Tahun demi tahun Nuwa lewati dan tak terasa usianya sekarang sudah 24 tahun saja. Ia masih betah dalam kesendiriannya. Sedangkan Dayyan sudah lama memutuskan menikah lagi dengan Fani setelah berulang kali memikirkan anak-anaknya yang butuh kasih sayang seorang ibu. Nuwa turut bahagia, tapi ia tak bisa datang ke pernikahan karena ada ujian kenaikan tingkat yang harus ia susun.Wanita Suku Mui itu melihat begitu banyak muridnya yang kini sudah berjumlah ratusan. Ia membuat sistem jenjang agar memperjelas mana yang baru mana yang sudah senior. Yang senior bahkan sudah bisa diperbantukan untuk mengajar yang baru. Keinginan Kai untuk membuat Nuwa menjadi guru besar terwujud sudah. Jika biasanya janda banyak fitnahnya, maka tak ada yang berani melakukan hal demikian pada Nuwa. Selesai ujian kenaikan tingkat ia memanggil Rizki—yang sebentar lagi ikut ujian masuk sebagai pilot, kemudian Farhan yang semakin dewasa dan mirip dengan Maira, juga Bhani yang tetap saja memanggilnya dengan sebutan
Dayyan membuka matanya perlahan-lahan. Tanpa terasa ia meneteskan air mata karena terlalu sedih dengan peristiwa akhir-akhir ini yang menimpa hidupnya. Kemudian ia pun menoleh dan memeriksa sekeliling. “Eh, aku masih di rumah sakit?” Ia bangun dan memastikan isi kepalanya. Apakah nyata atau tidak. Kucek-kucek lagi mata sampai pedih dan iya memang masih di rumah sakit bukan di kuburan. “Enak, ya, tidur lama-lama. Istrinya ada perkembangan dia tak sadar. Untung Bhani sigap sebagai anak.” Dayyan mendengar suara tapi tak lihat orangnya. Ia usap matanya kuat-kuat. Perlahan-lahan ada bayangan Hira dan memang sungguhan ada orang di depan matanya. “Nuwa masih hidup?” tunjuk Dayyan pada seseorang yang berbaring di ranjang. “Kau mengharap dia mati? Biar bisa nikah lagi, gitu?” tegur Hira. “Kalau mau nikah lagi tak perlu menunggu Nuwa sadar, sekarang kau ijab qabul dengan perempuan lain pun bisa. Bangun-bangun dibunuh kau dengan Nuwa.” “Bukan begitu maksudku, tapi bukannya aku sudah menikah
Nuwa kembali ke desanya. Sejak kekalahan yang dialami oleh Xia He para warga Suku Mui yang tersiksa mendapatkan pengawasan dua kali lebih ketat. Bahkan hidup mereka jadi dua kali lebih sulit. Ada beberapa tentara yang menyiksa hingga salah satu warga babak belur. Nuwa ingin menolong, ia mampu melawan para tentara itu. Sayangnya tubuh Nuwa tembus pandang. Penyiksaan itu hanya bisa ia lihat dengan mata kepalanya saja.“Nuwa,” sapa sebuah suara yang selama ini menemani dirinya selama koma.“Kai, tak bisakah kita menolong mereka?” Nuwa memegang tangan suaminya, sayangnya Kai pun tak bisa ia sentuh juga. “Nuwa, sampai di sini saja aku bisa menemanimu, aku tidak akan datang melihatmu lagi. Kau sudah punya hidup yang baru. Berbahagialah dan raih semua apa yang kau impikan.” “Kai, aku ingin agar saudara-saudara kita semuanya selamat.” “Kalau begitu bangun dan wujudkanlah, kalau kau tidur semuanya tidak akan bisa tercapai. Jangan terlalu lelah dan jangan lupa bahagiakan dirimu sendiri, Nuw
“Nuwa, katakanlah sesuatu apakah kau menerima pernikahan ini?” ‘Aduuuuh, bagaimana caranya supaya dia mengerti. Kenapa mendadak aku jadi bisu begini, susaaah sekali bicara.’ Demi memberikan isyarat pada Dayyan, mata besar Nuwa berkedip beberapa kali dengan cepat. Dayyan paham? Tidak sama sekali. “Maksudnya? Bisa lebih jelas?”‘Hiiiih, tahu tak kalau aku masih sakiiiiit!’ Nuwa berkedip lagi tiga kali, nggak juga Dayyan paham. Pelan-pelan Nuwa mengangguk, kepalanya serasa didatangi setruk kunang-kunang jadinya. “Alhamdulillah,” ucap Dayyan, “tujuh bulan kau koma, akhirnya penantianku tidak sia-sia.”‘Tujuh bulan aku koma? Tidur atau latihan meninggal itu?’ Nuwa baru tahu ternyata selama itu dia tak sadarkan diri. Mimpinya terlalu indah dan random. Dari satu petulangan ke petualangan lain. Mimpi terakhirnya ia melawan Dayyan yang mengubah wujudnya sebagai Naga Fu Rong, dengan menggunakan pedang sakti dari langit. Dayyan memegang dua bahu istrinya. Mata Nuwa mengerjap cepat. Ia setuj
“Assalammualaikum, Nuwa,” sapa seorang perempuan yang masuk dalam kamar 103. Wanita itu baru saja lepas melahirkan anak keempat kemarin pagi. Nuwa mengenali suara Maira tetapi ia hanya bisa tersenyum saja.“Akhirnya kau sadar juga. Lama sekali kau tidurnya, dari Kakak ketahuan hamil sampai anak kami lahir. Lihatlah, Nuwa, ini bayi perempuan yang kami idam-idamkan.” Maira menyodorkan anak keempatnya di hadapan Nuwa. Bayi mungil yang masih kemerahan itu terlelap sangat nyenyak. ‘Ya Allah lucunya,’ gumam wanita Suku Mui itu dalam hati, ‘jadi ingat saat aku melahirkan 10 anakku dalam mimpi, gemoy semua pipinya, hiiih gemas ingin cubit. Dapat tidak, ya, yang seperti mereka di alam nyata?’ “Dayyan, kenapa Nuwa diam saja dari tadi. Apa dia tidak suka dijenguk, atau masih sakit?” tanya Maira ketika Nuwa hanya bisa tersenyum saja padanya.“Bukan marah, suaranya belum kembali, mungkin masih jalan-jalan di alam mimpi, tapi ada bagusnya juga. Jadi dia tidak protes dari dua hari lalu,” jawab Day
Nuwa sudah menggunakan seragam baru yang diberikan perawat olehnya. Pelan-pelan saja Dayyan menyisir rambut Nuwa agar tak jatuh ke lantai lagi, setelahnya dikeringkan menggunakan hair dryer yang dipinjamkan Hira. “Gini, kan, bagus rambutmu kalau warna hitam alami, kenapa harus dicat warna pirang?” Dayyan mencium aroma rambut Nuwa yang wangi daun mint. ‘Daripada aku cat warna ungu, persis teronglah aku.’ Nuwa menarik napas sejenak, setelah itu dia terkejut. ‘Pelan-pelanlah, ooii.’ Pipi Nuwa ditepuk agak kuat sama Dayyan, karena lelaki itu mengaplikasikan pelembab ke wajah istrinya. Ada beberapa barang perawatan kulit wajah yang dibelikan oleh Hira untuk iparnya. “Ini lipstik, kan?” Dayyan menunjukan salah satu alat make up pada Nuwa, wanita itu mengedipkan mata saja. Dibuka oleh Ayah Bhani tutup lipstik itu dan dia aplikasikan ke bibir istrinya mencong miring sana sini. “Eh, lipstik kenapa tidak ada warnanya sama sekali?” Dayyan ulang-ulang poles ke bibir Nuwa sampai wanita itu hamp
Fisioterapi dimulai. Nuwa masih duduk di kursi roda, Dayyan menemani di sebelahnya. Dua orang perawat datang bergantian memijit bagian tubuh yang kehilangan kekuatan. Dimulai dari kepala dulu. Agak ringan rasanya pikiran Nuwa setelah dipijat. Kemudian salah satu perawat berpindah pada bagian kaki juga tangan yang sangat memerlukan banyak pijatan. Salah satu perawat meninggalkan Nuwa karena ada pasien lain pula yang harus dilayani. Lalu Dayyan pun dimintakan tolong untuk menekan titik-titik di telapak kaki Nuwa agar peredaran darah wanita Suku Mui itu lancar dan kakinya mulai bisa digerakkan. Namun, apa yang terjadi. Bukan pijatan ringan yang diberikan oleh sniper itu melainkan sebuah gelitikan hingga Nuwa merasa geli.‘Pergilah kau sana. Mending tidak usah sekalian.” Nuwa tertawa tanpa mengeluarkan suara karena geli sekali di telapak kakinya. Dayyan mana sadar dia salah, tetap aja pijit-pijit sampai Nuwa tak tahan lagi dan jatuh dari kursi roda. Air mata mengalir dari sudut penglih
‘Gimana caraku bicara? Suara saja tak keluar dari kemarin. Andaikan bisa bicara aku tak perlu hidup serumit sekarang.’ Bubur jatah dari rumah sakit sudah sampai di kamar nomor 103. Lekas saja Dayyan menyuapi istrinya yang masih duduk di kursi roda. Awalnya Nuwa ingin mencoba makan sendiri, tapi sendok itu jatuh berulang kali. Bubur yang terasa hambar di lidah Nuwa, makanan untuk orang sakit, tapi karena tidak ada yang lain jadi ditelan saja sampai habis. Suapan terakhir, mangkuk bubur telah kosong. Namun, sendok itu digigit oleh Nuwa.“Lepas, kau tak boleh makan sendok, tak tercerna oleh perutmu.” Dayyan berusaha menarik sendok itu tapi masih tertahan di gigi Nuwa. ‘Aku lapar masih ingin makan. Buburnya tidak enak,’ ucap wanita itu dalam hati saja sambil menunjuk perutnya lagi berkali-kali biar Dayyan paham. “Masih lapar?” Akhirnya lelaki yang seperti sebatang kayu lurus itu peka juga, Nuwa mengangguk cepat. “Begini saja, aku akan beli makanan di luar, ada yang ingin kau beli tid