Home / Pendekar / Janji Setia / Jejak di Pasir

Share

Jejak di Pasir

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nuwa menarik tali kekang kudanya. Ia memperhatikan jejak ban mobil yang tercetak jelas baik di jalanan aspal atau pasir. Lebih dari dua ia perkirakan dan jejak itu tidak melewati kota mati. Dicoba oleh Nuwa memang belum tentu berhasil, tidak dicoba tidak akan tahu.

“Kai, ikuti jejak ban mobil itu. Cepat, aku tak mau kehilangan santapan segarku hari ini.” Nuwa memacu kudanya lebih cepat.

Terus, terus, terus Nuwa maju ditemani angin Negeri Syam yang mengibarkan khimarnya. Rasa lapar dan haus hanya Nuwa kendalikan dengan bekal air minum seadanya. Daya tahan tubuhnya harus kuat hari ini. Sekuat tekadnya yang mengalahkan baja.

Derap langkah kaki kuda itu berhasil menarik perhatian sebagian tentara Negeri Syam yang tengah berperang dengan tentara Balrus. Jelas mereka mengenali siapa perempuan gila yang berani menerobos peperangan seorang diri tanpa persiapan. Mereka ingin menghalangi tapi tidak bisa karena sedang sibuk juga. Alhasil yang sempat memberikan laporan mereka pada Dayyan yang
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Janji Setia    Tarian Pedang

    “Akhirnya kau menunjukkan wajah aslimu. Cantik, cocok jadi pelacur sebenrnya. Ambilkan kotak pedangku di jeep. Aku membawanya jauh-jauh dari Xin Hua karena sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya denganmu. Berdiri Nuwa. Jangan berlutut, karena hanya dengan berdiri kau bisa melawanku.” Tentara lelaki yang menahan tubuh Nuwa melepaskan pegangan mereka. Dua orang perempuan yang kadar gilanya sama saling berhadap-hadapan. Kotak pedang telah sampai dan Xia He membukanya. Ada tujuh jenis senjata tajam yang ia bawa. “Anggap saja kita ada di zaman dahulu. Aku dewa perang dan kau budak yang kabur. Buka rompi anti pelurumu. Aku juga sama,” ucap Xia He. “Ada banyak budak yang membunuh tuannya di zaman dahulu. Anggap saja itu aku. Baik, akan aku buka.” Kini keduanya tanpa pelindung sama sekali. “Silakan pilih duluan, Nuwa, kau mendapatkan kehormatan dariku.” Xia He mempersilakan lawannya memilih satu di antara tujuh pedang. Wanita muslim Suku Mui itu melihat dan memilih, ia men

  • Janji Setia    Dosa Kedua

    Dayyan menghentikan jeep yang berjalan di belakangnya. Ia meminta diantar ke tenda medis terdekat sambil tetap membawa tubuh lemah Nuwa dalam genggaman tangannya. Mobil berjalan bak orang kesetanan, menembus apa saja yang ada di depan mata karena denyut nadi Nuwa semakin melemah. Ada sarana medis di bangun tak jauh dari lokasi perang. Banyak yang terluka di sana. “Dokter, tolong, ini darurat,” pinta Dayyan pada siapa saja yang mendengarnya. Tak ada yang peduli, lelaki bermata abu-abu itu kemudian menarik paksa dokter pria yang lewat di depannya. “Tolong dia, aku mohon,” pinta Dayyan. “Tapi aku ada pasien yang juga kena luka tembak.” “Tolong!” Dayyan meremas bahu dokter itu cukup kuat. Situasi sangat kacau balau ketika lebih banyak pasien daripada petugas medis. Nuwa kemudian diletakkan diatas pembaringan mana saja yang ditemukan. Dokter memeriksa detak jantung dan denyut nadi kemudian memasang alat bantu pernapasan dan mengambil tindakan. “Kau suaminya? Kenapa istrimu kau biark

  • Janji Setia    Sandiwara

    “Hira, tolonglah. Ini situasi genting.” “Dan sejak kapan kalian berdua menikah? Dua hari lalu kau pergi perang kau masih duda, pulang-pulang sudah menjadi suami orang. Mau aku adukan pada ibu?” “Jangan. Tolong, mengertilah situasi tadi serba terdesak. Aku terpaksa melakukannya.” Dayyan menyugar rambutnya, bak orang frustrasi. “Melakukan apa?” tanya Hira. “Menggunting semua bajunya yang berlumuran darah dan mengganti dengan yang bersih.” “Dayyan, padahal aku seharusnya tidak perlu tahu hal itu, tapi kau malah memberitahunya sendiri. Kau panik, kau lelah, istirahatlah. Aku masih banyak pekerjaan. Soal pernikahan main-mainmu dengan Nuwa kita bahas saat aku sudah istirahat. Percayalah aku menganggap masalah ini serius. Aku tidak segan-segan mengadukan ini pada Ibu.” Hira meninggalkan saudara kembarnya yang mematung di lorong rumah sakit. Dayyan terpaku, situasi yang serba sulit tadi membuatnya berada dalam masalah besar. Kebohongan yang luar biasa. Pernikahan tidak boleh dibuat baha

  • Janji Setia    Jiwa yang Melayang

    Dayyan, Hira, dua orang saksi dan satu orang hakim yang ditunjuk sebagai wali dari Nuwa karena wanita Suku Mui itu tiada punya kerabat lagi, berkumpul di kantor catatan pernikahan. Ya, secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun, lelaki bermata abu-abu itu memenuhi tanggung jawabnya secara utuh. Adapun Maira, Gu, dan semua keluarga sudah diberi tahu bagaiamana keadaan Nuwa dan pernikahan yang terkesan mendadak itu tanpa harus mengumbar aib apa yang dilakukan oleh ayahnya Bhani. Cukup dua saudara kembar itu saja yang tahu. Sah sudah. Nuwa tak lagi menjanda, proses pun tak lama karena tidak ada pesta pernikahan sama sekali. Dayyan pun tak lagi menduda. Semua catatan sipil akan diurus nanti. Soal mahar karena keadaan terdesak, Dayyan meminjam cincin emas milik Hira karena ia lupa harus ada mas kawin sebagai syarat sah pernikahan. “Hutang kau dengan aku.” Hira menyerahkan cincin emasnya.“Iya, nanti aku ganti, tenanglah. Kau memang kakak yang baik.” Dayyan membersihkan cincin itu

  • Janji Setia    Mimpi Indah

    “Iya, akan aku coba.” Dayyan kini hanya berdua saja dengan istri barunya. Terkadang takdir memang sangat lucu untuk dijalani. Namun, tubuh manusia yang lemah dan fana tak akan mampu melawan. Hanya mampu menjalani dengan penuh keridhoan agar terasa lapang di hati. Baik itu takdir tentang jodoh, kehidupan, atau kematian. Baik Nuwa ataupun Dayyan sejatinya sama-sama kehilangan yang teramat sangat. Bedanya Dayyan tak terlalu terlihat sedih karena wajahnya yang cenderung datar tanpa ekspresi apa pun. Jika Nuwa masih belum sepenuhnya menerima takdir kehilangan Kai dari cara ia menolak lamaran para pria berulang kali. Sampai-sampai Nuwa sendiri merasa bosan ditanyakan perihal itu-itu saja. Kini dua orang yang sempat kehilangan itu telah terikat bersama. Waktu yang dilewati Dayyan selama menjaga Nuwa tak terasa sudah dua minggu saja. Setiap pagi ia akan mengunjungi istrinya setelah menitipkan Bhira—putrinya yang masih kecil pada neneknya. Pernah ia bawa Bhani untuk menjenguk guru sekaligus

  • Janji Setia    Banyak Anak

    “Kai, aku hampir tak percaya kalau rumah ini milik kita. Bukannya rumah kita dulu kecil dan buruk sekali ya.” Nuwa memegang erat tangan suaminya. Iya, saat dia baru membuka mata dan disambut oleh uluran tangan Kai, lelaki itu mengajaknya berjalan kaki menuju satu rumah baru yang sangat besar.“Di sini semuanya tersedia, Nuwa,” jawab Kai. “Di sini itu maksudmu di mana? Bukannya kita sekarang ada di desa?” “Nuwa, kau sudah lupa kalau aku sudah mati?” Lelaki itu melirik istrinya. “Aku tidak lupa. Tapi aku juga ingat kalau aku sudah mati, Kai. Artinya sekarang kita sudah bersama dan tidak akan terpisahkan lagi.” “Kau belum mati, Nuwa.” “Tolong jangan suruh aku kembali, Kai. Aku di sana kesepian, tidak ada teman, tidak ada tempat untuk meminta kasih sayang. Aku pantang mengemis cinta dari orang. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Cukup biarkan saja aku tinggal di sini bersamamu. Itu sudah jauh dari cukup. Pun anak kita akan lahir sebentar lagi.” “Iya, untuk s

  • Janji Setia    Ingatan Terakhir

    “Eh, Dayyan, mata Nuwa, mata Nuwa terbuka.” Maira agak panik dan tak bisa menahan diri. Dayyan lekas berlari dan benar mata Nuwa berkedip beberapa kali. Lelaki itu menekan bel yang ada di dinding. Tak butuh waktu lama dua orang perawat kemudian datang. Mereka yang melihat pasien sadar lekas memanggil dua orang dokter yang menangani Nuwa.“Kalian bisa keluar dulu, ya, biar kami tangani dia terlebih dahulu,” pinta dokter pada Maira dan Dayyan. Dua kakak adik itu keluar dengan harap-harap cemas.Dokter yang menangani Nuwa melihat keadaan pasien. Mata Nuwa tertutup lagi. Dilakukan beberapa pemeriksaan bahkan menguji rangsangan pada kulit wanita Suku Mui itu, nyatanya hasil masih sama. Namun, gerakan pernapasan Nuwa sudah jauh lebih baik daripada biasanya. Salah satu dokter menguji dengan membuka alat bantu pernapasan yang menggunakan tutup mulut. Ketika dibuka Nuwa tak lagi sesak napas. Sekarang wanita itu menggunakan alat bantu napas yang sederhana saja. “Bagaimana keadaan Nuwa, Dokte

  • Janji Setia    Enggan

    “Nuwa, tenang, letakkan pisaunya,” ucap Dayyan ketika melihat istrinya menatap orang satu demi satu di dalam ruangan. Wanita bermata besar itu hanya menggeleng. Ingatannya di peperangan masih melekat erat. Ia menyangka masih berada dalam tawanan Xia He. Nuwa menoleh dan melihat Bhani. Rasa-rasa anak itu familiar di matanya. “Bhani,” ujarnya. “Iya, iya, dia Bhani,” jawab Dayyan. “Ibu,” jawab anak itu sambil mendekat.“Aku bukan ibumu. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nuwa sambil tetap memegang pisau. “Nuwa, tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Peperangan telah selesai. Xia He sudah mati, kau aman, kita semua aman. Kau kena tembak dan berbaring selama beberapa bulan. Letakkan pisaunya, dan biarkan dokter memeriksamu dulu.” Dayyan mendekat sedikit demi sedikit. Kemudian ketika sangat dekat dia berhasil merampas pisau buah dari tangan Nuwa. Wanita itu sendiri masih bingung dengan apa yang ada di depan matanya. Terutama Dayyan dan Bhani mengapa harus ada satu kamar bersaman

Latest chapter

  • Janji Setia    Suka dan Duka

    Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i

  • Janji Setia    Penculikan

    “Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T

  • Janji Setia    Perkara Street Food

    “Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai

  • Janji Setia    Percobaan

    “Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia

  • Janji Setia    Tahu Bulat

    Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni

  • Janji Setia    Dompet dan Celana

    Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a

  • Janji Setia    Temperamental

    Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan

  • Janji Setia    Lempar Bunga

    “Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius

  • Janji Setia    Jimat Vampir

    Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun

DMCA.com Protection Status