“Halah gayamu 30 anak. Rasakan dulu mengurus satu baru setelah itu kau akan ambil keputusan.” Fani mencibir.“Bukan satu lagi yang aku rasakan, tapi sudah dua. Tapi, ya memang letih, tapi ya ingin juga punya anak. Bahkan dalam mimpi ketika aku tidak sadarkan diri aku dapat 10 anak yang lucu, gemoy, dan menggemaskan,” ujar Nuwa.“Sepuluh masih masuk akal, Nuwa. Tiga puluh? Kau hitung saja usiamu sekarang berapa?” Anjali mulai hitung-hitungan. “22 tahun.” Nuwa menjawab. “Asumsikan kau melahirkan setiap tahunnya dengan total 30 anak. Berarti kau terus produksi sampai umur 53 tahun, belum termasuk mengasuh dan membesarkan. Bahkan kau akan berlomba punya anak ketika anak-anakmu punya anak. Udah punya cucu masih kau punya bayi. Sanggup kau?” tanya Anjali. “Tidak! Aku masih harus mengajar juga. Ya, paling tidak seperti Kak Maira, punya empat atau lima anak. Sepuluh pun tak apa. Asal mereka akur.” Wanita bermata besar itu menghela napas panjang. Dayyan menarik napas lega. Sepuluh anak mas
Ketika Nuwa dan Dayyan sedang berusaha berdamai dengan takdir dan membangun rumah tangga mereka demi kemaslahatan bersama, ada dua sosok yang sebenarnya agak tersiksa melihat kebahagiaan keduanya. Mereka diam-diam memendam perasaan pada Nuwa. Siapakah mereka? Di posisi pertama ada Hanif. Anak kelima Ali dan Gu itu menyukai gaya ceria Nuwa yang berbanding terbalik dengan dirinya. Awal-awalnya rasa mulai ada ketika lebaran pertama ketika wanita itu datang sebagai tamu. Hanif yang pemalu menguping pembicaraan para wanita yang suara Nuwa sengau-sengau manja dan menimbulkan getar sendiri di dalam hatinya. Pada masa itu Hanif banyak tersenyum karena bahasa Arab Nuwa banyak salah susunan walau masih bisa dimengerti. Lalu perasaan itu semakin menjadi ketika ia tahu wanita Suku Mui itu ternyata sosok yang kuat dari sekian banyak cobaan yang menimpa dirinya. Hanif menyukai wanita tangguh, sebab dia sendiri bukanlah pribadi yang kuat. Tanding lari dengan Zahra adiknya saja dia kalah. Fisik H
Nuwa dan Dayyan bersunggung-sungguh membentuk aliansi pasukan pengintai. Proposal sudah Dayyan buat dan sampaikan pada gubernur setempat untuk kemudian ditinjau kesanggupan membawa Suku Mui yang islam semua dari negeri komunis ke negeri yang Insya Allah penuh rahmat Illahi di dalamnya. Nuwa melatih Yasmin dengan cara dan jam yang berbeda sebab membutuhkan fokus yang tidak sama dengan yang lain. Yasmin sangat patuh dengan wanita yang ia panggil dengan sebutan ammah. Walau akhirnya tubuh itu banyak memar ketika uji coba memukul boneka kayu. Lonceng yang diikat Nuwa pada tongkat rotannya berfungsi sebagai alat bantu dengar, hingga Yasmin bisa memprediksikan ke mana arah gerakan gurunya. Nuwa menajamkan indra pendengaran Yasmin sebagai pengganti mata yang tak berfungsi. Sang guru pun melatih dengan mata diikat juga agar sama dengan muridnya yang berbeda. Ditambah gadis buta itu melakukan amalan tersendiri yang dibimbing oleh guru ngajinya untuk ketajaman mata hati dan nalurinya. Latih
Dears, pembaca, ini ada tambahan beberapa part yang ada lupa disisipkan di tengah-tengah cerita, dan gaje-gaje lainnya. Sedikit aja nggak banyak, semoga masih suka dengan kisah Nuwa dan Dayyan. Nuwa sampai di gedung kursus, teman-temannya sudah datang, tinggal menunggu syeikh killer saja lagi. Kemarin sore mereka berdua sempat tatap-tatapan dengan tajam. Begitu saja terus, Dayyan menghukum Nuwa, wanita itu membalas di dalam kelas. Tak selesai-selesai. “Bosan, ya, katanya harus disiplin.” Naik kaki Nuwa ke atas kursi di sebelahnya. Deru AC tak sanggup mendinginkan isi kepalanya. “Jangan bandel lagi, Nuwa, nanti nilaimu C teroos, kapan naik ke B.” Fani menasehati. “Halah, aku tak butuh nilai B, aku butuhnya kursus cepat selesai, titik, ha ha ha.” Tak jelas Nuwa ketawa sendirian. “Nanti kau kangen dengan syeikh kalau kelas berakhir.” Anjali ngomporin. “Kalian catat kata-kataku, ya, sampai aku rindu dengan si botak itu aku, aku akan, akan, ehm akan.” Lagi-lagi guru wing chun itu asal
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a