Musim dingin di Syam sedang mencapai titik terendah. Jadi memang normalnya orang malas mandi kalau tidak penting-penting sekali dan dalam situasi wajib mandi besar. Pagi-pagi sekali ketika dokter yang menangani Nuwa sudah datang, Dayyan membawa istrinya untuk diperiksakan. Sekali lagi Nuwa uji coba berjalan, dan ia mampu walau agak tertatih. Beberapa catatan medis diperiksa oleh dokter dan keduanya diminta untuk ke ruangan saja agar lebih mudah untuk berbicara. “Berdasarkan perkembangan, istri Tuan akan kami perbolehkan pulang siang ini juga, tapi dengan catatan harus rawat jalan di sini. Di rumah juga harus sering-sering dilatih tangan dan kakinya. Tidak ada masalah lagi sebenarnya, tapi ini untuk jaga-jaga saja. Akan aku buatkan resep obat untuknya,” ucap dokter. Nuwa tak dengar dibahas tentang suaranya yang tak kunjung kembali. Ia pun menarik kemeja suaminya dan menunjuk bagian tenggorokan dan bibirnya. Maksudnya tanyakan pada dokter kapan suaranya kembali. Capek kalau main kode
“Sayang, ayolah, aku minta maaf. Yang tadi itu benar tidak sengaja,” ucap Dayyan di dalam mobil. Nuwa diam saja dari tadi tak mau bicara. Selain masih marah rasanya bicara pun dengan suaminya seperti tidak ada gunanya. “Atau kau ma—” “Shuuut, diam, ya, tenang sebentar saja.” Nuwa meletakkan telunjuknya di bibir. Sejak sebulan lalu dia sadar ada aja kekonyolan suaminya yang harus ia rasakan. “Aku tempelin jimat vampir di kepalamu nanti baru tahu,” ujarnya perlahan. Lalu, hening sekali seperti pasir yang berterbangan di tengah siang yang terik. Sampai di rumah, Bhani dan Bhira sudah diantarkan oleh Zahra ke rumah mereka. Untuk pertama kalinya Nuwa menginjakkan kaki di rumah Dayyan. Rumah itu jauh lebih luas daripada rumahnya yang sempit tapi nyaman. Sedangkan di sini ia masih harus beradaptasi. Jujur saja selama ini Nuwa memilih tinggal sendiri karena budaya antara dirinya dan orang-orang di Syam yang notebene kebanyakan orang Arab dan India sangat berbeda jauh. Dari segi nasi saja
“Sejak menunggumu sadar di rumah sakit. Aku sudah tidak pernah memasak lagi. Jadi harap maklum kalau masakanku rasanya agak aneh.” Lelaki bermata abu-abu itu sangat bersemangat hari ini. Dayyan sodorkan piring untuk Nuwa lengkap dengan nasi dan entah apalah di atasnya. Begitu juga dengan Bhira yang diambilkan oleh Bhani. Nuwa memegang masakan di atas nasi yang bentuknya, astaghfirullah sekali.Ia melihat Dayyan, Bhani, dan Bhira mulai makan. Nuwa pun mencoba juga dan dalam waktu bersamaan empat orang itu sama-sama diam. Nasi dan lauk ditelan dengan bantuan air putih.“Ini anak tikus goreng atau anak kucing digoreng?” Nuwa memegang lauk yang warnanya nyaris gosong.“Ini sosis dan ayam aku campur jadi satu dan kasih tepung terus goreng. Tapi bentuknya jadi aneh, ha ha, maaf. Bakat memasakku tidak sebaik ayahku ternyata,” ujar Dayyan sambil garuk-garuk kepala. “Biar aku saja yang memasak. Sini piringnya semua.” Nuwa berjalan perlahan-lahan dan mengambil nasi yang sudah telanjur diaduk
Ketika Shubuh tiba, Nuwa akan bangun terlebih dahulu. Dia membuka pintu belakang, bukan untuk memasak, tapi untuk melatih pernapasannya yang sejak koma tujuh bulan terasa agak sempit. Wanita berkulit putih pucat itu belum bisa latihan berat, hanya gerakan ringan saja untuk membantu dirinya lekas pulih dan bisa melatih anak-anak seperti dulu. Ada kalanya Dayyan mengintip dari dalam rumah. Gerakan halus tapi bisa membuat keringat Nuwa banjir di musim salju itu mengingatkannya saat dulu mengintip istrinya menari. “Coba sekarang suruh dia menari di depanku mau tidak dia, ya?” gumam pria itu tanpa mengedipkan mata. Dayyan Candu melihat gerakan tubuh istrinya yang lentur seperti karet. “Terus habis itu dia pasti tanya dari mana aku tahu dia bisa menari? Apakah aku harus jawab pernah mengintipnya dulu? Terus kalau dia marah, aku dikuburkan hidup-hidup di bawah es, eh tapi, kan, dia sudah jadi istriku, masak masih marah juga. Kelewatan kalau iya.” Lelaki itu tersenyum sendirian. “Kau seny
Banyak yang datang untuk sekadar melihat saja. Untuk benar-benar menjadi murid Nuwa agak sulit sekarang, sebab wanita itu mengsyaratkan tanda tangan dari orang tua agar tidak protes kalau anaknya dilatih sangat keras sejak pertama kali masuk. Hal demikian mencegah orang tua yang datang merengek padanya seperti dulu awal-awal latihan.Benar kata orang dulu, hidup enak akan membuat orang manja, hidup yang keras akan membuat orang menjadi tangguh, dan bukan kewajiban bagi Nuwa untuk membentuk pribadi baru dari manja ke tangguh. Sedangkan dulu mengurus tiga murid pertamanya saja ia kewalahan, hanya demi rasa sungkannya pada Maira saja ia lanjutkan. Dari sekitar empat puluh murid Nuwa sekarang, hanya ada tiga orang perempuan saja, sebuah perbandingan yang sangat jomplang sekali, sebab di Syam perempuannya benar-benar mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Hingga pada satu hari datang seorang perempuan paruh baya membawa anak gadisnya yang asli orang Arab tanpa campuran sama
Pintu rumah Dayyan diketuk, terdengar begitu ramai bisik-bisik tetangga yang tiba. Lelaki itu membukanya dan dia melihat ada tiga orang perempuan bercadar menyapanya dengan penuh hormat. Lelaki itu paham siapa yang dituju. Ada Fani, Padma, Anjali. Sekilas Dayyan melihat geng istrinya dulu saat masih kursus bahasa Arab dengannya masuk ke rumah. “Bisa-bisanya Fani masih dalam mimpiku, ya. Ah, memang isi kepalaku perlu diruqyah ini.” Dayyan menggaruk kepalanya yang tidak botak lagi. Setelah tiga perempuan itu masuk dan menemui Nuwa di belakang, giliran pula dari pihak pemerintah datang ke rumahnya. Dalam hal ini mereka perlu tanda tangan Dayyan untuk mencairkan tunjangan perang untuk Nuwa karena hanya dia wali wanita itu di sini. Sambil Ayah Bhani membaca lembar demi lembar surat yang harus ia tandatangani sambil dia mendengar sedikit apa saja perbincangan empat orang yang sudah lama tidak bertemu. “Kau sudah sehat, Nuwa?” tanya Fani yang tubuhnya bertambah gemuk selama tak berjumpa
“Halah gayamu 30 anak. Rasakan dulu mengurus satu baru setelah itu kau akan ambil keputusan.” Fani mencibir.“Bukan satu lagi yang aku rasakan, tapi sudah dua. Tapi, ya memang letih, tapi ya ingin juga punya anak. Bahkan dalam mimpi ketika aku tidak sadarkan diri aku dapat 10 anak yang lucu, gemoy, dan menggemaskan,” ujar Nuwa.“Sepuluh masih masuk akal, Nuwa. Tiga puluh? Kau hitung saja usiamu sekarang berapa?” Anjali mulai hitung-hitungan. “22 tahun.” Nuwa menjawab. “Asumsikan kau melahirkan setiap tahunnya dengan total 30 anak. Berarti kau terus produksi sampai umur 53 tahun, belum termasuk mengasuh dan membesarkan. Bahkan kau akan berlomba punya anak ketika anak-anakmu punya anak. Udah punya cucu masih kau punya bayi. Sanggup kau?” tanya Anjali. “Tidak! Aku masih harus mengajar juga. Ya, paling tidak seperti Kak Maira, punya empat atau lima anak. Sepuluh pun tak apa. Asal mereka akur.” Wanita bermata besar itu menghela napas panjang. Dayyan menarik napas lega. Sepuluh anak mas
Ketika Nuwa dan Dayyan sedang berusaha berdamai dengan takdir dan membangun rumah tangga mereka demi kemaslahatan bersama, ada dua sosok yang sebenarnya agak tersiksa melihat kebahagiaan keduanya. Mereka diam-diam memendam perasaan pada Nuwa. Siapakah mereka? Di posisi pertama ada Hanif. Anak kelima Ali dan Gu itu menyukai gaya ceria Nuwa yang berbanding terbalik dengan dirinya. Awal-awalnya rasa mulai ada ketika lebaran pertama ketika wanita itu datang sebagai tamu. Hanif yang pemalu menguping pembicaraan para wanita yang suara Nuwa sengau-sengau manja dan menimbulkan getar sendiri di dalam hatinya. Pada masa itu Hanif banyak tersenyum karena bahasa Arab Nuwa banyak salah susunan walau masih bisa dimengerti. Lalu perasaan itu semakin menjadi ketika ia tahu wanita Suku Mui itu ternyata sosok yang kuat dari sekian banyak cobaan yang menimpa dirinya. Hanif menyukai wanita tangguh, sebab dia sendiri bukanlah pribadi yang kuat. Tanding lari dengan Zahra adiknya saja dia kalah. Fisik H