Dua orang itu melayang dan terjatuh di atas atap mobil orang. Kendaraan tersebut penyok, dan dua perempuan yang sama gilanya meringis sesaat, bagian kanan tangan dan kaki nyeri luar biasa, bahkan tergores pecahan kaca. Lili meraih belati di pinggang dengan tangan kirinya yang masih baik. Ia hampir sedikit lagi menikam Nuwa. Namun, wanita bermata besar itu menendangnya terlebih dahulu hingga Lili terlempar dari atas mobil. Kesempatan itu digunakan Lili untuk melarikan diri walau tertatih. Kaki yang tergores kaca terasa sakit dibawa bergerak. “Pengecut, kalian selalu saja ingin melarikan diri.” Nuwa turun dari atap mobil yang remuk. Ia ingin menyusul tapi kakinya juga sama sakitnya walau tak tergores. Belati Lili yang tadi terlempar Nuwa raih. Saat itu juga ia lemparkan ke punggung lawannya yang berhenti sejenak, tetapi lemparan belati itu meleset. Lili menoleh ke arah belakang, matanya terbelalak ketika beberapa polisi di belakang Nuwa mengarahkan senapan kepadanya.Jatuh harga diri
Fani telah kembali ke rumahnya. Namun, di sana ada pemeriksaan dan dia beserta satu keluarga telah ditanyai mendetail semua yang ia tahu. Yang Fani dengar dari tim penyidik dua orang penyusup yang menerobos masuk ke dalam rumahnya telah mati. Keduanya kena tembak, tapi yang satu lagi sempat memasang bom di tubuhnya, hingga mengakibatkan ledakan skala kecil. Meski tidak ada korban jiwa tapi beberapa bangunan dan mobil terbakar. Nuwa yang paling dekat dengan Lili pun masih tidak sadarkan diri sampai sekarang. Untuk sementara waktu pula kursus diliburkan sampai keadaan dinyatakan stabil dan tenang. Sebab bisa saja yang ini mati tapi yang satu lagi tumbuh.“Tuan, tunggu, tapi aku menemukan ini di dekat mereka tidur tadi malam. Aku rasa ini mungkin berguna untukmu.” Fani menyerahkan temuan flash disk dan catatan milik Lili yang terjatuh dan mereka tidak sadar. Catatan itu diserahkan oleh polisi pada Fahmi dan Maira juga melihatnya. “Bukan tulisan latin, siapa yang biasa membacanya?” tan
“Dia tidak ingat kalau masuk rumah sakit karena imbas dari ledakan bom bunuh diri di pinggir jalan, dan maaf sepertinya dia tidak ingat denganmu, Tuan. Saat kami sebutkan namamu dia bertanya kau ini siapa? Kami hanya menyebutkan kau penanggung jawabnya, dan dia mengucapkan terima kasih padamu sebelum pulang.” Degh! Agak sedikit berdetak kuat jantung Dayyan dan berdesir darahnya ketika tentang dirinya dilupakan oleh Nuwa. “Apakah buruk ketika sebagian ingatannya hilang?” “Kita tidak tahu pasti. Kita hanya tahu setelah dia menjalani hidup beberapa hari ke depan.” “Apakah hanya aku saja yang dilupakan olehnya?” “Itu juga kami tidak tahu pasti, tadi dia menyebutkan suami dan teman-temannya dan sudah berapa lama tinggal di sini. Itu saja. Oh, iya, kalau boleh tahu, Tuan ini siapanya? Karena tadi nama suaminya lain yang disebutkan dan katanya sudah meninggal.”“Ehm, kakakku temannya, syukron atas penjelasannya, Dokter.” Dayyan meninggalkan ruangan tersebut. Ia menghela napas panjang ke
Bagian 56 Sopan Santun Maira datang ke rumah Nuwa sambil mengantar tiga serangkai latihan. Nuwa sudah benar-benar pulih kecuali tentang ingatan siapa Dayyan, dan benar ia tak pernah datang lagi ke tempat kursus. Memori tentang tempat itu hanya tersimpan sedikit saja. Anehnya dia tidak pernah lupa tentang teman-temannya. Itu yang membuat Nuwa bertanya-tanya, mengapa bisa sampai demikian.“Terima kasih, Nuwa, dan ya bahasa arabmu sudah sangat membaik sekarang. Tidak seperti dulu lagi.” Maira melihat tulisan tangan Nuwa yang rapi dan susunan katanya yang hanya tinggal perlu diasah setiap hari saja. “Benarkah? Terus aku bagaimana bisa jadi bertambah baik, ya, padahal aku dulu di desa paling malas belajar bahasa Arab.” “Kau sudah lupa dengan orangnya, jadi akan buang-buang waktu saja kalau aku cerita. Sudahlah, jalani saja hidupmu. Jangan ingat-ingat masa lalu, ya. Jazakumullah, Nuwa, ini sangat berarti bagi kami.” Maira meninggalkan rumah Nuwa sembari membawa catatan penting peningga
“Lihat, wajah Syekh Dayyan langsung bingung melihat Nuwa ramah padanya. Rasanya lebih baik kalau mereka baku hantam saja berdua, lain perasaanku jadinya.” Fani sampai merinding melihat temannya berubah pasca lupa ingatan. “Dengarkan aku, sampai mereka berdua menikah, suatu hari nanti, aku potong unta peliharaanku,” ucap Anjali. “Kau yakin?” Padma memastikan. Anjali mengangguk. Tiga orang itu masih saling berprasangka atas apa yang terjadi di antara Dayyan dan Nuwa. Padahal memang tidak ada apa-apa. Hanya kisah masa lalu yang sangat menyakitkan. “Terima kasih atas kehadirannya selama enam bulan. Lebih dan kurangnya sebagai seorang pengajar dan merangkap penyelanggara maafkan jika kami banyak berbuat salah. Silakan mengulang belajar kembali apabila dirasa kemampuan berbahasa Arab belum bagus. Kelas selalu terbuka untuk semuanya.” Dayyan menutup enam bulan kebersamaan yang sangat luar biasa di kelas itu. Lelaki bermata abu-abu tersebut mempersilakan semua siswi keluar. Jeda satu min
“Sebenarnya aku kasihan dengan syeikh, dia susah payah membawamu ke rumah sakit dan kabarnya sampai menjadi penanggung jawab sampai kau sembuh. Eh, tapi kau malah lupa dengannya. Hatinya pasti ada sedikit luka. Bagaimana, ya, bilangnya, rasanya syeikh itu menyimpan perasan denganmu, Nuwa. Ini tebakanku saja,” ucap Fani. Dia yang paling perasan dengan perubahan Dayyan. “Aku juga berpikir begitu.” Anjali tak mau kalah. “Aku juga. Orang yang terlalu sering ribut lama-lama jadi kepikiran terus di dalam hatinya, jadi tanpa sadar cinta di dalam hatinya tumbuh. Batasan antara benci dan cinta itu, kan, tipis.” Asumsi Padma. “Eh, jangan, marah istri dan anaknya nanti. Lagi pula aku tak pernah mau masuk dalam rumah tangga orang. Aku sudah terbiasa menjadi satu-satunya dalam hidup Kai dulu, sampai maut yang memisahkan kami.” “Hei, kau ini, syeikh dudalaaah, dudaaa. Itu pun kau lupa. Parah kawan kita ini.” Fani mulai kesal. “Syeikh Dayyan, duda?” Nuwa lupa sekali. “Iya, istrinya, kan, menin
Untuk mengisi waktu karena tak mau lagi mengambil kelas bahasa Arab. Nuwa mengikuti pendidikan kilat latihan menembak yang diadakan oleh pihak kepolisian. Diperbolehkan memang bagi non militer atau polisi untuk memiliki senjata api tentu dengan syarat yang sangat ketat luar biasa. Tujuannya agar tidak terjadi penyalahgunaan asal-asalan menyerang orang atas masalah kecil. Namun, berkat rekomendasi dari Maira wanita Suku Mui itu bisa juga mengantongi senapan laras pendek.Berubah pikiran Nuwa, dari yang tak ingin mengenal senjata api jadi harus menguasainya. Beberapa kali ia menghadapi mata-mata yang datang semua menyerangnya dengan pistol. Untungnya dia menggunakan rompi anti peluru. Entah sampai kapan hidupnya akan seperti itu terus. Hal demikian menjadi salah satu alasan lagi baginya untuk memutuskan tidak mau menikah lagi. Karena orang-orang yang ada di sekitarnya akan bahaya. Bahkan Nuwa menolak hanya sekadar bertemu dengan tiga teman karibnya. Wanita itu memang pemberani, tapi
Naima sedang mempersiapkan seragam untuk Sultan. Malam itu suaminya mendapatkan panggilan mendadak. Sultan menggantikan rekannya yang sakit dan tidak bisa hadir. Berdegup kencang jantung Naima. Akhir-akhir ini tepatnya sejak dua tahun lalu Sultan lebih sering menghadapi pekerjaan berbahaya. “Andai Sin dan San masih ada bersamaku, pasti aku sudah meminta mereka menemanimu,” ucap Naima tanpa mendapatkan respon apa pun dari Sultan. “Hati-hati di jalan, sebisa mungkin pulang dengan selamat seperti saat kau pergi. Kami berlima menunggumu di rumah.” Naima memberikan rompi anti peluru untuk suaminya. Sultan masih diam saja. Lelaki yang masih betah dengan gaya rambut panjang dan diikat rapi itu membuka kotak khusus yang hanya ia yang tahu kode sandinya. Di sana ia menyimpan peralatan untuk menjinakkan bom yang memang tidak boleh orang biasa tanpa keahlian memegangnya. “Aku pergi dulu, Assalammualaikum.” Sultan berpamitan hanya pada istrinya saja, lelak itu mengecup kening dan pipi Naima.
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun