Maira bangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Ia melirik ke samping, anak ketiganya masih terlelap, pun dengan Fahmi. Keduanya sama-sama letih menjalankan tugas sebagai polisi dan orang tua. Putri pertama Ali itu ke kamar mandi, ia mencuci muka, berwudhu dan berniat sholat malam. Namun, ia muntah berkali-kali sebab rasa mual yang tiba-tiba saja muncul. Maira mengambil test pack yang sudah ia simpan berhari-hari lamanya. Awalnya ia ragu, khawatirnya hanya mual karena kelelahan saja. Namun, diiringi dengan terlambat tamu bulanan, daripada salah-salah lebih baik ia cari tahu saja sekarang. Dan benar, dua garis merah tertera di sana. Tak lama lagi ia akan memiliki anak keempat. Maira berjalan membuang bungkus test pack di tong sampah. Lalu ia teringat sesuatu ketika melintasi kalender hijriyah. Ia ambil catatan yang sudah diterjemahkan oleh Nuwa. Maira cocokkan dengan tanggal masehi yang ada di ponselnya. Hari ini seharusnya jadwal kedatangan Xia He menurut terjemahan Nuwa.
“Keluarlah, semua sudah aman,” ucap Fahmi ketika melihat Nuwa meringkuk di dalam taksi. Wanita Suku Mui itu melihat sekeliling. Ada banyak polisi yang menjaganya. “Tuan Fahmi, kenapa statusku tiba-tiba jadi tahanan kota? Apakah aku pernah berbuat jahat pada satu orang muslim pun di negeri ini?” tanya Nuwa ketika Fahmi berusaha menghindar darinya. Maira tidak ada, jika ada Maira yang akan ia cecar pertanyaan. “Itu sudah kesepakatan antara polisi dan tentara, jangan dipertanyakan lagi.” Fahmi menghindar, tapi susah, Nuwa mengekorinya. Ayah Farhan kemudian meminta dua polisi wanita untuk mengantar Nuwa pulang ke rumah. “Aku dulu pernah menyelamatkanmu sekali. Aku tidak meminta bayaran sedikitpun. Aku harap kau ingat hal itu.” Perkataan Nuwa barusan membuat langkah Fahmi terhenti. Iya tentu saja Fahmi akan ingat hal itu sampai mati. “Katakan apa alasan kalian menahanku di kota. Jangan dzolim kau, Tuan? Mana Kak Maira aku ingin bicara dengannya.” “Nuwa, kau ditahan demi kebaikanmu. Ant
Seorang tentara penjaga berbicara menggunakan pengeras suara. Ia meminta Nuwa putar balik dan tak ikut campur lagi urusan peperangan sebab sudah ditangani oleh para lelaki termasuk pula Dayyan yang harus terjun langsung sebagai sniper guna mengamankan reaktor nuklir. Tanpa ada yang menduga, Nuwa mundur begitu saja. Ia membawa kudanya kembali dengan berlari kencang. Para tentara yang tersisa di perbatasan masih memandang siluet tubuh wanita di atas kuda itu. Benar saja, Nuwa kembali bahkan lari Kai jadi lebih kencang. “Jangan takut, kita bisa melewatinya.” Nuwa memegang tali kekang lebih kuat. Kai melompat sangat tinggi melewati barisan jeep dan pagar kawat berduri dan mendarat tanpa jatuh di atas pasir. Setelahnya Nuwa menoleh ke belakang dan pergi dari sana. Ia punya urusan penting yang harus diselesaikan. “Aku harus memberi tahu seseorang. Menangani satu perempuan sulit sekali. Kenapa dia tak mau diam di dalam rumah saja seperti yang lain.” Tentara yang tadi menghalangi Nuwa, me
Nuwa menarik tali kekang kudanya. Ia memperhatikan jejak ban mobil yang tercetak jelas baik di jalanan aspal atau pasir. Lebih dari dua ia perkirakan dan jejak itu tidak melewati kota mati. Dicoba oleh Nuwa memang belum tentu berhasil, tidak dicoba tidak akan tahu. “Kai, ikuti jejak ban mobil itu. Cepat, aku tak mau kehilangan santapan segarku hari ini.” Nuwa memacu kudanya lebih cepat. Terus, terus, terus Nuwa maju ditemani angin Negeri Syam yang mengibarkan khimarnya. Rasa lapar dan haus hanya Nuwa kendalikan dengan bekal air minum seadanya. Daya tahan tubuhnya harus kuat hari ini. Sekuat tekadnya yang mengalahkan baja. Derap langkah kaki kuda itu berhasil menarik perhatian sebagian tentara Negeri Syam yang tengah berperang dengan tentara Balrus. Jelas mereka mengenali siapa perempuan gila yang berani menerobos peperangan seorang diri tanpa persiapan. Mereka ingin menghalangi tapi tidak bisa karena sedang sibuk juga. Alhasil yang sempat memberikan laporan mereka pada Dayyan yang
“Akhirnya kau menunjukkan wajah aslimu. Cantik, cocok jadi pelacur sebenrnya. Ambilkan kotak pedangku di jeep. Aku membawanya jauh-jauh dari Xin Hua karena sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya denganmu. Berdiri Nuwa. Jangan berlutut, karena hanya dengan berdiri kau bisa melawanku.” Tentara lelaki yang menahan tubuh Nuwa melepaskan pegangan mereka. Dua orang perempuan yang kadar gilanya sama saling berhadap-hadapan. Kotak pedang telah sampai dan Xia He membukanya. Ada tujuh jenis senjata tajam yang ia bawa. “Anggap saja kita ada di zaman dahulu. Aku dewa perang dan kau budak yang kabur. Buka rompi anti pelurumu. Aku juga sama,” ucap Xia He. “Ada banyak budak yang membunuh tuannya di zaman dahulu. Anggap saja itu aku. Baik, akan aku buka.” Kini keduanya tanpa pelindung sama sekali. “Silakan pilih duluan, Nuwa, kau mendapatkan kehormatan dariku.” Xia He mempersilakan lawannya memilih satu di antara tujuh pedang. Wanita muslim Suku Mui itu melihat dan memilih, ia men
Dayyan menghentikan jeep yang berjalan di belakangnya. Ia meminta diantar ke tenda medis terdekat sambil tetap membawa tubuh lemah Nuwa dalam genggaman tangannya. Mobil berjalan bak orang kesetanan, menembus apa saja yang ada di depan mata karena denyut nadi Nuwa semakin melemah. Ada sarana medis di bangun tak jauh dari lokasi perang. Banyak yang terluka di sana. “Dokter, tolong, ini darurat,” pinta Dayyan pada siapa saja yang mendengarnya. Tak ada yang peduli, lelaki bermata abu-abu itu kemudian menarik paksa dokter pria yang lewat di depannya. “Tolong dia, aku mohon,” pinta Dayyan. “Tapi aku ada pasien yang juga kena luka tembak.” “Tolong!” Dayyan meremas bahu dokter itu cukup kuat. Situasi sangat kacau balau ketika lebih banyak pasien daripada petugas medis. Nuwa kemudian diletakkan diatas pembaringan mana saja yang ditemukan. Dokter memeriksa detak jantung dan denyut nadi kemudian memasang alat bantu pernapasan dan mengambil tindakan. “Kau suaminya? Kenapa istrimu kau biark
“Hira, tolonglah. Ini situasi genting.” “Dan sejak kapan kalian berdua menikah? Dua hari lalu kau pergi perang kau masih duda, pulang-pulang sudah menjadi suami orang. Mau aku adukan pada ibu?” “Jangan. Tolong, mengertilah situasi tadi serba terdesak. Aku terpaksa melakukannya.” Dayyan menyugar rambutnya, bak orang frustrasi. “Melakukan apa?” tanya Hira. “Menggunting semua bajunya yang berlumuran darah dan mengganti dengan yang bersih.” “Dayyan, padahal aku seharusnya tidak perlu tahu hal itu, tapi kau malah memberitahunya sendiri. Kau panik, kau lelah, istirahatlah. Aku masih banyak pekerjaan. Soal pernikahan main-mainmu dengan Nuwa kita bahas saat aku sudah istirahat. Percayalah aku menganggap masalah ini serius. Aku tidak segan-segan mengadukan ini pada Ibu.” Hira meninggalkan saudara kembarnya yang mematung di lorong rumah sakit. Dayyan terpaku, situasi yang serba sulit tadi membuatnya berada dalam masalah besar. Kebohongan yang luar biasa. Pernikahan tidak boleh dibuat baha
Dayyan, Hira, dua orang saksi dan satu orang hakim yang ditunjuk sebagai wali dari Nuwa karena wanita Suku Mui itu tiada punya kerabat lagi, berkumpul di kantor catatan pernikahan. Ya, secara sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun, lelaki bermata abu-abu itu memenuhi tanggung jawabnya secara utuh. Adapun Maira, Gu, dan semua keluarga sudah diberi tahu bagaiamana keadaan Nuwa dan pernikahan yang terkesan mendadak itu tanpa harus mengumbar aib apa yang dilakukan oleh ayahnya Bhani. Cukup dua saudara kembar itu saja yang tahu. Sah sudah. Nuwa tak lagi menjanda, proses pun tak lama karena tidak ada pesta pernikahan sama sekali. Dayyan pun tak lagi menduda. Semua catatan sipil akan diurus nanti. Soal mahar karena keadaan terdesak, Dayyan meminjam cincin emas milik Hira karena ia lupa harus ada mas kawin sebagai syarat sah pernikahan. “Hutang kau dengan aku.” Hira menyerahkan cincin emasnya.“Iya, nanti aku ganti, tenanglah. Kau memang kakak yang baik.” Dayyan membersihkan cincin itu