“Iya, kalau memang kau memaksa. Lalu kau kritis dan harus dibawa ke rumah sakit. Semua orang telanjur mengenali kalau aku suamimu, begitu juga dengan Hira. Dan kau tak sadarkan diri dua hari lamanya padahal seharusnya kau sudah sadar. Keadaanmu di luar dugaan, kau koma, harus ada yang mengurusmu dari pihak keluarga. Kau tak punya keluarga di sini. Meminta teman-temanmu juga tidak mungkin. Jadi …” “Jadi. Jangan bilang kalau kau …” sahut Nuwa. “Jadi aku menjadikan sandiwara itu benar adanya. Aku menikahimu saat kau tidak sadar, secara sah dan ini buktinya.” Dayyan mengeluarkan ponsel dan membuka video ketika dia mengikrarkan ijab qabul untuk mengesahkan Nuwa. Terkejut dan tak percaya, ponsel Dayyan jatuh dari tangan Nuwa. Mata wanita itu mengerjap cepat, ia tersenyum kemudian meneteskan air mata.“Ini juga kartu pernikahan kita.” Dayyan menunjukkan bukti yang lain. “Cukup, video tadi sudah sangat jelas. Aku tak perlu bukti apa-apa lagi.” Wanita itu masih terisak. Dayyan mengelus kepa
Sepanjang hari Nuwa berpikir tanpa menyentuh makanan sama sekali. Penolakannya tadi malam, serta raut wajah kecewa Dayyan yang tidak berkata apa-apa padanya. Soal dosa, Nuwa sangat mengerti. Namun, apabila hatinya enggan, dia bisa apa? Sudah mencoba ia mengingat kebaikan lelaki itu selama dirinya sakit. Sayangnya tak bisa menggantikan apa yang telah hilang darinya. “Maaf, sekai lagi maaf. Tapi sepertinya aku tidak akan bisa jadi istri yang tepat untukmu. Kau pilih saja perempuan lain. Aku ingin hidup seperti dulu di rumahku yang kecil di mana aku bebas mengingat Kai. Di sini aku dibayang-bayangi olehnya, sedangkan sudah ada kau di depanku. Aku tak bisa seperti ini terus,” gumamnya setelah berpikir panjang. Hari sudah siang dan sebentar lagi biasanya Dayyan akan pulang dari mengajar untuk menjemput Bhani pulang sekolah. Nuwa di rumah hanya mengurus Bhira saja. Soal menjaga anak dia tak pernah ada masalah, soal membelokkan hati ternyata yang paling sulit baginya. Terhitung sudah tiga
Tahun demi tahun Nuwa lewati dan tak terasa usianya sekarang sudah 24 tahun saja. Ia masih betah dalam kesendiriannya. Sedangkan Dayyan sudah lama memutuskan menikah lagi dengan Fani setelah berulang kali memikirkan anak-anaknya yang butuh kasih sayang seorang ibu. Nuwa turut bahagia, tapi ia tak bisa datang ke pernikahan karena ada ujian kenaikan tingkat yang harus ia susun.Wanita Suku Mui itu melihat begitu banyak muridnya yang kini sudah berjumlah ratusan. Ia membuat sistem jenjang agar memperjelas mana yang baru mana yang sudah senior. Yang senior bahkan sudah bisa diperbantukan untuk mengajar yang baru. Keinginan Kai untuk membuat Nuwa menjadi guru besar terwujud sudah. Jika biasanya janda banyak fitnahnya, maka tak ada yang berani melakukan hal demikian pada Nuwa. Selesai ujian kenaikan tingkat ia memanggil Rizki—yang sebentar lagi ikut ujian masuk sebagai pilot, kemudian Farhan yang semakin dewasa dan mirip dengan Maira, juga Bhani yang tetap saja memanggilnya dengan sebutan
Dayyan membuka matanya perlahan-lahan. Tanpa terasa ia meneteskan air mata karena terlalu sedih dengan peristiwa akhir-akhir ini yang menimpa hidupnya. Kemudian ia pun menoleh dan memeriksa sekeliling. “Eh, aku masih di rumah sakit?” Ia bangun dan memastikan isi kepalanya. Apakah nyata atau tidak. Kucek-kucek lagi mata sampai pedih dan iya memang masih di rumah sakit bukan di kuburan. “Enak, ya, tidur lama-lama. Istrinya ada perkembangan dia tak sadar. Untung Bhani sigap sebagai anak.” Dayyan mendengar suara tapi tak lihat orangnya. Ia usap matanya kuat-kuat. Perlahan-lahan ada bayangan Hira dan memang sungguhan ada orang di depan matanya. “Nuwa masih hidup?” tunjuk Dayyan pada seseorang yang berbaring di ranjang. “Kau mengharap dia mati? Biar bisa nikah lagi, gitu?” tegur Hira. “Kalau mau nikah lagi tak perlu menunggu Nuwa sadar, sekarang kau ijab qabul dengan perempuan lain pun bisa. Bangun-bangun dibunuh kau dengan Nuwa.” “Bukan begitu maksudku, tapi bukannya aku sudah menikah
Nuwa kembali ke desanya. Sejak kekalahan yang dialami oleh Xia He para warga Suku Mui yang tersiksa mendapatkan pengawasan dua kali lebih ketat. Bahkan hidup mereka jadi dua kali lebih sulit. Ada beberapa tentara yang menyiksa hingga salah satu warga babak belur. Nuwa ingin menolong, ia mampu melawan para tentara itu. Sayangnya tubuh Nuwa tembus pandang. Penyiksaan itu hanya bisa ia lihat dengan mata kepalanya saja.“Nuwa,” sapa sebuah suara yang selama ini menemani dirinya selama koma.“Kai, tak bisakah kita menolong mereka?” Nuwa memegang tangan suaminya, sayangnya Kai pun tak bisa ia sentuh juga. “Nuwa, sampai di sini saja aku bisa menemanimu, aku tidak akan datang melihatmu lagi. Kau sudah punya hidup yang baru. Berbahagialah dan raih semua apa yang kau impikan.” “Kai, aku ingin agar saudara-saudara kita semuanya selamat.” “Kalau begitu bangun dan wujudkanlah, kalau kau tidur semuanya tidak akan bisa tercapai. Jangan terlalu lelah dan jangan lupa bahagiakan dirimu sendiri, Nuw
“Nuwa, katakanlah sesuatu apakah kau menerima pernikahan ini?” ‘Aduuuuh, bagaimana caranya supaya dia mengerti. Kenapa mendadak aku jadi bisu begini, susaaah sekali bicara.’ Demi memberikan isyarat pada Dayyan, mata besar Nuwa berkedip beberapa kali dengan cepat. Dayyan paham? Tidak sama sekali. “Maksudnya? Bisa lebih jelas?”‘Hiiiih, tahu tak kalau aku masih sakiiiiit!’ Nuwa berkedip lagi tiga kali, nggak juga Dayyan paham. Pelan-pelan Nuwa mengangguk, kepalanya serasa didatangi setruk kunang-kunang jadinya. “Alhamdulillah,” ucap Dayyan, “tujuh bulan kau koma, akhirnya penantianku tidak sia-sia.”‘Tujuh bulan aku koma? Tidur atau latihan meninggal itu?’ Nuwa baru tahu ternyata selama itu dia tak sadarkan diri. Mimpinya terlalu indah dan random. Dari satu petulangan ke petualangan lain. Mimpi terakhirnya ia melawan Dayyan yang mengubah wujudnya sebagai Naga Fu Rong, dengan menggunakan pedang sakti dari langit. Dayyan memegang dua bahu istrinya. Mata Nuwa mengerjap cepat. Ia setuj
“Assalammualaikum, Nuwa,” sapa seorang perempuan yang masuk dalam kamar 103. Wanita itu baru saja lepas melahirkan anak keempat kemarin pagi. Nuwa mengenali suara Maira tetapi ia hanya bisa tersenyum saja.“Akhirnya kau sadar juga. Lama sekali kau tidurnya, dari Kakak ketahuan hamil sampai anak kami lahir. Lihatlah, Nuwa, ini bayi perempuan yang kami idam-idamkan.” Maira menyodorkan anak keempatnya di hadapan Nuwa. Bayi mungil yang masih kemerahan itu terlelap sangat nyenyak. ‘Ya Allah lucunya,’ gumam wanita Suku Mui itu dalam hati, ‘jadi ingat saat aku melahirkan 10 anakku dalam mimpi, gemoy semua pipinya, hiiih gemas ingin cubit. Dapat tidak, ya, yang seperti mereka di alam nyata?’ “Dayyan, kenapa Nuwa diam saja dari tadi. Apa dia tidak suka dijenguk, atau masih sakit?” tanya Maira ketika Nuwa hanya bisa tersenyum saja padanya.“Bukan marah, suaranya belum kembali, mungkin masih jalan-jalan di alam mimpi, tapi ada bagusnya juga. Jadi dia tidak protes dari dua hari lalu,” jawab Day
Nuwa sudah menggunakan seragam baru yang diberikan perawat olehnya. Pelan-pelan saja Dayyan menyisir rambut Nuwa agar tak jatuh ke lantai lagi, setelahnya dikeringkan menggunakan hair dryer yang dipinjamkan Hira. “Gini, kan, bagus rambutmu kalau warna hitam alami, kenapa harus dicat warna pirang?” Dayyan mencium aroma rambut Nuwa yang wangi daun mint. ‘Daripada aku cat warna ungu, persis teronglah aku.’ Nuwa menarik napas sejenak, setelah itu dia terkejut. ‘Pelan-pelanlah, ooii.’ Pipi Nuwa ditepuk agak kuat sama Dayyan, karena lelaki itu mengaplikasikan pelembab ke wajah istrinya. Ada beberapa barang perawatan kulit wajah yang dibelikan oleh Hira untuk iparnya. “Ini lipstik, kan?” Dayyan menunjukan salah satu alat make up pada Nuwa, wanita itu mengedipkan mata saja. Dibuka oleh Ayah Bhani tutup lipstik itu dan dia aplikasikan ke bibir istrinya mencong miring sana sini. “Eh, lipstik kenapa tidak ada warnanya sama sekali?” Dayyan ulang-ulang poles ke bibir Nuwa sampai wanita itu hamp