Empat rombongan dalam satu jeep itu memutuskan untuk beristirahat sejenak. Meskipun mahir, mereka semua manusia biasa. Terutama Nuwa yang paling banyak mengeluarkan energi demi melindungi Sultan. Tangannya kesakitan pun kakinya, dan sudah dua hari mereka tidak kembali. Syukurnya tidak ada lagi yang mati di antara mereka. “Semakin lama aku hidup di dunia ini, semakin aku belajar tentang kesetiaan. Hanya karena setialah kita bisa saling menjaga satu sama lain. Kalau salah satu di antara kita ingkar, maka ikatan akan hancur dan tidak ada gunanya lagi kita bersama-sama,” ujar Nuwa sembari memandang langit malam. Entah kapan mereka akan pulang. Setelah istirahat beberapa jam lamanya mereka akan pergi lagi. Sultan melihat ponselnya, sudah mati kehabisan baterai. Ia ingin menghubungi Naima dan mengatakan mereka semua baik-baik saja. Namun, apalah daya semua ponsel tak berdaya lagi. Termasuk juga ponsel Nuwa sudah mati padahal ia sedang membaca pesan dari nomor tidak dikenal yang menanyak
“Aku berhenti di sini, kalian jalanlah duluan,” ucap salah satu rekan Sultan. “Kenapa?” tanya Nuwa. “Aku berjaga dan mengawasi tempat ini. Apa pun yang terjadi kalian jangan menoleh ke belakang dan jangan datang menolong walaupun aku mati. Ukhti Nuwa, kawal Paman Sultan sampai di tempat tujuan. Kau yang paling hebat di antara kami.” Tentara itu berhenti di satu tempat. Nuwa tak punya pilihan selain jalan terus. Terdengar suara rentetan peluru ditembakkan. Ada beberapa yang menjerit. Nuwa ingin menolong, tapi ia ingat pula dengan pesan rekannya. Sultan melemparkan tali dengan pengait ke atas gedung yang kacanya pecah. Dia bertanya apa Nuwa sanggup naik, dan wanita itu menjawab bisa. Lekas ketiganya memanjat gedung dan malangnya salah satu rekan Sultan tertembak di bagian pinggang. Dia dibaringkan di lantai oleh Nuwa. Keberadaan mereka sudah ketahuan. “Pergilah. Semoga kalian selamat.” Dengan sisa daya ponsel yang ada lelaki yang terluka itu mengirim pesan pada seseorang di wilayah
Pagi-pagi sekali Kai membangunkan Nuwa yang masih terlelap. Hari ini Kai berencana untuk membentuk ketahanan tubuh Nuwa dalam membawa beban jadi berkali-kali lipat. Untuk apa? Kai hanya menuruti firasatnya sendiri. Kelak Nuwa akan menghadapi beratnya beban di pundaknya seorang diri. Sebab manusia tak boleh terlalu berharap pada manusia lain. Itu yang dijadikan pedoman oleh Kai. Bisa saja dia mati terlebih dahulu.“Masih gelap, Kai, aku masih bisa tidur.” Nuwa enggan untuk bangun. “Justru karena masih gelap, nanti siang kita tak bisa latihan. Kuda-kuda Tuan Wong harus dimandikan semua.” Kai mengangkat tubuh Nuwa ke tempat cuci muka. Dua orang Suku Mui itu bersiap. Saat di luar rumah Nuwa terperangah melihat ada beberapa karung yang berisikan pasir. Ia coba angkat dan berat sekali melebihi bobot tubuhnya. “Gunanya untuk apa?” tanya Nuwa. “Untuk latihan angkat beban,” jawab Kai. “Beban hidup kita sudah banyak, Kai. Kenapa harus ditambah lagi?” “Karena kita tak pernah tahu apa yang
Nuwa menarik pelatuknya berkali-kali. “Kosong, hanya untuk gaya-gayaan saja, kupikir kau mata-mata juga tadi.” Nuwa menurunkan Sultan. Dayyan melihat betis yang terkena tembakan. Ia keluarkan dari kotak P3K peralatan medis sederhana. Tak lupa pula memanggil saudara kembarnya untuk ditanyakan ini dan itu. Dayyan menutup ponselnya. Tadinya dia ingin mengeluakan peluru di betis Sultan. Sebab timah panas itu terlihat jelas. Namun, ada resiko cacat dan cedera serta kerusakan jaringan tubuh apabila Dayyan salah mengambil tindakan. Solusi yang tersisa yaitu membawa Sultan kembali secepatnya untuk nanti kakinya dibedah oleh Hira. “Kita kembali, masuk ke jeep,” pinta Dayyan pada Nuwa. Lelaki itu membantu pamannya masuk ke dalam mobil. Dayyan memberikan air mineral pada Nuwa. Wanita itu menenggaknya sampai habis. Haus dan lapar adalah hal yang menyiksa dirinya ditambah beban yang berat di atas punggung. Dayyan juga memberikan sebatang cokelat dan sedikit roti yang bisa dibawa. Tak banyak p
Nuwa terbangun dan mendapati dirinya tertidur dalam jeep Dayyan berselimutkan kain entah milik siapa. Wanita Suku Mui itu bangun dan keluar dari sana. Perbatasan agak sepi dan orang-orangnya tak banyak di luar pos jaga. Mungkin sedang diskusi masalah reaktor nuklir. Kesempatan itu digunakan oleh Nuwa untuk mencari Kai yang sudah ia ikat selama dua hari. Nuwa memberinya minum dan segera membawa tunggangannya kembali. Ia tinggalkan pos jaga tanpa pamit pada siapa pun. Sebab baginya ia kembali dalam keadaan hidup saja sudah lebih daripada cukup.Saat menunggang kuda dalam keadaan santai, ponsel Nuwa bergetar, panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tak ia angkat, dan tak lama setelah itu ada pesan. Ternyata dari Dayyan yang menanyakan mengapa ia kabur begitu saja. Padahal luka robek di tangannya belum dapat penanganan dari pihak medis. [Aku bisa ke rumah sakit sendiri, syukron.] Selalu saja jawaban Nuwa seperti itu. Ia masih bisa mengurus diri sendiri. Sampai di rumah, Nuwa mandi da
Xia He menghisap rokoknya dalam-dalam. Atas prestasinya yang terus-menerus membantai dan menekan angka yang katanya terorisme di dalam negeri, ia diberikan hadiah berupa pent house. Rumah fancy yang dibangun di atas pegunungan yang pernah diratakan seperti kata Nuwa dulu. Ya, mereka memang kebanyakan gila, alam saja ditantang apalagi umat muslim yang lemah di negeri mereka. “Sudah lama sekali sejak kematian Lili. Sudah saatnya aku membalaskan dendammu, Li Er. Kakak berjanji akan membawa kepala Nuwa di atas altarmu,” wanita bermata lebar itu membuang puntung rokoknya yang terakir. Ia menenggak arak kualitas terbaik sambil memejamkan mata. Tak lama setelah itu bawahannya datang membawa mantel bulu kesukaan Xia He. “Helikopter sudah datang?” tanya mayor keji itu. “Belum, Nona besar. Sebentar lagi,” jawab bawahan tersebut. “Dua orang laki-laki tangguh yang aku minta, juga harus ikut. Aku harus menyelesaikan urusan dengan Nuwa baru bisa meledakkan reaktor nuklir baik diam-diam atau ter
Maira bangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Ia melirik ke samping, anak ketiganya masih terlelap, pun dengan Fahmi. Keduanya sama-sama letih menjalankan tugas sebagai polisi dan orang tua. Putri pertama Ali itu ke kamar mandi, ia mencuci muka, berwudhu dan berniat sholat malam. Namun, ia muntah berkali-kali sebab rasa mual yang tiba-tiba saja muncul. Maira mengambil test pack yang sudah ia simpan berhari-hari lamanya. Awalnya ia ragu, khawatirnya hanya mual karena kelelahan saja. Namun, diiringi dengan terlambat tamu bulanan, daripada salah-salah lebih baik ia cari tahu saja sekarang. Dan benar, dua garis merah tertera di sana. Tak lama lagi ia akan memiliki anak keempat. Maira berjalan membuang bungkus test pack di tong sampah. Lalu ia teringat sesuatu ketika melintasi kalender hijriyah. Ia ambil catatan yang sudah diterjemahkan oleh Nuwa. Maira cocokkan dengan tanggal masehi yang ada di ponselnya. Hari ini seharusnya jadwal kedatangan Xia He menurut terjemahan Nuwa.
“Keluarlah, semua sudah aman,” ucap Fahmi ketika melihat Nuwa meringkuk di dalam taksi. Wanita Suku Mui itu melihat sekeliling. Ada banyak polisi yang menjaganya. “Tuan Fahmi, kenapa statusku tiba-tiba jadi tahanan kota? Apakah aku pernah berbuat jahat pada satu orang muslim pun di negeri ini?” tanya Nuwa ketika Fahmi berusaha menghindar darinya. Maira tidak ada, jika ada Maira yang akan ia cecar pertanyaan. “Itu sudah kesepakatan antara polisi dan tentara, jangan dipertanyakan lagi.” Fahmi menghindar, tapi susah, Nuwa mengekorinya. Ayah Farhan kemudian meminta dua polisi wanita untuk mengantar Nuwa pulang ke rumah. “Aku dulu pernah menyelamatkanmu sekali. Aku tidak meminta bayaran sedikitpun. Aku harap kau ingat hal itu.” Perkataan Nuwa barusan membuat langkah Fahmi terhenti. Iya tentu saja Fahmi akan ingat hal itu sampai mati. “Katakan apa alasan kalian menahanku di kota. Jangan dzolim kau, Tuan? Mana Kak Maira aku ingin bicara dengannya.” “Nuwa, kau ditahan demi kebaikanmu. Ant