—” “Shuuut, diam, ya, tenang sebentar saja.” Nuwa meletakkan telunjuknya di bibir. Sejak sebulan lalu dia sadar ada aja kekonyolan suaminya yang harus ia rasakan. “Aku tempelin jimat vampir di kepalamu nanti baru tahu,” ujarnya perlahan. Lalu, hening sekali seperti pasir yang berterbangan di tengah siang yang terik. Sampai di rumah, Bhani dan Bhira sudah diantarkan oleh Zahra ke rumah mereka. Untuk pertama kalinya Nuwa menginjakkan kaki di rumah Dayyan. Rumah itu jauh lebih luas daripada rumahnya yang sempit tapi nyaman. Sedangkan di sini ia masih harus beradaptasi. Jujur saja selama ini Nuwa memilih tinggal sendiri karena budaya antara dirinya dan orang-orang di Syam yang notebene kebanyakan orang Arab dan India sangat berbeda jauh. Dari segi nasi saja
“Sejak menunggumu sadar di rumah sakit. Aku sudah tidak pernah memasak lagi. Jadi harap maklum kalau masakanku rasanya agak aneh.” Lelaki bermata abu-abu itu sangat bersemangat hari ini. Dayyan sodorkan piring untuk Nuwa lengkap dengan nasi dan entah apalah di atasnya. Begitu juga dengan Bhira yang diambilkan oleh Bhani. Nuwa memegang masakan di atas nasi yang bentuknya, astaghfirullah sekali.Ia melihat Dayyan, Bhani, dan Bhira mulai makan. Nuwa pun mencoba juga dan dalam waktu bersamaan empat orang itu sama-sama diam. Nasi dan lauk ditelan dengan bantuan air putih.“Ini anak tikus goreng atau anak kucing digoreng?” Nuwa memegang lauk yang warnanya nyaris gosong.“Ini sosis dan ayam aku campur jadi satu dan kasih tepung terus goreng. Tapi bentuknya jadi aneh, ha ha, maaf. Bakat memasakku tidak sebaik ayahku ternyata,” ujar Dayyan sambil garuk-garuk kepala. “Biar aku saja yang memasak. Sini piringnya semua.” Nuwa berjalan perlahan-lahan dan mengambil nasi yang sudah telanjur diaduk
Ketika Shubuh tiba, Nuwa akan bangun terlebih dahulu. Dia membuka pintu belakang, bukan untuk memasak, tapi untuk melatih pernapasannya yang sejak koma tujuh bulan terasa agak sempit. Wanita berkulit putih pucat itu belum bisa latihan berat, hanya gerakan ringan saja untuk membantu dirinya lekas pulih dan bisa melatih anak-anak seperti dulu. Ada kalanya Dayyan mengintip dari dalam rumah. Gerakan halus tapi bisa membuat keringat Nuwa banjir di musim salju itu mengingatkannya saat dulu mengintip istrinya menari. “Coba sekarang suruh dia menari di depanku mau tidak dia, ya?” gumam pria itu tanpa mengedipkan mata. Dayyan Candu melihat gerakan tubuh istrinya yang lentur seperti karet. “Terus habis itu dia pasti tanya dari mana aku tahu dia bisa menari? Apakah aku harus jawab pernah mengintipnya dulu? Terus kalau dia marah, aku dikuburkan hidup-hidup di bawah es, eh tapi, kan, dia sudah jadi istriku, masak masih marah juga. Kelewatan kalau iya.” Lelaki itu tersenyum sendirian. “Kau seny
Banyak yang datang untuk sekadar melihat saja. Untuk benar-benar menjadi murid Nuwa agak sulit sekarang, sebab wanita itu mengsyaratkan tanda tangan dari orang tua agar tidak protes kalau anaknya dilatih sangat keras sejak pertama kali masuk. Hal demikian mencegah orang tua yang datang merengek padanya seperti dulu awal-awal latihan.Benar kata orang dulu, hidup enak akan membuat orang manja, hidup yang keras akan membuat orang menjadi tangguh, dan bukan kewajiban bagi Nuwa untuk membentuk pribadi baru dari manja ke tangguh. Sedangkan dulu mengurus tiga murid pertamanya saja ia kewalahan, hanya demi rasa sungkannya pada Maira saja ia lanjutkan. Dari sekitar empat puluh murid Nuwa sekarang, hanya ada tiga orang perempuan saja, sebuah perbandingan yang sangat jomplang sekali, sebab di Syam perempuannya benar-benar mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Hingga pada satu hari datang seorang perempuan paruh baya membawa anak gadisnya yang asli orang Arab tanpa campuran sama
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun