Nuwa menarik tali kekang kudanya. Ia memperhatikan jejak ban mobil yang tercetak jelas baik di jalanan aspal atau pasir. Lebih dari dua ia perkirakan dan jejak itu tidak melewati kota mati. Dicoba oleh Nuwa memang belum tentu berhasil, tidak dicoba tidak akan tahu. “Kai, ikuti jejak ban mobil itu. Cepat, aku tak mau kehilangan santapan segarku hari ini.” Nuwa memacu kudanya lebih cepat. Terus, terus, terus Nuwa maju ditemani angin Negeri Syam yang mengibarkan khimarnya. Rasa lapar dan haus hanya Nuwa kendalikan dengan bekal air minum seadanya. Daya tahan tubuhnya harus kuat hari ini. Sekuat tekadnya yang mengalahkan baja. Derap langkah kaki kuda itu berhasil menarik perhatian sebagian tentara Negeri Syam yang tengah berperang dengan tentara Balrus. Jelas mereka mengenali siapa perempuan gila yang berani menerobos peperangan seorang diri tanpa persiapan. Mereka ingin menghalangi tapi tidak bisa karena sedang sibuk juga. Alhasil yang sempat memberikan laporan mereka pada Dayyan yang
“Akhirnya kau menunjukkan wajah aslimu. Cantik, cocok jadi pelacur sebenrnya. Ambilkan kotak pedangku di jeep. Aku membawanya jauh-jauh dari Xin Hua karena sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya denganmu. Berdiri Nuwa. Jangan berlutut, karena hanya dengan berdiri kau bisa melawanku.” Tentara lelaki yang menahan tubuh Nuwa melepaskan pegangan mereka. Dua orang perempuan yang kadar gilanya sama saling berhadap-hadapan. Kotak pedang telah sampai dan Xia He membukanya. Ada tujuh jenis senjata tajam yang ia bawa. “Anggap saja kita ada di zaman dahulu. Aku dewa perang dan kau budak yang kabur. Buka rompi anti pelurumu. Aku juga sama,” ucap Xia He. “Ada banyak budak yang membunuh tuannya di zaman dahulu. Anggap saja itu aku. Baik, akan aku buka.” Kini keduanya tanpa pelindung sama sekali. “Silakan pilih duluan, Nuwa, kau mendapatkan kehormatan dariku.” Xia He mempersilakan lawannya memilih satu di antara tujuh pedang. Wanita muslim Suku Mui itu melihat dan memilih, ia men
Dayyan menghentikan jeep yang berjalan di belakangnya. Ia meminta diantar ke tenda medis terdekat sambil tetap membawa tubuh lemah Nuwa dalam genggaman tangannya. Mobil berjalan bak orang kesetanan, menembus apa saja yang ada di depan mata karena denyut nadi Nuwa semakin melemah. Ada sarana medis di bangun tak jauh dari lokasi perang. Banyak yang terluka di sana. “Dokter, tolong, ini darurat,” pinta Dayyan pada siapa saja yang mendengarnya. Tak ada yang peduli, lelaki bermata abu-abu itu kemudian menarik paksa dokter pria yang lewat di depannya. “Tolong dia, aku mohon,” pinta Dayyan. “Tapi aku ada pasien yang juga kena luka tembak.” “Tolong!” Dayyan meremas bahu dokter itu cukup kuat. Situasi sangat kacau balau ketika lebih banyak pasien daripada petugas medis. Nuwa kemudian diletakkan diatas pembaringan mana saja yang ditemukan. Dokter memeriksa detak jantung dan denyut nadi kemudian memasang alat bantu pernapasan dan mengambil tindakan. “Kau suaminya? Kenapa istrimu kau biark
“Hira, tolonglah. Ini situasi genting.” “Dan sejak kapan kalian berdua menikah? Dua hari lalu kau pergi perang kau masih duda, pulang-pulang sudah menjadi suami orang. Mau aku adukan pada ibu?” “Jangan. Tolong, mengertilah situasi tadi serba terdesak. Aku terpaksa melakukannya.” Dayyan menyugar rambutnya, bak orang frustrasi. “Melakukan apa?” tanya Hira. “Menggunting semua bajunya yang berlumuran darah dan mengganti dengan yang bersih.” “Dayyan, padahal aku seharusnya tidak perlu tahu hal itu, tapi kau malah memberitahunya sendiri. Kau panik, kau lelah, istirahatlah. Aku masih banyak pekerjaan. Soal pernikahan main-mainmu dengan Nuwa kita bahas saat aku sudah istirahat. Percayalah aku menganggap masalah ini serius. Aku tidak segan-segan mengadukan ini pada Ibu.” Hira meninggalkan saudara kembarnya yang mematung di lorong rumah sakit. Dayyan terpaku, situasi yang serba sulit tadi membuatnya berada dalam masalah besar. Kebohongan yang luar biasa. Pernikahan tidak boleh dibuat baha
Dayyan, Hira, dua orang saksi dan satu orang hakim yang ditunjuk sebagai wali dari Nuwa karena wanita Suku Mui itu tiada punya kerabat lagi, berkumpul di kantor catatan pernikahan. Ya, secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun, lelaki bermata abu-abu itu memenuhi tanggung jawabnya secara utuh. Adapun Maira, Gu, dan semua keluarga sudah diberi tahu bagaiamana keadaan Nuwa dan pernikahan yang terkesan mendadak itu tanpa harus mengumbar aib apa yang dilakukan oleh ayahnya Bhani. Cukup dua saudara kembar itu saja yang tahu. Sah sudah. Nuwa tak lagi menjanda, proses pun tak lama karena tidak ada pesta pernikahan sama sekali. Dayyan pun tak lagi menduda. Semua catatan sipil akan diurus nanti. Soal mahar karena keadaan terdesak, Dayyan meminjam cincin emas milik Hira karena ia lupa harus ada mas kawin sebagai syarat sah pernikahan. “Hutang kau dengan aku.” Hira menyerahkan cincin emasnya.“Iya, nanti aku ganti, tenanglah. Kau memang kakak yang baik.” Dayyan membersihkan cincin itu
“Iya, akan aku coba.” Dayyan kini hanya berdua saja dengan istri barunya. Terkadang takdir memang sangat lucu untuk dijalani. Namun, tubuh manusia yang lemah dan fana tak akan mampu melawan. Hanya mampu menjalani dengan penuh keridhoan agar terasa lapang di hati. Baik itu takdir tentang jodoh, kehidupan, atau kematian. Baik Nuwa ataupun Dayyan sejatinya sama-sama kehilangan yang teramat sangat. Bedanya Dayyan tak terlalu terlihat sedih karena wajahnya yang cenderung datar tanpa ekspresi apa pun. Jika Nuwa masih belum sepenuhnya menerima takdir kehilangan Kai dari cara ia menolak lamaran para pria berulang kali. Sampai-sampai Nuwa sendiri merasa bosan ditanyakan perihal itu-itu saja. Kini dua orang yang sempat kehilangan itu telah terikat bersama. Waktu yang dilewati Dayyan selama menjaga Nuwa tak terasa sudah dua minggu saja. Setiap pagi ia akan mengunjungi istrinya setelah menitipkan Bhira—putrinya yang masih kecil pada neneknya. Pernah ia bawa Bhani untuk menjenguk guru sekaligus
“Kai, aku hampir tak percaya kalau rumah ini milik kita. Bukannya rumah kita dulu kecil dan buruk sekali ya.” Nuwa memegang erat tangan suaminya. Iya, saat dia baru membuka mata dan disambut oleh uluran tangan Kai, lelaki itu mengajaknya berjalan kaki menuju satu rumah baru yang sangat besar.“Di sini semuanya tersedia, Nuwa,” jawab Kai. “Di sini itu maksudmu di mana? Bukannya kita sekarang ada di desa?” “Nuwa, kau sudah lupa kalau aku sudah mati?” Lelaki itu melirik istrinya. “Aku tidak lupa. Tapi aku juga ingat kalau aku sudah mati, Kai. Artinya sekarang kita sudah bersama dan tidak akan terpisahkan lagi.” “Kau belum mati, Nuwa.” “Tolong jangan suruh aku kembali, Kai. Aku di sana kesepian, tidak ada teman, tidak ada tempat untuk meminta kasih sayang. Aku pantang mengemis cinta dari orang. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan bertanya apa-apa lagi. Cukup biarkan saja aku tinggal di sini bersamamu. Itu sudah jauh dari cukup. Pun anak kita akan lahir sebentar lagi.” “Iya, untuk s
“Eh, Dayyan, mata Nuwa, mata Nuwa terbuka.” Maira agak panik dan tak bisa menahan diri. Dayyan lekas berlari dan benar mata Nuwa berkedip beberapa kali. Lelaki itu menekan bel yang ada di dinding. Tak butuh waktu lama dua orang perawat kemudian datang. Mereka yang melihat pasien sadar lekas memanggil dua orang dokter yang menangani Nuwa.“Kalian bisa keluar dulu, ya, biar kami tangani dia terlebih dahulu,” pinta dokter pada Maira dan Dayyan. Dua kakak adik itu keluar dengan harap-harap cemas.Dokter yang menangani Nuwa melihat keadaan pasien. Mata Nuwa tertutup lagi. Dilakukan beberapa pemeriksaan bahkan menguji rangsangan pada kulit wanita Suku Mui itu, nyatanya hasil masih sama. Namun, gerakan pernapasan Nuwa sudah jauh lebih baik daripada biasanya. Salah satu dokter menguji dengan membuka alat bantu pernapasan yang menggunakan tutup mulut. Ketika dibuka Nuwa tak lagi sesak napas. Sekarang wanita itu menggunakan alat bantu napas yang sederhana saja. “Bagaimana keadaan Nuwa, Dokte