Tetap waspada, saluran komunikasi harus tetap hidup dan jangan sampai senjata api jauh dari jangkauan kalian. Adalah suara yang didengar oleh Nuwa melalui alat yang ia pasang di telinganya. Jeep yang ikut pergi hari ini dalam sebuah misi membongkar markas mata-mata ialah sebanyak empat. Dua orang pemasang dan penjinak bom yaitu Sultan dan satu tentara yang lain. “Astaghfirullah,” gumam Nuwa perlahan. Sampai di tempat tujuan yang berupa gedung-gedung lama yang telah runtuh dan tak terpakai lagi, tim telah dibagi dan Nuwa membersamai Sultan.“Bisa emosi aku lama-lama kalau berjalan bersama dia. Mana kupingnya tidak berfungsi lagi.” Nuwa menarik napas panjang. Nuwa tak punya pilihan lain, mundur sudah telanjur maju. Maju pun moodnya amburadul. Namun, sejak kapan orang perang bergantung mood? Pilihannya yaitu tetap maju tak gentar. “Aku maju duluan,” ucap salah satu tentara ketika ia mengawasi gedung-gedung kosong itu dengan senjata tajam. Nuwa mengikuti dari belakang, wanita itu mela
“Cukup fokus pada remote ini, mengerti?” “Iya, baik. Ya Allah, kalau memang ada bom besar lagi, segala ingatanku yang hilang janganlah kembali lagi kalau memang menyakitkan. Biarkan dia hilang selamanya.” Doa yang dipanjatkan Nuwa ketika baku tembak terus terjadi. “Sekarang, Nuwa!” perintah Sultan ketika ia sudah mengambil jarak tempuh yang cukup. Jemari Nuwa menekan tombol merah yang ada di remote itu. Tiga, dua, satu. Duar! Bom di dalam gedung itu meledak sangat dahsyat dan bayangan apinya tergambar jelas di mata Nuwa. Betapa dahsyat apabila meledak di pemukiman umum. Mobil mata-mata Xin Hua terlempar dan berguling-guling kemudian meledak tak jauh dari jeep yang dikendarai Sultan. Nyaris sedikit lagi mereka terkena bagian mobil yang terlempar jauh. Nuwa menarik napas panjang berkali-kali. Dia biasanya menghadapi mata-mata Xin Hua dengan mode senyap dan satu lawan sekian. Ternyata di lapangan jauh lebih mengerikan dari yang ia hadapi. Sampai berdegup kencang jantung wanita itu.
Empat rombongan dalam satu jeep itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Meskipun mahir, mereka semua manusia biasa. Terutama Nuwa yang paling banyak mengeluarkan energi demi melindungi Sultan. Tangannya kesakitan pun kakinya, dan sudah dua hari mereka tidak kembali. Syukurnya tidak ada lagi yang mati di antara mereka. “Semakin lama aku hidup di dunia ini, semakin aku belajar tentang kesetiaan. Hanya karena setialah kita bisa saling menjaga satu sama lain. Kalau salah satu di antara kita ingkar, maka ikatan akan hancur dan tidak ada gunanya lagi kita bersama-sama,” ujar Nuwa sembari memandang langit malam. Entah kapan mereka akan pulang. Setelah istirahat beberapa jam lamanya mereka akan pergi lagi. Sultan melihat ponselnya, sudah mati kehabisan baterai. Ia ingin menghubungi Naima dan mengatakan mereka semua baik-baik saja. Namun, apalah daya semua ponsel tak berdaya lagi. Termasuk juga ponsel Nuwa sudah mati padahal ia sedang membaca pesan dari nomor tidak dikenal yang menanyak
“Aku berhenti di sini, kalian jalanlah duluan,” ucap salah satu rekan Sultan. “Kenapa?” tanya Nuwa. “Aku berjaga dan mengawasi tempat ini. Apa pun yang terjadi kalian jangan menoleh ke belakang dan jangan datang menolong walaupun aku mati. Ukhti Nuwa, kawal Paman Sultan sampai di tempat tujuan. Kau yang paling hebat di antara kami.” Tentara itu berhenti di satu tempat. Nuwa tak punya pilihan selain jalan terus. Terdengar suara rentetan peluru ditembakkan. Ada beberapa yang menjerit. Nuwa ingin menolong, tapi ia ingat pula dengan pesan rekannya. Sultan melemparkan tali dengan pengait ke atas gedung yang kacanya pecah. Dia bertanya apa Nuwa sanggup naik, dan wanita itu menjawab bisa. Lekas ketiganya memanjat gedung dan malangnya salah satu rekan Sultan tertembak di bagian pinggang. Dia dibaringkan di lantai oleh Nuwa. Keberadaan mereka sudah ketahuan. “Pergilah. Semoga kalian selamat.” Dengan sisa daya ponsel yang ada lelaki yang terluka itu mengirim pesan pada seseorang di wilayah
Pagi-pagi sekali Kai membangunkan Nuwa yang masih terlelap. Hari ini Kai berencana untuk membentuk ketahanan tubuh Nuwa dalam membawa beban jadi berkali-kali lipat. Untuk apa? Kai hanya menuruti firasatnya sendiri. Kelak Nuwa akan menghadapi beratnya beban di pundaknya seorang diri. Sebab manusia tak boleh terlalu berharap pada manusia lain. Itu yang dijadikan pedoman oleh Kai. Bisa saja dia mati terlebih dahulu.“Masih gelap, Kai, aku masih bisa tidur.” Nuwa enggan untuk bangun. “Justru karena masih gelap, nanti siang kita tak bisa latihan. Kuda-kuda Tuan Wong harus dimandikan semua.” Kai mengangkat tubuh Nuwa ke tempat cuci muka. Dua orang Suku Mui itu bersiap. Saat di luar rumah Nuwa terperangah melihat ada beberapa karung yang berisikan pasir. Ia coba angkat dan berat sekali melebihi bobot tubuhnya. “Gunanya untuk apa?” tanya Nuwa. “Untuk latihan angkat beban,” jawab Kai. “Beban hidup kita sudah banyak, Kai. Kenapa harus ditambah lagi?” “Karena kita tak pernah tahu apa yang
Nuwa menarik pelatuknya berkali-kali. “Kosong, hanya untuk gaya-gayaan saja, kupikir kau mata-mata juga tadi.” Nuwa menurunkan Sultan. Dayyan melihat betis yang terkena tembakan. Ia keluarkan dari kotak P3K peralatan medis sederhana. Tak lupa pula memanggil saudara kembarnya untuk ditanyakan ini dan itu. Dayyan menutup ponselnya. Tadinya dia ingin mengeluakan peluru di betis Sultan. Sebab timah panas itu terlihat jelas. Namun, ada resiko cacat dan cedera serta kerusakan jaringan tubuh apabila Dayyan salah mengambil tindakan. Solusi yang tersisa yaitu membawa Sultan kembali secepatnya untuk nanti kakinya dibedah oleh Hira. “Kita kembali, masuk ke jeep,” pinta Dayyan pada Nuwa. Lelaki itu membantu pamannya masuk ke dalam mobil. Dayyan memberikan air mineral pada Nuwa. Wanita itu menenggaknya sampai habis. Haus dan lapar adalah hal yang menyiksa dirinya ditambah beban yang berat di atas punggung. Dayyan juga memberikan sebatang cokelat dan sedikit roti yang bisa dibawa. Tak banyak p
Nuwa terbangun dan mendapati dirinya tertidur dalam jeep Dayyan berselimutkan kain entah milik siapa. Wanita Suku Mui itu bangun dan keluar dari sana. Perbatasan agak sepi dan orang-orangnya tak banyak di luar pos jaga. Mungkin sedang diskusi masalah reaktor nuklir. Kesempatan itu digunakan oleh Nuwa untuk mencari Kai yang sudah ia ikat selama dua hari. Nuwa memberinya minum dan segera membawa tunggangannya kembali. Ia tinggalkan pos jaga tanpa pamit pada siapa pun. Sebab baginya ia kembali dalam keadaan hidup saja sudah lebih daripada cukup.Saat menunggang kuda dalam keadaan santai, ponsel Nuwa bergetar, panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tak ia angkat, dan tak lama setelah itu ada pesan. Ternyata dari Dayyan yang menanyakan mengapa ia kabur begitu saja. Padahal luka robek di tangannya belum dapat penanganan dari pihak medis. [Aku bisa ke rumah sakit sendiri, syukron.] Selalu saja jawaban Nuwa seperti itu. Ia masih bisa mengurus diri sendiri. Sampai di rumah, Nuwa mandi da
Xia He menghisap rokoknya dalam-dalam. Atas prestasinya yang terus-menerus membantai dan menekan angka yang katanya terorisme di dalam negeri, ia diberikan hadiah berupa pent house. Rumah fancy yang dibangun di atas pegunungan yang pernah diratakan seperti kata Nuwa dulu. Ya, mereka memang kebanyakan gila, alam saja ditantang apalagi umat muslim yang lemah di negeri mereka. “Sudah lama sekali sejak kematian Lili. Sudah saatnya aku membalaskan dendammu, Li Er. Kakak berjanji akan membawa kepala Nuwa di atas altarmu,” wanita bermata lebar itu membuang puntung rokoknya yang terakir. Ia menenggak arak kualitas terbaik sambil memejamkan mata. Tak lama setelah itu bawahannya datang membawa mantel bulu kesukaan Xia He. “Helikopter sudah datang?” tanya mayor keji itu. “Belum, Nona besar. Sebentar lagi,” jawab bawahan tersebut. “Dua orang laki-laki tangguh yang aku minta, juga harus ikut. Aku harus menyelesaikan urusan dengan Nuwa baru bisa meledakkan reaktor nuklir baik diam-diam atau ter
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun