Saat tersadar dari mimpinya yang panjang, Trisha merasakan tangan kanannya mencengkeram seprai, memelintirnya sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Dia merasa terlepas dari pikirannya sendiri. Terperangkap tak berdaya dalam tubuhnya sendiri.
Dengan tubuh menggigil, Trisha membuka matanya yang masih bengkak. Napasnya memburu cepat. Jantungnya berpacu. Dia menatap nanar keadaan sekelilingnya yang tampak putih dan buram.
Dia masih berada di rumah sakit, bersama wanita tua itu lagi.
"Akhirnya kamu sadar juga. Kamu mengalami mimpi buruk, ya?"
Trisha menelan ludah yang terasa pahit. Dia memberi isyarat untuk minta minum dengan tangannya yang lemah. Wanita itu langsung menyodorkan segelas air putih.
Dengan suara parau, Trisha menguatkan diri bertanya pada wanita itu. "Siapa Anda, Nyonya? Bagaimana saya bisa berada di sini?"
Wanita itu tersenyum dan berkata, "Namaku Greta Florence. Kamu lupa apa yang terjadi padamu?"
Trisha mengangguk lemah.
"Malam itu, kebetulan aku pulang larut malam dengan sopir yang mengendarai mobilku. Tiba-tiba kamu muncul entah dari mana, mencoba menghentikan mobil. Sebelum mobil berhenti, kamu sudah jatuh pingsan dan berbaring tak bergerak, bermandikan darah. Awalnya aku mengira itu kecelakaan lalu lintas sehingga aku langsung menghubungi pihak rumah sakit terdekat, khawatir nyawamu tak tertolong!"
Greta menatap gadis itu dengan lembut. "Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi padamu malam itu?"
Trisha tidak menjawab. Dia hanya menatap wajah Greta tanpa banyak bicara.
Saat menatap wanita tua itu, entah bagaimana Trisha merasakan ada kekuatan ajaib yang tak terlihat bergerak dan berhimpun jauh di dalam dirinya. Kekuatan itu menjernihkan otaknya hingga bersih bagaikan air bening.
Dia memperhatikan rambut abu-abu Greta yang dipenuhi uban. Wanita tua yang cantik ini berparas bule dengan sedikit jejak kecantikan oriental. Matanya memancarkan kebaikan dan ketulusan, sekaligus kepedihan.
Ada masa lalu pahit yang coba dia tutupi di balik kebaikan hatinya.
Penolakan.
Pengkhianatan.
Tipu Muslihat.
Kematian.
Mendadak berbagai kilasan fragmen kehidupan Greta terpampang jelas di penglihatannya secara kasatmata.
Trisha tertegun sesaat.
Ketika terbangun tadi, dia merasa ada yang berbeda. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Dia tahu itu sejak dia membuka mata. Sesuatu terasa aneh. Ada yang tidak beres.
Inilah tepatnya ketika kemampuan istimewanya bangkit kembali dari masa hibernasi panjang ... ataukah mungkin itu kutukan baginya.
Entah mengapa kemampuan yang dimilikinya sejak lahir dan harus terkubur selama masa penderitaan dan keterpurukannya bersama Arthur, kini muncul kembali seolah-olah membanjirinya.
Tidak seperti kebanyakan orang yang harus melewati berbagai ritual dan proses yang rumit supaya bisa membaca pikiran orang lain, dia tidak pernah mempelajari kemampuan ini. Dia terlahir dengan kemampuan ini dan tidak seorang pun yang tahu. Semuanya terjadi begitu saja, semudah membalikkan telapak tangan.
Dia bertanya-tanya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa kemampuannya membaca kehidupan orang jadi lenyap tiba-tiba saat dia bersama Arthur? Seandainya dia bisa menggunakan kemampuannya dengan membaca pikiran Arthur lebih awal sebelumnya, tragedi pahit yang telah dialaminya tidak akan pernah menimpanya.
Melihat Trisha tetap diam saja, Greta sepertinya paham bahwa gadis itu belum siap atau enggan membicarakannya.
"Baiklah, aku harus pulang dulu. Oh ya, adakah teman atau keluargamu yang bisa kuhubungi?"
Trisha segera minta secarik kertas dan pena, lalu menuliskan nama atasannya beserta nomor telepon kantornya yang masih dia hafal di luar kepala.
"Ini nama atasan tempat saya bekerja."
Kemudian Trisha menambahkan nomor telepon Janice, sahabatnya. "Ini sahabat saya. Thanks sebelumnya, Nyonya."
"Oke, nggak apa-apa. Akan segera kuhubungi mereka. Besok aku akan mengunjungimu lagi. Beristirahatlah. Jaga dirimu baik-baik."
"Tunggu sebentar!" Trisha menatap wanita itu dengan penuh harap dan berkata, "Nyonya, kumohon jangan ada polisi ataupun media pers, please. Hanya itu permintaanku. Maaf sudah merepotkan."
Wanita itu menatap Trisha dengan bimbang, kemudian berkata, "Baiklah, aku mengerti."
"Thanks untuk semuanya, Nyonya."
Wanita tua itu mengangguk dan keluar dari kamar.
Para pengunjung datang dan pergi silih berganti, yang paling sering adalah Greta dan ketiga sahabatnya. Beberapa rekan sekerjanya juga datang. Mereka tersenyum, bersikap ramah, dan peduli. Takut padanya lebih tepatnya. Namun mereka berkasak-kusuk tentang kondisi kesehatannya di lorong rumah sakit, mencecarnya dengan banyak pertanyaan secara terang-terangan, keinginan basa-basi untuk membantu meredakan ketegangannya.
Terkadang rumah sakit bisa menjadi penjara tersendiri.
Namun Greta memang sangat membantu. Kendati dia mulai jarang berkunjung sejak Trisha mulai membaik, wanita tua itu lebih sering duduk diam menemaninya, tanpa mengatakan apa-apa di setiap kunjungannya. Kehadiran dan kehangatannya saja sudah begitu menenangkan. Semua yang perlu mereka katakan sudah ada di ruangan itu bersama mereka.
Ketiga sahabatnya tentu yang paling membantu dan mendukungnya.
Keyra Jovanka seperti biasa tidak banyak bicara, tidak menuntut, berjalan masuk ke ruangan dengan senyum malu-malu dan perhatian yang tenang untuknya. Dia berbicara dengan lemah lembut tentang apa yang terjadi di tempat kerjanya, dan tidak menanyakan bagaimana keadaan Trisha karena itu sudah terlihat jelas.
Janice Mirelle seorang social butterfly yang biasanya heboh dan berceloteh dengan riuh mendadak jadi gadis pendiam, canggung, dan berhati-hati bicara. Namun pada akhirnya, sifatnya yang blak-blakan membuatnya tidak bisa menahan diri untuk menghibur mereka semua dengan leluconnya.
Victor Lim, seperti biasa tetap kalem dan tenang, selalu berhati-hati dalam berbicara, terlihat sangat peduli dan paling mengkhawatirkan keadaannya. Dia membawakan ponsel dan nomor baru supaya Trisha bisa berkomunikasi dengan mereka, tanpa menanyakan bagaimana ponsel lamanya bisa hilang.
Ketiga sahabatnya mendesak agar dia segera pindah ke apartemen baru. Sebenarnya itu hanya dalih mereka saja. Trisha tahu betul bahwa mereka peduli dan penuh perhatian padanya. Apa pun tragedi yang terjadi pada Trisha, sekalipun dia tetap bungkam sampai saat itu, mereka tidak ingin dia bersinggungan kembali dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya.
Sementara itu, Greta membantu mencarikan apartemen tipe studio dengan harga yang cukup terjangkau untuk Trisha di kawasan Tanjong Pagar, dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Ini tipe tempat tinggal yang ideal untuk Trisha setelah sebelumnya tinggal di flat HBD atau rumah susun padat penduduk di kawasan Chinatown.
Dunia masih berputar di luar sana; dia hanya perlu menunggu sampai dia siap untuk menghadapinya lagi.
***
Buk … Buk … Buk!
Lalu terdengar suara lengkingan wanita di tengah malam.
Apa yang terjadi?
Apakah baru saja terjadi gempa yang mengguncang hebat?
Dalam keadaan linglung, Trisha seketika terjaga dari tidurnya, panik dan bingung ketika menatap nanar sekeliling ruangan yang tampak asing. Kotak-kotak besar berserakan di lantai. Beberapa koper besar yang belum sempat dibuka. Pigura-pigura yang disandarkan pada dinding. Buku-buku yang bertebaran di atas meja kerjanya.
Akhirnya dia terjaga penuh. Kamar tidur barunya, apartemen yang baru disewanya, dia mengingatkan dirinya sendiri seraya mencengkeram selimut tebal seperti barang berharganya, menghitung-hitung harta bendanya.
Bahkan dalam keadaan setengah tertidur, dia masih hafal jumlah harta bendanya yang tidak bernilai banyak itu.
Erangan dan rintihan wanita terdengar lagi, sesekali terdengar desisan dan lenguhan pria.
Ya ampun .…
Dengan kondisi tangan kiri masih dibalut gips, Trisha bersusah payah bangkit. Dia mengusap matanya, dan berbalik untuk menatap ke dinding di belakangnya, mulai memahami apa yang telah membangunkannya di tengah malam buta.
Tanpa sadar, tangannya yang masih mencengkeram selimut menarik perhatian Rocky, anjing Beagle pemberian Janice sebagai hadiah kepindahan Trisha, yang demi mendapat izin untuk membawanya serta ke sini, dia harus merayu-rayu si pemilik apartemen. Si pemilik apartemen akhirnya mengizinkan, dengan syarat anjing itu harus berada dalam kurungan sesering mungkin, terutama selama Trisha bepergian keluar. Syarat yang sangat mudah dan langsung disetujuinya.
Merundukkan kepalanya di bawah lengan Trisha dengan ketakutan, Rocky menuntut belaian darinya. Trisha membelainya dengan penuh kasih sayang seraya melihat sekeliling dan mengamat-amati ruangan barunya.
Apartemen barunya merupakan tipe studio standar dengan interior bergaya minimalis Skandinavia yang serba putih, berukuran kurang dari tiga puluh meter persegi—bahkan dengan pemandangan spektakuler! Di sisi kiri pintu terdapat kamar mandi dengan partisi dari kaca tebal, sedangkan dapur berada di sisi kanan dengan kitchen set mewah serba putih.
Kecuali lantai kamar mandi yang berwarna hitam dengan keramik dinding warna abu-abu muda, seluruh ruangan memiliki lantai marmer warna abu-abu. Terdapat sebuah sofa berwarna cokelat tua di depan rak televisi. Di sisi rak televisi, terdapat sebuah meja kerja kecil dan rak dinding berisi deretan buku yang baru separuh ditatanya.
Jika diperhatikan, sebenarnya ruangan itu memiliki fasilitas hidup yang lumayan lengkap. Tempat ini sangat ideal untuk menjadi tempat perlindungan yang nyaman untuknya.
Trisha baru saja pindah mulai pagi tadi. Sebagai seorang desainer interior, dia memiliki kebiasaan menata segala sesuatu secara cermat di hampir setiap celah ruangan. Itulah sebabnya butuh waktu lama untuk menata kembali barang-barang miliknya setelah kepindahannya ke sini.
Dia telah menghabiskan hari itu dengan mengusung barang-barangnya ke sini. Setelah berendam air hangat di bathtub, dia langsung naik ke tempat tidur dengan letih dan menikmati kenyamanan apartemen barunya, lalu lintas yang lengang di luar, dan musik yang meneduhkan.
Apartemen baruku, pikir Trisha puas saat dia tertidur dengan nyenyak, itulah sebabnya dia sangat terkejut saat terbangun tiba-tiba, dia menoleh jam di samping tempat tidurnya … pukul 01.15 pagi.
Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, mencoba menenangkan diri, tetapi kembali terkejut saat tempat tidurnya bergetar, lebih tepatnya karena benturan ke dinding.
Yang benar saja?! Kemudian dia mendengar lengkingan wanita dengan sangat nyaring, kemudian terdengar jelas suara laki-laki yang mengerang dan melenguh puas.
Ah, astaga.
Mengerjapkan mata, Trisha merasa lebih terjaga sekarang dan sedikit terpana oleh apa yang jelas terjadi di kamar sebelah. Dia menatap Rocky, yang balas menatapnya dengan sepasang mata mungilnya. Jika dia tidak cukup lelah dan mengantuk, dia yakin melihat mata anjing itu mengerling padanya dengan jahil.
Selamat datang dunia baruku!
Keesokan harinya, tepatnya pagi pertama di apartemen barunya, Trisha duduk meringkuk di sofa tunggal minimalis yang tebal dan empuk sembari menyeruput secangkir coklat hangat dan mengunyah sandwich tuna.Diam-diam dia mengutuki kegilaan pesta pora semalam dari ruangan sebelah. Gara-gara mereka, pagi ini dia bangun kesiangan dengan kepala pusing berat. Dia belum begitu sepenuhnya terjaga seperti yang diharapkan untuk mulai membongkar barang-barangnya.Mengembuskan napas kuat-kuat, Trisha memandang ke luar jendela ke arah lautan biru di kejauhan. Kapal-kapal besar dan kecil tampak seperti titik-titik semut putih yang merayap di permukaan laut. Tampak pula pelabuhan feri terminal Harbour Front yang luas dan megah, kapal pesiar terbesar yang masih berlabuh, juga Sentosa Island dengan Universal Studio dan berbagai wahananya yang menarik.Dia menikmati momen kedamaian ini. Entah sudah berapa lama dia merasa kehilangan saat-saat seperti ini, ketika dia bisa menikmati kesendiriannya dengan be
Trisha menatap hasil sentuhan akhirnya dengan rasa puas. Dia berdecak kagum saat memandangi beberapa pigura dengan berbagai ukuran yang ditatanya menurut komposisi yang harmonis. Janice telah membantu menata lemari dan raknya dengan sangat rapi dan efisien sehingga yang tersisa untuk Trisha kerjakan hanyalah menggantung pigura dan mengatur beberapa pernak-pernik lainnya. Dia sengaja melepas pigura dari atas tempat tidur dan memindahkannya ke ruang tamu. Demi keamanan, dia tidak mau mengambil risiko tertimpa pigura lagi malam ini.Trisha memandangi foto-foto keluarga dan ketiga sahabatnya dalam pigura. Ada fotonya bersama mendiang ayah, ibu dan adiknya Roy yang sedang bermain di pantai Bunaken; dia dan ketiga sahabatnya saat berpose dengan latar belakang Gardens by The Bay, dan banyak foto kenangan menarik lainnya.Tiba-tiba dia merindukan ibunya dan adiknya semata wayang, Roy. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sepertinya sudah lama dia tidak mendengar suara mereka lewat telepon. Memi
Jari Desmond Zachery menelusuri seluruh tubuh Gracie Walsh. Tanpa disadari dia membelai seluruh tubuh wanita itu, mengagumi lekuk likunya yang indah, dan rambut pirangnya yang berkilauan tergerai di bantal. Dia melirik sekilas pada jam dinding dan dengan enggan bangkit dari tempat tidur. Ada janji temu dengan pengacaranya, George Fang, dalam waktu satu jam. Walaupun Desmond jarang peduli pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, dia tetap menghormati si tua George dan menganggapnya sebagai sahabat. Dia tidak ingin membuat pria itu meragukan dirinya. Membungkuk pada wanita yang sedang meringkuk dengan puas di tempat tidurnya, Desmond memberikan ciuman hangat di pipi wanita itu. "Waktunya pergi, Sayang." Gracie bergerak dan kepalanya terangkat dari bantal. Rambut pirangnya menutupi dadanya yang tampak menggoda. "Belum waktunya. Ini masih pagi. Kurasa kita masih punya sisa waktu pagi ini." Desmond menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, nggak kali ini." Dia memain-mainkan seikat
Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya. Surat itu berbunyi begini: "Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah." Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Sete
Trisha menarik ponsel itu dari telinganya dan menatapnya. Itu saja? Nggak ada detail lain? Nggak ada petunjuk mengapa ibunya menelepon? Ini tidak seperti ibunya yang biasanya impulsif. Nggak! Hei, Trish, jangan khawatir; ini bukan berita buruk, hiburnya dalam hati. Pesan suara singkat itu menyebabkan otot-otot bahunya menegang, membuatnya tidak punya pilihan lain selain menelepon balik. Dia mengangkat ponselnya, memencet nomor ibunya, sambil tangannya yang lain memain-mainkan tutup cangkir kopinya yang tinggal separuh. Tanpa sengaja tangannya malah menyenggol cangkir itu hingga membuatnya terguling, menumpahkan cairan hangat di atas meja dan membasahi sketsanya. Menghela napas kuat-kuat, dia menegakkan cangkir kembali dan mengangkat mapnya. Dia merobek segumpal tisu dari kotak di dekat komputernya dan mengusap kertas yang terkena tumpahan kopi. Itu tidak ada gunanya. Kopi yang tumpah telah mengubah halaman putih bersih menjadi belang-belang cokelat dan basah. “Trish? Itu kamu?
Sepulang bekerja malam itu, Trisha duduk di sofa seraya menikmati pemandangan kota yang indah di malam hari dari kaca jendelanya. Namun, suasana indah di luar sana tidak sanggup meredakan hatinya yang carut-marut berkecamuk hebat. Mungkin dia berhasil lari dan menyembunyikan diri dari Arthur Jefford, tetapi dia tidak menyadari bayang-bayang masa lalu masih terus memburunya bagai hantu dalam berbagai wujud. Sampai kapan ini berakhir? Dia mengeluh dan batinnya menangis pedih.Setelah menguatkan hati, dia memenuhi janjinya untuk menghubungi ibunya lagi. Begitu telepon tersambung, terdengar suara gelisah ibunya di seberang."Oh, Sayang. Akhirnya kamu menelepon lagi. Ibu sudah menunggumu sejak siang tadi.""Ibu tahu kalau aku harus bekerja.""Mereka baru saja menelepon lagi.""Siapa, Bu? Para penagih utang?" sahut Trisha dengan resah."Ya, tentu saja! Sebaiknya jangan terus mengulur waktu untuk membayar utangmu. Mereka mengancam akan menyebarkan semua data pribadimu dan mempermalukanmu ke
Sebenarnya Trisha tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Dia memiliki pekerjaan tetap yang bagus sebagai desainer interior. Namun, gajinya hanya cukup untuk membayar sewa apartemen bulanan, biaya hidup, dan menyisihkan sedikit untuk membayar pinjaman. Selain menulis di berbagai blog dan situs online, dia membutuhkan sumber penghasilan lain untuk mengeluarkannya dari kesulitan ini. Perlahan Trisha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laptop dan mulai menjelajah situs-situs lowongan kerja untuk pekerja lepas sembari memikirkan kira-kira pekerjaan sambilan apakah yang tepat untuknya saat ini. Pencarian isengnya berakhir pada beberapa pekerjaan yang aneh dan konyol dengan bayaran menggiurkan. Bekerja sebagai putri duyung. Oh tentu tidak! Walaupun bayarannya lumayan, dia bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus mengenakan pakaian minim yang memamerkan perut dan belahan dadanya. Selain itu, dia tidak bisa berenang. Mana mungkin ada putri duyun
Beberapa malam berikutnya suasana sangat sunyi, tepat seperti yang diinginkan Trisha. Tidak ada benturan pada dinding, tidak ada erangan, tidak ada teriakan di tengah malam buta, dan tidak ada tawa cekikikan mesum. Segala sesuatu di sekitar apartemen itu sangat menyenangkan, tenang, dan tentram. Saat sedang senggang, Trisha menyempatkan diri berjalan-jalan di taman atau jalan sekitar kompleks apartemen. Dia juga mulai berkenalan dengan para petugas keamanan di apartemen itu, termasuk Johan Bisaam, seorang pria Melayu dan Lakshmi Krishna, wanita keturunan India Tamil. Mereka berdua sangat baik dan ramah padanya sehingga mereka pun cepat akrab. Trisha belum pernah mendengar atau melihat Desmond sejak terakhir kali dia menempelkan catatan kecil di pintu kamar pria itu. Kendati dia bersyukur untuk tidur malam yang menyenangkan, tak urung rasa penasarannya tergelitik tentang ke mana Desmond menghilang selama beberapa hari ini. Johan dan Lakshmi dengan senang hati memberikan informasi ya
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu