Keesokan harinya, tepatnya pagi pertama di apartemen barunya, Trisha duduk meringkuk di sofa tunggal minimalis yang tebal dan empuk sembari menyeruput secangkir coklat hangat dan mengunyah sandwich tuna.
Diam-diam dia mengutuki kegilaan pesta pora semalam dari ruangan sebelah. Gara-gara mereka, pagi ini dia bangun kesiangan dengan kepala pusing berat. Dia belum begitu sepenuhnya terjaga seperti yang diharapkan untuk mulai membongkar barang-barangnya.
Mengembuskan napas kuat-kuat, Trisha memandang ke luar jendela ke arah lautan biru di kejauhan. Kapal-kapal besar dan kecil tampak seperti titik-titik semut putih yang merayap di permukaan laut. Tampak pula pelabuhan feri terminal Harbour Front yang luas dan megah, kapal pesiar terbesar yang masih berlabuh, juga Sentosa Island dengan Universal Studio dan berbagai wahananya yang menarik.
Dia menikmati momen kedamaian ini. Entah sudah berapa lama dia merasa kehilangan saat-saat seperti ini, ketika dia bisa menikmati kesendiriannya dengan bebas dari tekanan. Dia ingin tahu apakah dunia masih ada di luar ruangan ini. Dia ingin tahu apakah semua orang di luar sana masih ingat cara dia tertawa. Senyumnya sudah memudar. Sudah lama hancur.
Sudah berapa lama itu? Apakah sejak dia menerima makian kasar Arthur pertama kalinya? Sejak dia menerima seringai pahit pertama atau ketika pertama kali Arthur memukulnya? Arthur melakukan semua ini padanya. Dia memilih untuk melakukannya. Mungkin pria itu hancur atau frustrasi dan butuh pelampiasan, tetapi dia seharusnya masih punya pilihan untuk tidak melakukannya.
Bagaimanapun, itu tidak akan mengubah apa pun seandainya Trisha menyadari lebih awal. Dia tetap bertemu Arthur dan dibutakan oleh cinta, dan tidak peduli bagaimana cara Trisha memandangnya, pria itu tetap akan menyakitinya.
Itu bukan cinta. Itu sesuatu yang merusak, mengendalikan, dan menghancurkan. Jauh di alam bawah sadarnya, Trisha sangat menginginkannya sehingga tidak peduli seperti apa pun bentuknya.
Trisha menurunkan kakinya dari sofa dan berjalan ke bak cuci dapur untuk mencuci cangkirnya. Setelah menempatkan kembali cangkir yang bersih ke rak bawah, dia mengikat rambut hitam panjangnya menjadi sanggul cepol, seraya mengamati kekacauan di sekelilingnya.
“Bagaimana menurutmu, Rocky? Haruskah kita mulai di sini atau di ruang tamu?”
Rocky sedang meringkuk di salah satu sudut ruangan dekat kusen jendela. Saat ini dia menatap Trisha, dan kemudian seolah manggut-manggut ke arah ruang tamu.
"Oke, ruang tamu kalau begitu," sahut Trisha, menyadari bahwa dia hanya berbicara tiga kali sejak bangun pagi ini, dan setiap kata hanya diucapkannya pada seekor anjing. Ehem ...
Sekitar tiga puluh menit kemudian Rocky mulai tertidur pulas di sudut ruangan favoritnya dan Trisha sedang menyortir buku-buku sesuai warnanya ketika terdengar suara-suara gaduh di lorong. Tetangga mania!
Karena buru-buru berlari ke pintu, dia hampir terjungkal gara-gara tersandung sebuah kotak besar. Dia menempelkan mata ke lubang intip, tetapi hanya melihat pintu di seberang lorong. Dia merasa seperti manusia cabul dengan rasa ingin tahu yang tak terkendali. Namun dia tidak berusaha menghentikan dorongan kuatnya untuk mengintip.
Dia tidak bisa melihat dengan jelas, tetapi bisa mendengar percakapan mereka. Suara pria itu terdengar rendah dan menenangkan, diikuti oleh suara lirih yang tidak lain adalah wanita pasangannya.
“Mmm, Desmond, tadi malam luar biasa.”
Jadi, nama pria itu Desmond? Trisha membatin.
"Kurasa pagi ini juga luar biasa, Joyce," sahut pria itu dan kemudian terdengar sepertinya mereka berciuman mesra.
Hah?! Mereka pasti melakukannya di ruangan lain. Rupanya mereka berpesta pora maraton semalaman sampai pagi. Dia heran, dari mana mereka mendapatkan energi sehebat itu?
Dia menempelkan matanya kembali ke lubang pengintip. Dasar wanita cabul, dia mencela dirinya sendiri.
"Ya, memang." Wanita itu tertawa cekikikan. "Hubungi aku segera, oke?" Wanita itu menuntut dan mereka berciuman lagi.
"Tentu saja, aku akan menghubungimu sepulang kerja," janji Desmond, disambut tawa genit wanita itu.
Saat wanita itu lewat di depan pintunya, dia bisa melihat seorang wanita berparas cantik dengan rambut pirang.
Sudut pandang dari tempat Trisha berada saat ini tidak berhasil melihat sosok pria bernama Desmond, dan pria itu sudah masuk kembali ke apartemennya sebelum Trisha bisa melihatnya. Menarik. Awalnya dia berpikir mereka adalah pasangan suami-istri, jadi ternyata gadis ini tidak tinggal bersamanya.
Dia tidak pernah mendengar kata "aku mencintaimu" ketika wanita itu pergi, tetapi mereka tampak sangat nyaman satu sama lain. Tentu saja mereka merasa nyaman, setelah tahap hubungan sejauh itu. Huh!
Menyingkirkan pikiran tentang Desmond dan wanita itu dari benaknya, Trisha kembali ke buku-bukunya. Satu jam kemudian dia baru saja selesai menata buku-buku pada rak ketika mendengar ketukan di pintu. Terdengar keributan di lorong saat dia mendekati pintu, dan dia menahan senyum.
"Jangan jatuhkan!" Suara orang yang sedang kepanasan menegur.
"Oh, diamlah. Jangan terlalu sok memerintah," suara kedua membentak.
Membeliakkan matanya, Trisha membuka pintu dan mendapati dua sahabatnya, Janice dan Keyra, sedang memegang sebuah kotak besar. "Kalian berdua selalu saja berantem. Apa yang kalian ributkan?” Dia tersenyum kecil, seraya mengangkat alis pada mereka.
Dengan kesal, Janice dan Keyra terhuyung-huyung masuk.
"Apa-apaan itu? Sulit dipercaya kalian membawanya sendiri!” Mereka tidak pernah melakukan pekerjaan berat selama mereka bisa memanfaatkan orang lain.
“Percayalah, kami menunggu di luar taksi sampai seseorang lewat, tapi tidak berhasil. Jadi kami terpaksa mengangkatnya sendiri. Selamat pindah rumah!” kata Keyra. Setelah meletakkannya di lantai, mereka langsung ambruk ke sofa mungil di ruang tamu.
“Ya, berhentilah pindah rumah lagi. Kami sudah capek membelikanmu barang setiap kali kamu pindah." Janice tertawa, bersandar di sofa seraya menangkupkan tangannya menutupi wajahnya.
“Siapa suruh? Aku nggak pernah menyuruhmu membelikan apa pun." Trisha menyodok kotak itu dengan jari kakinya dan bertanya, "Jadi, apa lagi itu? Bukankah kamu sudah memberiku Rocky?”
“Nggak tahu berterima kasih. Buka saja,” perintah Janice pura-pura marah, menunjuk kotak itu.
Trisha menghela napas dan duduk di lantai. Kotak itu berat, apa pun isinya itu.
"Oh, astaga. Apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Trisha, menangkap kedipan mata Janice pada Keyra. Menarik pita dan membuka kotak, Trisha sangat senang dengan apa yang dia temukan. "Ya ampun! Ini terlalu berlebihan!"
“Kami tahu betapa kamu sangat menginginkan itu bertahun-tahun yang lalu,” ujar Keyra, tersenyum padanya.
Sekarang ketika Trisha melongok ke dalam kotak, dia melihat mesin scrapbooking baru dan semua perlengkapan lainnya, seakan-akan menatap penuh cinta ke arahnya. Gambaran kreasi karya-karya dari kertas yang kreatif dan indah mulai terpampang di depan matanya.
“Oh, ya. Mari kita rayakan kebersamaan kita!” seru Janice bersorak penuh kemenangan. "Malam ini ada pekerjaan yang harus kutangani, besok gimana?"
"Oke. Siap!" sahut Trisha, diikuti anggukan mantap Keyra. "Jangan lupa ajak Victor, ya."
Mereka bertiga sama-sama warga negara Indonesia yang kuliah di Singapura, lulus bersama dan bekerja di bidang masing-masing.
Janice adalah seorang event organizer profesional. Dia sering membuat mereka semua kesal karena kecenderungan perhatiannya yang gila terhadap detail dan sikapnya yang suka memerintah meskipun dia baik hati dan ramah pada siapa pun. Pekerjaan itu sangat sempurna untuknya.
Keyra yang pendiam, penyabar dan bijaksana, bekerja sebagai guru di sekolah menengah yang sangat cocok dengan kepribadiannya.
Sementara itu, Victor Lim adalah warga negara Singapura yang bersahabat akrab dengan mereka bertiga semasa masih kuliah. Dia adalah seorang pria yang kalem, akurat, dan penuh perhitungan, menjadi seorang akuntan yang sukses di bidangnya.
Malamnya, setelah kedua sahabatnya pergi, Trisha duduk di sofa di ruang tamu bersama Rocky menonton TV. Saat memimpikan kreasi yang akan dia buat dengan mesin scrapbooking yang baru, dia mendengar langkah kaki di tangga di luar pintu, dan suara percakapan dua orang.
Dia menyipitkan matanya pada Rocky. Desmond sudah kembali.
Melompat dari sofa, dia menempelkan matanya ke lubang intip sekali lagi, mencoba melihat rupa tetangganya.
Trisha melewatkan kesempatan lagi, hanya melihat punggung pria itu saat melewati pintu apartemennya di belakang seorang wanita bertubuh jangkung dengan rambut cokelat panjang.
Menarik. Dua wanita yang berbeda dalam satu hari. Gigolo? Dia berpikir dalam benaknya.
Dia mendengar pintu terayun menutup.
Beberapa menit kemudian, dengan mata mengantuk yang merindukan bantal empuk, dia merangkak naik ke tempat tidur.
***
BUK!
Buk … buk … buk ...
Sulit dipercaya ...
Trisha bangun lebih cepat kali ini, tetapi bukan karena menyadari sumber penyebabnya.
Gara-gara guncangan hebat pada dinding di belakang tempat tidurnya, sebuah pigura kecil yang dia gantung di atas tempat tidur terjatuh dan menimpa kepalanya. Untunglah cuma pigura kecil. Bagaimana kalau itu pigura besar? Dia bisa masuk rumah sakit lagi karena kepala benjol gara-gara tertimpa pigura, itu tidak lucu, 'kan? Ini memberinya pelajaran agar lain kali memastikan semua barangnya terpasang dengan aman dari guncangan sehebat apa pun.
Saat mengusap kepalanya dan mengomel cukup keras sehingga membuat Rocky membelalak kaget, Trisha memandang ke dinding di belakangnya lagi. Dinding ini bergetar saat kegaduhan berlanjut di sebelah. Agaknya tempat tidur di ruangan sebelah menempel pada dinding dan menimbulkan guncangan hebat selama pergulatan dua insan itu.
Dia menatap Rocky yang meringkuk di pelukannya. Anjing itu menegakkan kepalanya dan terus menggonggong ke arah dinding belakang tempat tidur.
Trisha mengelus kepalanya, berusaha menenangkan anjingnya. “Hei, Rocky. Diamlah. Kita baru saja mendapat tetangga yang berisik, itu saja.”
Akhirnya dia bangkit, menggeser tempat tidur kira-kira sejengkal dari dinding, dan kemudian kembali meringkuk di balik selimut. Matanya melotot ke arah dinding sepanjang waktu.
Dia berusaha menguatkan dirinya setelah guncangan demi guncangan tempat tidur ruangan sebelah membentur dinding di belakang tempat tidurnya hingga akhirnya erangan demi erangan berakhir.
Kemudian semuanya diam.
Malam itu dia tertidur dengan bersumpah bahwa dia akan balas membuat gaduh atau menggedor pintu ruangan sebelah jika dia mendengar keributan ini lagi besok malam.
Saatnya menabuh genderang perang ...
Trisha menatap hasil sentuhan akhirnya dengan rasa puas. Dia berdecak kagum saat memandangi beberapa pigura dengan berbagai ukuran yang ditatanya menurut komposisi yang harmonis. Janice telah membantu menata lemari dan raknya dengan sangat rapi dan efisien sehingga yang tersisa untuk Trisha kerjakan hanyalah menggantung pigura dan mengatur beberapa pernak-pernik lainnya. Dia sengaja melepas pigura dari atas tempat tidur dan memindahkannya ke ruang tamu. Demi keamanan, dia tidak mau mengambil risiko tertimpa pigura lagi malam ini.Trisha memandangi foto-foto keluarga dan ketiga sahabatnya dalam pigura. Ada fotonya bersama mendiang ayah, ibu dan adiknya Roy yang sedang bermain di pantai Bunaken; dia dan ketiga sahabatnya saat berpose dengan latar belakang Gardens by The Bay, dan banyak foto kenangan menarik lainnya.Tiba-tiba dia merindukan ibunya dan adiknya semata wayang, Roy. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sepertinya sudah lama dia tidak mendengar suara mereka lewat telepon. Memi
Jari Desmond Zachery menelusuri seluruh tubuh Gracie Walsh. Tanpa disadari dia membelai seluruh tubuh wanita itu, mengagumi lekuk likunya yang indah, dan rambut pirangnya yang berkilauan tergerai di bantal. Dia melirik sekilas pada jam dinding dan dengan enggan bangkit dari tempat tidur. Ada janji temu dengan pengacaranya, George Fang, dalam waktu satu jam. Walaupun Desmond jarang peduli pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, dia tetap menghormati si tua George dan menganggapnya sebagai sahabat. Dia tidak ingin membuat pria itu meragukan dirinya. Membungkuk pada wanita yang sedang meringkuk dengan puas di tempat tidurnya, Desmond memberikan ciuman hangat di pipi wanita itu. "Waktunya pergi, Sayang." Gracie bergerak dan kepalanya terangkat dari bantal. Rambut pirangnya menutupi dadanya yang tampak menggoda. "Belum waktunya. Ini masih pagi. Kurasa kita masih punya sisa waktu pagi ini." Desmond menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, nggak kali ini." Dia memain-mainkan seikat
Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya. Surat itu berbunyi begini: "Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah." Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Sete
Trisha menarik ponsel itu dari telinganya dan menatapnya. Itu saja? Nggak ada detail lain? Nggak ada petunjuk mengapa ibunya menelepon? Ini tidak seperti ibunya yang biasanya impulsif. Nggak! Hei, Trish, jangan khawatir; ini bukan berita buruk, hiburnya dalam hati. Pesan suara singkat itu menyebabkan otot-otot bahunya menegang, membuatnya tidak punya pilihan lain selain menelepon balik. Dia mengangkat ponselnya, memencet nomor ibunya, sambil tangannya yang lain memain-mainkan tutup cangkir kopinya yang tinggal separuh. Tanpa sengaja tangannya malah menyenggol cangkir itu hingga membuatnya terguling, menumpahkan cairan hangat di atas meja dan membasahi sketsanya. Menghela napas kuat-kuat, dia menegakkan cangkir kembali dan mengangkat mapnya. Dia merobek segumpal tisu dari kotak di dekat komputernya dan mengusap kertas yang terkena tumpahan kopi. Itu tidak ada gunanya. Kopi yang tumpah telah mengubah halaman putih bersih menjadi belang-belang cokelat dan basah. “Trish? Itu kamu?
Sepulang bekerja malam itu, Trisha duduk di sofa seraya menikmati pemandangan kota yang indah di malam hari dari kaca jendelanya. Namun, suasana indah di luar sana tidak sanggup meredakan hatinya yang carut-marut berkecamuk hebat. Mungkin dia berhasil lari dan menyembunyikan diri dari Arthur Jefford, tetapi dia tidak menyadari bayang-bayang masa lalu masih terus memburunya bagai hantu dalam berbagai wujud. Sampai kapan ini berakhir? Dia mengeluh dan batinnya menangis pedih.Setelah menguatkan hati, dia memenuhi janjinya untuk menghubungi ibunya lagi. Begitu telepon tersambung, terdengar suara gelisah ibunya di seberang."Oh, Sayang. Akhirnya kamu menelepon lagi. Ibu sudah menunggumu sejak siang tadi.""Ibu tahu kalau aku harus bekerja.""Mereka baru saja menelepon lagi.""Siapa, Bu? Para penagih utang?" sahut Trisha dengan resah."Ya, tentu saja! Sebaiknya jangan terus mengulur waktu untuk membayar utangmu. Mereka mengancam akan menyebarkan semua data pribadimu dan mempermalukanmu ke
Sebenarnya Trisha tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Dia memiliki pekerjaan tetap yang bagus sebagai desainer interior. Namun, gajinya hanya cukup untuk membayar sewa apartemen bulanan, biaya hidup, dan menyisihkan sedikit untuk membayar pinjaman. Selain menulis di berbagai blog dan situs online, dia membutuhkan sumber penghasilan lain untuk mengeluarkannya dari kesulitan ini. Perlahan Trisha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laptop dan mulai menjelajah situs-situs lowongan kerja untuk pekerja lepas sembari memikirkan kira-kira pekerjaan sambilan apakah yang tepat untuknya saat ini. Pencarian isengnya berakhir pada beberapa pekerjaan yang aneh dan konyol dengan bayaran menggiurkan. Bekerja sebagai putri duyung. Oh tentu tidak! Walaupun bayarannya lumayan, dia bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus mengenakan pakaian minim yang memamerkan perut dan belahan dadanya. Selain itu, dia tidak bisa berenang. Mana mungkin ada putri duyun
Beberapa malam berikutnya suasana sangat sunyi, tepat seperti yang diinginkan Trisha. Tidak ada benturan pada dinding, tidak ada erangan, tidak ada teriakan di tengah malam buta, dan tidak ada tawa cekikikan mesum. Segala sesuatu di sekitar apartemen itu sangat menyenangkan, tenang, dan tentram. Saat sedang senggang, Trisha menyempatkan diri berjalan-jalan di taman atau jalan sekitar kompleks apartemen. Dia juga mulai berkenalan dengan para petugas keamanan di apartemen itu, termasuk Johan Bisaam, seorang pria Melayu dan Lakshmi Krishna, wanita keturunan India Tamil. Mereka berdua sangat baik dan ramah padanya sehingga mereka pun cepat akrab. Trisha belum pernah mendengar atau melihat Desmond sejak terakhir kali dia menempelkan catatan kecil di pintu kamar pria itu. Kendati dia bersyukur untuk tidur malam yang menyenangkan, tak urung rasa penasarannya tergelitik tentang ke mana Desmond menghilang selama beberapa hari ini. Johan dan Lakshmi dengan senang hati memberikan informasi ya
Sayangnya, ketenangan dan kesunyian ini terlalu indah untuk bertahan lama, dan kekacauan kembali terjadi beberapa malam berikutnya. Namun, untuk saat ini, Trisha marah karena beberapa alasan dan menjadi gusar. Dia sangat lelah lahir dan batin, memar di pantatnya masih terasa nyeri, dan ibunya kembali menelepon dengan kemarahan yang meledak-ledak. Pasalnya, Trisha tidak tahu harus berbuat apa. Usahanya menjual beberapa lukisan dan desain furnitur belum membuahkan hasil sama sekali, sementara utangnya bagaikan kawanan ular berbisa yang mengelilinginya hingga terus menyudutkannya. Setelah tidur malam yang singkat, keesokan paginya dia bangun kesiangan dengan mata masih mengantuk berat. Alhasil, dia menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa dalam perjalanan menuju kantor. Seluruh hari itu benar-benar sial. Ada masalah dengan kontraktor di rumah keluarga Gardner sehingga menunda pekerjaan mereka gara-gara kesalahan pesanan material khusus untuk furnitur yang diimpor langsung dari luar neg
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu