Pada suatu sore sepulang bekerja. Trisha sedang asyik membaca buku di sudut favoritnya dekat jendela ketika sebuah panggilan telepon masuk dari nomor asing. Ternyata peneleponnya adalah Greta Florence yang ingin mengundangnya makan malam di The Paradise Laguna, sebuah restoran Barat mewah di teluk Marina. Malam itu, dengan mengenakan gaun malam putih sederhana, Trisha memenuhi undangan dan bertemu dengan Greta di tempat yang dijanjikan. Seorang pelayan mengantarnya ke ruang VIP yang sudah dipesan khusus dan menemui Greta yang sudah menunggunya di dalam. Wanita tua itu tampak anggun dengan gaun malam hitam yang elegan rancangan Elan Vital, desainer ternama sedunia. Semua ini menunjukkan bahwa wanita ini sangat kaya raya. "Hai, Trish!" sapa Greta dengan hangat. Mereka pun tertawa dan berpelukan dengan erat. Beberapa saat kemudian seusai makan malam. Sambil menyesap anggur non-alkohol, Trisha menatap Greta dan berkata, "Sudah hampir dua bulan kita tidak bertemu, ya? Sepertinya suda
Ada banyak kenangan buruk yang sepertinya tak terlupakan. Terkadang Trisha benar-benar berharap bisa melupakannya dan melanjutkan hidup. Namun, ada alasan mengapa sebagian dari dirinya masih mengingatnya. Dia lebih suka mengingat sesuatu yang buruk sebagai pengingat daripada mengambil risiko merasakan penderitaan lagi saat tanpa sadar terjerumus ke dalamnya.Membicarakannya dengan orang lain bukanlah hal yang mudah. Itu seperti mengorek-ngorek kembali luka lama yang menimbulkan rasa sakit luar biasa dan membiarkan orang lain melihat kerapuhannya pada titik yang paling rendah.Trisha termangu-mangu sejenak, sementara Greta masih menatapnya. Dia tidak yakin apakah dia siap untuk ini. Selama ini dia selalu hidup dalam dunianya sendiri dan tidak mengizinkan siapa pun melewati batas yang sudah dibangunnya. Hanya karena takut terluka lagi, dia tidak ingin memercayakan hidupnya pada orang lain. Namun, dia merasa sangat lelah.Dia menghela napas, lalu berkata dengan tak berdaya, "Dua bulan ya
Greta memain-mainkan gelas anggur di tangannya, lalu menatap Trisha dan berkata, "Sering kali korban yang mengalami perlakuan kasar itu merasa lemah dan bodoh. Menurut pengamatanku, orang-orang yang menjadi korban itu sebenarnya individu yang sangat baik, penyayang dan inspiratif." "Mereka menjadi korban perlakuan kasar karena mereka ingin memedulikan orang-orang tersayang di sekitar mereka. Mereka menginginkan yang terbaik untuk keluarga dan teman-teman mereka. Mereka sering terlibat dalam hubungan yang merusak karena fakta ini." "Mereka benar-benar menginginkan yang terbaik untuk pelakunya, tetapi seberapa pun kerasnya mereka mencoba, tampaknya nggak pernah berhasil, jadi mereka berusaha lebih keras, dan lebih keras lagi! Ini menunjukkan ketekunan dan kegigihan yang besar, kekuatan dan kasih sayang yang besar. Semua sifat hebat yang akan membantu mereka melarikan diri!" "Adapun pelaku kekerasan itu sebenarnya adalah individu yang sangat lemah dan merasa tak berdaya. Jika kamu renu
Orang bilang kebahagiaan itu lebih besar daripada kesedihan dan yang lain berpendapat kesedihan itu lebih besar daripada kebahagiaan. Namun sesungguhnya kedua hal itu berjalan seiring dan tidak dapat dipisahkan. Bagaikan dua keping mata uang. Bagaikan dua sisi gelap dan terang rembulan. Cara pandang setiap orang berbeda-beda tergantung bagaimana cara mereka memandang dan situasi yang mereka hadapi. Greta dan Trisha memiliki kemampuan istimewa yang sama tetapi menghadapinya dengan cara yang berbeda. Sementara Trisha berusaha menekan kemampuan istimewanya dengan penderitaan hidup yang dialaminya, Greta membiarkannya berkembang tak terkendali hingga berujung tragedi demi tragedi dalam hidupnya. Dia pernah membaca riset yang dilakukan oleh para peneliti. Kemampuan membaca pikiran bisa terjadi berkat kerja sistem saraf di otak. Bagian otak ini bisa dibilang sebagai pusat kendali ketika berinteraksi dengan orang lain. Saat mencoba berbagai cara membaca pikiran orang lain, bagian ini bek
Pada suatu pagi, dalam perjalanan menuju pertemuan dengan seorang klien. Trisha mendengar benturan keras sebelum percikan darah menyembur ke arahnya. Dia terkesiap dan menyingkir cepat kembali ke trotoar. Salah satu tumit sepatunya tidak berhasil melewati trotoar, jadi dia memegang tiang rambu lalu lintas "Dilarang Berhenti" untuk menenangkan diri. Tentu saja, dia sangat terguncang. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya terengah-engah dan keringat mulai membasahi sekujur tubuhnya. Pria malang itu ada di depannya beberapa detik yang lalu. Mereka berdiri di tengah kerumunan orang yang sedang menunggu lampu hijau menyala ketika pria itu melangkah ke penyeberangan pejalan kaki sebelum waktunya. Trisha menerjang maju berupaya menghentikannya, tetapi hanya menggapai udara kosong. Pria itu sudah bergerak lebih cepat, bersamaan dengan sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya dan menghantamnya dengan keras. Trisha memejamkan mata sebelum kepala pria itu tersungkur di bawah ban, tetapi
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me