Beberapa malam berikutnya suasana sangat sunyi, tepat seperti yang diinginkan Trisha. Tidak ada benturan pada dinding, tidak ada erangan, tidak ada teriakan di tengah malam buta, dan tidak ada tawa cekikikan mesum. Segala sesuatu di sekitar apartemen itu sangat menyenangkan, tenang, dan tentram. Saat sedang senggang, Trisha menyempatkan diri berjalan-jalan di taman atau jalan sekitar kompleks apartemen. Dia juga mulai berkenalan dengan para petugas keamanan di apartemen itu, termasuk Johan Bisaam, seorang pria Melayu dan Lakshmi Krishna, wanita keturunan India Tamil. Mereka berdua sangat baik dan ramah padanya sehingga mereka pun cepat akrab. Trisha belum pernah mendengar atau melihat Desmond sejak terakhir kali dia menempelkan catatan kecil di pintu kamar pria itu. Kendati dia bersyukur untuk tidur malam yang menyenangkan, tak urung rasa penasarannya tergelitik tentang ke mana Desmond menghilang selama beberapa hari ini. Johan dan Lakshmi dengan senang hati memberikan informasi ya
Sayangnya, ketenangan dan kesunyian ini terlalu indah untuk bertahan lama, dan kekacauan kembali terjadi beberapa malam berikutnya. Namun, untuk saat ini, Trisha marah karena beberapa alasan dan menjadi gusar. Dia sangat lelah lahir dan batin, memar di pantatnya masih terasa nyeri, dan ibunya kembali menelepon dengan kemarahan yang meledak-ledak. Pasalnya, Trisha tidak tahu harus berbuat apa. Usahanya menjual beberapa lukisan dan desain furnitur belum membuahkan hasil sama sekali, sementara utangnya bagaikan kawanan ular berbisa yang mengelilinginya hingga terus menyudutkannya. Setelah tidur malam yang singkat, keesokan paginya dia bangun kesiangan dengan mata masih mengantuk berat. Alhasil, dia menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa dalam perjalanan menuju kantor. Seluruh hari itu benar-benar sial. Ada masalah dengan kontraktor di rumah keluarga Gardner sehingga menunda pekerjaan mereka gara-gara kesalahan pesanan material khusus untuk furnitur yang diimpor langsung dari luar neg
Dibayang-bayangi oleh cahaya temaram lorong dari belakang, di sana Desmond berdiri dengan satu kepalan tangan terangkat yang siap memukul dan tangan lainnya memegang selimut yang melingkari pinggulnya. Trisha memandanginya dari ujung rambut dan ujung kaki, tangannya juga masih mengepal dan menggantung di udara. Tangan kirinya masih berdenyut-denyut setelah memukul-mukul tembok begitu keras dengan semangat juang tinggi. Desmond memiliki rambut cokelat gelap yang lebat tetapi terlihat acak-acakan dan mencuat di sana-sini, kemungkinan ulah wanita yang bercumbu dengannya malam ini. Mata abu-abunya tajam seperti mata elang yang tampak tajam dan dalam, dan tulang pipinya sekuat rahangnya. Lapisan jenggot tipis memenuhi dagunya. Bibir merahnya agak tipis dan hidungnya mancung. Raut wajahnya memperlihatkan gurat-gurat oriental bercampur keturunan bule yang eksotis. Trisha menatap tubuh pria itu yang jangkung dan ramping, otot-otot di lengannya membuatnya terlihat sangat kekar. Kulitnya saw
Beberapa malam berikutnya ... Trisha memenuhi ajakan Janice dan Keyra untuk menghadiri pesta seorang teman Janice di kawasan pemukiman mewah di Cluny Road. Mereka pergi ke tempat pesta itu menggunakan mobil tumpangan dari app Joyride. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol seru tentang penghuni sebelah apartemen Trisha. Siapa lagi kalau bukan Desmond? "Jadi, kamu nggak pernah lihat dia lagi sejak bertemu dengannya malam itu?" tanya Janice. "Nggak," sahut Trisha dengan mengerang. Keyra menyentuh lengannya menenangkan. “Dia ganteng, 'kan?” “Jujur—ya! Terlalu ganteng untuk diabaikan. Tapi dia juga sangat brengsek!” sahut Trisha dengan menepakkan tangannya ke jok begitu keras sehingga membuat sang pengemudi terlonjak kaget. Janice dan Keyra saling bertukar pandang dengan tersenyum simpul. “Dan kemudian esok paginya, dia berada di lorong bersama wanita lain lagi, menciumnya mesra! Ini seperti pesta pora orgasme liar, dan dunia hanya milik mereka saja!” sahut Trisha dengan berang set
Trisha dan Desmond berdiri saling bertatapan, gelombang kemarahan dan kekesalan berhamburan bolak-balik di antara keduanya bagaikan loncatan bunga api listrik yang saling menyambar-nyambar. Mereka saling melotot, Desmond dengan seringai nakalnya dan Trisha dengan cibiran sinisnya. Sampai akhirnya Trisha memalingkan muka saat menyadari keempat teman mereka telah terdiam, begitu pula dengan setiap tamu lain di sekitar mereka yang menatap kedua orang itu dengan ekspresi penasaran. Merasakan tangan kecil menyentuh bahunya, Trisha berbalik cepat dan menatap Janice. “Tenanglah, Trish. Tahan dirimu. Jangan bikin ribut di rumah klienku, oke?” bisiknya, tersenyum malu pada Desmond. Trisha menatap Janice dan berpaling ke arah Desmond lagi, mendapati pria itu sudah bergabung dengan kedua temannya. “Aku nggak akan bilang kalau aku kenal dia, tapi aku cukup mengenal aktivitasnya tiap malam,” jawab Trisha dengan gigi terkatup. Mata Trisha mengerjap seperti anak kecil polos yang menyimpan rahasi
Menyadari apa yang baru saja terjadi, Trisha segera menarik diri, sementara jari-jari mereka masih saling bertautan. Dia segera menarik tangannya dengan berang. Desmond tampak terkejut, terlebih lagi saat Trisha berusaha mendorongnya menjauh. Reaksi gadis itu membuatnya tercengang. "Sial!" pekik Trisha, dan beringsut mundur. Mereka saling memandang dengan garang, sementara Trisha mengusap bibirnya. Dia seolah bisa merasakan bibir basah Desmond masih melekat di bibirnya. Dia siap beranjak pergi tetapi kemudian berbalik dengan cepat. "Dengar! Ini nggak akan kumaafkan karena sudah keterlaluan!" "Terserah apa katamu." Desmond menyeringai, dan Trisha kembali merasakan amarahnya berkobar. "Aku juga nggak mau dengar kamu menyebutku Gadis Bergaun Tidur Merah lagi!" pekiknya tertahan, lalu berjalan kembali menyusuri jalan setapak. "Sampai aku bisa lihat baju tidurmu yang lain, aku akan tetap memanggilmu begitu," balasnya. Mendengar ini, Trisha hampir tersandung tetapi dia tidak berbalik
Minggu sore itu begitu cerah. Pada pukul tiga, Trisha menenteng peralatan melukisnya ke taman East Coast Park di tepi pantai. Di sebuah bangku beton di bawah naungan pohon Angsana yang teduh, dia mulai menggoreskan kuasnya pada kanvas putih. Kedua telinganya tersumbat earphone yang memperdengarkan alunan instrumental, sejenak mengungkung diri dari kebisingan dunia luar. Saat mentari perlahan-lahan beringsut ke peraduannya dan lembayung senja mulai menampakkan semburatnya di ufuk barat, para pengunjung di taman itu berangsur-angsur mulai berkurang. Sampai saat ini hanya tersisa segelintir orang yang menyusuri jalan setapak. Ada yang berpasangan atau bersama anak-anak mereka, ada pula yang sendiri, dan ada yang mengajak anjing mereka berjalan-jalan. Beberapa anak kecil juga terlihat masih berkeliaran di taman bermain di kejauhan. Trisha menenggelamkan dirinya dalam serangkaian goresan cat akriliknya. Sejenak tatapannya tenggelam ke dalam peliknya kegelapan di kejauhan. Dia hanyalah d
Pada suatu sore sepulang bekerja. Trisha sedang asyik membaca buku di sudut favoritnya dekat jendela ketika sebuah panggilan telepon masuk dari nomor asing. Ternyata peneleponnya adalah Greta Florence yang ingin mengundangnya makan malam di The Paradise Laguna, sebuah restoran Barat mewah di teluk Marina. Malam itu, dengan mengenakan gaun malam putih sederhana, Trisha memenuhi undangan dan bertemu dengan Greta di tempat yang dijanjikan. Seorang pelayan mengantarnya ke ruang VIP yang sudah dipesan khusus dan menemui Greta yang sudah menunggunya di dalam. Wanita tua itu tampak anggun dengan gaun malam hitam yang elegan rancangan Elan Vital, desainer ternama sedunia. Semua ini menunjukkan bahwa wanita ini sangat kaya raya. "Hai, Trish!" sapa Greta dengan hangat. Mereka pun tertawa dan berpelukan dengan erat. Beberapa saat kemudian seusai makan malam. Sambil menyesap anggur non-alkohol, Trisha menatap Greta dan berkata, "Sudah hampir dua bulan kita tidak bertemu, ya? Sepertinya suda
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu