Fani telah kembali ke rumahnya. Namun, di sana ada pemeriksaan dan dia beserta satu keluarga telah ditanyai mendetail semua yang ia tahu. Yang Fani dengar dari tim penyidik dua orang penyusup yang menerobos masuk ke dalam rumahnya telah mati. Keduanya kena tembak, tapi yang satu lagi sempat memasang bom di tubuhnya, hingga mengakibatkan ledakan skala kecil. Meski tidak ada korban jiwa tapi beberapa bangunan dan mobil terbakar. Nuwa yang paling dekat dengan Lili pun masih tidak sadarkan diri sampai sekarang. Untuk sementara waktu pula kursus diliburkan sampai keadaan dinyatakan stabil dan tenang. Sebab bisa saja yang ini mati tapi yang satu lagi tumbuh.“Tuan, tunggu, tapi aku menemukan ini di dekat mereka tidur tadi malam. Aku rasa ini mungkin berguna untukmu.” Fani menyerahkan temuan flash disk dan catatan milik Lili yang terjatuh dan mereka tidak sadar. Catatan itu diserahkan oleh polisi pada Fahmi dan Maira juga melihatnya. “Bukan tulisan latin, siapa yang biasa membacanya?” tan
“Dia tidak ingat kalau masuk rumah sakit karena imbas dari ledakan bom bunuh diri di pinggir jalan, dan maaf sepertinya dia tidak ingat denganmu, Tuan. Saat kami sebutkan namamu dia bertanya kau ini siapa? Kami hanya menyebutkan kau penanggung jawabnya, dan dia mengucapkan terima kasih padamu sebelum pulang.” Degh! Agak sedikit berdetak kuat jantung Dayyan dan berdesir darahnya ketika tentang dirinya dilupakan oleh Nuwa. “Apakah buruk ketika sebagian ingatannya hilang?” “Kita tidak tahu pasti. Kita hanya tahu setelah dia menjalani hidup beberapa hari ke depan.” “Apakah hanya aku saja yang dilupakan olehnya?” “Itu juga kami tidak tahu pasti, tadi dia menyebutkan suami dan teman-temannya dan sudah berapa lama tinggal di sini. Itu saja. Oh, iya, kalau boleh tahu, Tuan ini siapanya? Karena tadi nama suaminya lain yang disebutkan dan katanya sudah meninggal.”“Ehm, kakakku temannya, syukron atas penjelasannya, Dokter.” Dayyan meninggalkan ruangan tersebut. Ia menghela napas panjang ke
Bagian 56 Sopan Santun Maira datang ke rumah Nuwa sambil mengantar tiga serangkai latihan. Nuwa sudah benar-benar pulih kecuali tentang ingatan siapa Dayyan, dan benar ia tak pernah datang lagi ke tempat kursus. Memori tentang tempat itu hanya tersimpan sedikit saja. Anehnya dia tidak pernah lupa tentang teman-temannya. Itu yang membuat Nuwa bertanya-tanya, mengapa bisa sampai demikian.“Terima kasih, Nuwa, dan ya bahasa arabmu sudah sangat membaik sekarang. Tidak seperti dulu lagi.” Maira melihat tulisan tangan Nuwa yang rapi dan susunan katanya yang hanya tinggal perlu diasah setiap hari saja. “Benarkah? Terus aku bagaimana bisa jadi bertambah baik, ya, padahal aku dulu di desa paling malas belajar bahasa Arab.” “Kau sudah lupa dengan orangnya, jadi akan buang-buang waktu saja kalau aku cerita. Sudahlah, jalani saja hidupmu. Jangan ingat-ingat masa lalu, ya. Jazakumullah, Nuwa, ini sangat berarti bagi kami.” Maira meninggalkan rumah Nuwa sembari membawa catatan penting peningga
“Lihat, wajah Syekh Dayyan langsung bingung melihat Nuwa ramah padanya. Rasanya lebih baik kalau mereka baku hantam saja berdua, lain perasaanku jadinya.” Fani sampai merinding melihat temannya berubah pasca lupa ingatan. “Dengarkan aku, sampai mereka berdua menikah, suatu hari nanti, aku potong unta peliharaanku,” ucap Anjali. “Kau yakin?” Padma memastikan. Anjali mengangguk. Tiga orang itu masih saling berprasangka atas apa yang terjadi di antara Dayyan dan Nuwa. Padahal memang tidak ada apa-apa. Hanya kisah masa lalu yang sangat menyakitkan. “Terima kasih atas kehadirannya selama enam bulan. Lebih dan kurangnya sebagai seorang pengajar dan merangkap penyelanggara maafkan jika kami banyak berbuat salah. Silakan mengulang belajar kembali apabila dirasa kemampuan berbahasa Arab belum bagus. Kelas selalu terbuka untuk semuanya.” Dayyan menutup enam bulan kebersamaan yang sangat luar biasa di kelas itu. Lelaki bermata abu-abu tersebut mempersilakan semua siswi keluar. Jeda satu min
“Sebenarnya aku kasihan dengan syeikh, dia susah payah membawamu ke rumah sakit dan kabarnya sampai menjadi penanggung jawab sampai kau sembuh. Eh, tapi kau malah lupa dengannya. Hatinya pasti ada sedikit luka. Bagaimana, ya, bilangnya, rasanya syeikh itu menyimpan perasan denganmu, Nuwa. Ini tebakanku saja,” ucap Fani. Dia yang paling perasan dengan perubahan Dayyan. “Aku juga berpikir begitu.” Anjali tak mau kalah. “Aku juga. Orang yang terlalu sering ribut lama-lama jadi kepikiran terus di dalam hatinya, jadi tanpa sadar cinta di dalam hatinya tumbuh. Batasan antara benci dan cinta itu, kan, tipis.” Asumsi Padma. “Eh, jangan, marah istri dan anaknya nanti. Lagi pula aku tak pernah mau masuk dalam rumah tangga orang. Aku sudah terbiasa menjadi satu-satunya dalam hidup Kai dulu, sampai maut yang memisahkan kami.” “Hei, kau ini, syeikh dudalaaah, dudaaa. Itu pun kau lupa. Parah kawan kita ini.” Fani mulai kesal. “Syeikh Dayyan, duda?” Nuwa lupa sekali. “Iya, istrinya, kan, menin
Untuk mengisi waktu karena tak mau lagi mengambil kelas bahasa Arab. Nuwa mengikuti pendidikan kilat latihan menembak yang diadakan oleh pihak kepolisian. Diperbolehkan memang bagi non militer atau polisi untuk memiliki senjata api tentu dengan syarat yang sangat ketat luar biasa. Tujuannya agar tidak terjadi penyalahgunaan asal-asalan menyerang orang atas masalah kecil. Namun, berkat rekomendasi dari Maira wanita Suku Mui itu bisa juga mengantongi senapan laras pendek.Berubah pikiran Nuwa, dari yang tak ingin mengenal senjata api jadi harus menguasainya. Beberapa kali ia menghadapi mata-mata yang datang semua menyerangnya dengan pistol. Untungnya dia menggunakan rompi anti peluru. Entah sampai kapan hidupnya akan seperti itu terus. Hal demikian menjadi salah satu alasan lagi baginya untuk memutuskan tidak mau menikah lagi. Karena orang-orang yang ada di sekitarnya akan bahaya. Bahkan Nuwa menolak hanya sekadar bertemu dengan tiga teman karibnya. Wanita itu memang pemberani, tapi
Naima sedang mempersiapkan seragam untuk Sultan. Malam itu suaminya mendapatkan panggilan mendadak. Sultan menggantikan rekannya yang sakit dan tidak bisa hadir. Berdegup kencang jantung Naima. Akhir-akhir ini tepatnya sejak dua tahun lalu Sultan lebih sering menghadapi pekerjaan berbahaya. “Andai Sin dan San masih ada bersamaku, pasti aku sudah meminta mereka menemanimu,” ucap Naima tanpa mendapatkan respon apa pun dari Sultan. “Hati-hati di jalan, sebisa mungkin pulang dengan selamat seperti saat kau pergi. Kami berlima menunggumu di rumah.” Naima memberikan rompi anti peluru untuk suaminya. Sultan masih diam saja. Lelaki yang masih betah dengan gaya rambut panjang dan diikat rapi itu membuka kotak khusus yang hanya ia yang tahu kode sandinya. Di sana ia menyimpan peralatan untuk menjinakkan bom yang memang tidak boleh orang biasa tanpa keahlian memegangnya. “Aku pergi dulu, Assalammualaikum.” Sultan berpamitan hanya pada istrinya saja, lelak itu mengecup kening dan pipi Naima.
Tetap waspada, saluran komunikasi harus tetap hidup dan jangan sampai senjata api jauh dari jangkauan kalian. Adalah suara yang didengar oleh Nuwa melalui alat yang ia pasang di telinganya. Jeep yang ikut pergi hari ini dalam sebuah misi membongkar markas mata-mata ialah sebanyak empat. Dua orang pemasang dan penjinak bom yaitu Sultan dan satu tentara yang lain. “Astaghfirullah,” gumam Nuwa perlahan. Sampai di tempat tujuan yang berupa gedung-gedung lama yang telah runtuh dan tak terpakai lagi, tim telah dibagi dan Nuwa membersamai Sultan.“Bisa emosi aku lama-lama kalau berjalan bersama dia. Mana kupingnya tidak berfungsi lagi.” Nuwa menarik napas panjang. Nuwa tak punya pilihan lain, mundur sudah telanjur maju. Maju pun moodnya amburadul. Namun, sejak kapan orang perang bergantung mood? Pilihannya yaitu tetap maju tak gentar. “Aku maju duluan,” ucap salah satu tentara ketika ia mengawasi gedung-gedung kosong itu dengan senjata tajam. Nuwa mengikuti dari belakang, wanita itu mela