Akhirnya kedua tokoh utama kita bertemu, bagaimana menurut kalian pertemuan mereka? Yuk tulis di kolom komentar.
Beberapa malam berikutnya ... Trisha memenuhi ajakan Janice dan Keyra untuk menghadiri pesta seorang teman Janice di kawasan pemukiman mewah di Cluny Road. Mereka pergi ke tempat pesta itu menggunakan mobil tumpangan dari app Joyride. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol seru tentang penghuni sebelah apartemen Trisha. Siapa lagi kalau bukan Desmond? "Jadi, kamu nggak pernah lihat dia lagi sejak bertemu dengannya malam itu?" tanya Janice. "Nggak," sahut Trisha dengan mengerang. Keyra menyentuh lengannya menenangkan. “Dia ganteng, 'kan?” “Jujur—ya! Terlalu ganteng untuk diabaikan. Tapi dia juga sangat brengsek!” sahut Trisha dengan menepakkan tangannya ke jok begitu keras sehingga membuat sang pengemudi terlonjak kaget. Janice dan Keyra saling bertukar pandang dengan tersenyum simpul. “Dan kemudian esok paginya, dia berada di lorong bersama wanita lain lagi, menciumnya mesra! Ini seperti pesta pora orgasme liar, dan dunia hanya milik mereka saja!” sahut Trisha dengan berang set
Trisha dan Desmond berdiri saling bertatapan, gelombang kemarahan dan kekesalan berhamburan bolak-balik di antara keduanya bagaikan loncatan bunga api listrik yang saling menyambar-nyambar. Mereka saling melotot, Desmond dengan seringai nakalnya dan Trisha dengan cibiran sinisnya. Sampai akhirnya Trisha memalingkan muka saat menyadari keempat teman mereka telah terdiam, begitu pula dengan setiap tamu lain di sekitar mereka yang menatap kedua orang itu dengan ekspresi penasaran. Merasakan tangan kecil menyentuh bahunya, Trisha berbalik cepat dan menatap Janice. “Tenanglah, Trish. Tahan dirimu. Jangan bikin ribut di rumah klienku, oke?” bisiknya, tersenyum malu pada Desmond. Trisha menatap Janice dan berpaling ke arah Desmond lagi, mendapati pria itu sudah bergabung dengan kedua temannya. “Aku nggak akan bilang kalau aku kenal dia, tapi aku cukup mengenal aktivitasnya tiap malam,” jawab Trisha dengan gigi terkatup. Mata Trisha mengerjap seperti anak kecil polos yang menyimpan rahasi
Menyadari apa yang baru saja terjadi, Trisha segera menarik diri, sementara jari-jari mereka masih saling bertautan. Dia segera menarik tangannya dengan berang. Desmond tampak terkejut, terlebih lagi saat Trisha berusaha mendorongnya menjauh. Reaksi gadis itu membuatnya tercengang. "Sial!" pekik Trisha, dan beringsut mundur. Mereka saling memandang dengan garang, sementara Trisha mengusap bibirnya. Dia seolah bisa merasakan bibir basah Desmond masih melekat di bibirnya. Dia siap beranjak pergi tetapi kemudian berbalik dengan cepat. "Dengar! Ini nggak akan kumaafkan karena sudah keterlaluan!" "Terserah apa katamu." Desmond menyeringai, dan Trisha kembali merasakan amarahnya berkobar. "Aku juga nggak mau dengar kamu menyebutku Gadis Bergaun Tidur Merah lagi!" pekiknya tertahan, lalu berjalan kembali menyusuri jalan setapak. "Sampai aku bisa lihat baju tidurmu yang lain, aku akan tetap memanggilmu begitu," balasnya. Mendengar ini, Trisha hampir tersandung tetapi dia tidak berbalik
Minggu sore itu begitu cerah. Pada pukul tiga, Trisha menenteng peralatan melukisnya ke taman East Coast Park di tepi pantai. Di sebuah bangku beton di bawah naungan pohon Angsana yang teduh, dia mulai menggoreskan kuasnya pada kanvas putih. Kedua telinganya tersumbat earphone yang memperdengarkan alunan instrumental, sejenak mengungkung diri dari kebisingan dunia luar. Saat mentari perlahan-lahan beringsut ke peraduannya dan lembayung senja mulai menampakkan semburatnya di ufuk barat, para pengunjung di taman itu berangsur-angsur mulai berkurang. Sampai saat ini hanya tersisa segelintir orang yang menyusuri jalan setapak. Ada yang berpasangan atau bersama anak-anak mereka, ada pula yang sendiri, dan ada yang mengajak anjing mereka berjalan-jalan. Beberapa anak kecil juga terlihat masih berkeliaran di taman bermain di kejauhan. Trisha menenggelamkan dirinya dalam serangkaian goresan cat akriliknya. Sejenak tatapannya tenggelam ke dalam peliknya kegelapan di kejauhan. Dia hanyalah d
Pada suatu sore sepulang bekerja. Trisha sedang asyik membaca buku di sudut favoritnya dekat jendela ketika sebuah panggilan telepon masuk dari nomor asing. Ternyata peneleponnya adalah Greta Florence yang ingin mengundangnya makan malam di The Paradise Laguna, sebuah restoran Barat mewah di teluk Marina. Malam itu, dengan mengenakan gaun malam putih sederhana, Trisha memenuhi undangan dan bertemu dengan Greta di tempat yang dijanjikan. Seorang pelayan mengantarnya ke ruang VIP yang sudah dipesan khusus dan menemui Greta yang sudah menunggunya di dalam. Wanita tua itu tampak anggun dengan gaun malam hitam yang elegan rancangan Elan Vital, desainer ternama sedunia. Semua ini menunjukkan bahwa wanita ini sangat kaya raya. "Hai, Trish!" sapa Greta dengan hangat. Mereka pun tertawa dan berpelukan dengan erat. Beberapa saat kemudian seusai makan malam. Sambil menyesap anggur non-alkohol, Trisha menatap Greta dan berkata, "Sudah hampir dua bulan kita tidak bertemu, ya? Sepertinya suda
Ada banyak kenangan buruk yang sepertinya tak terlupakan. Terkadang Trisha benar-benar berharap bisa melupakannya dan melanjutkan hidup. Namun, ada alasan mengapa sebagian dari dirinya masih mengingatnya. Dia lebih suka mengingat sesuatu yang buruk sebagai pengingat daripada mengambil risiko merasakan penderitaan lagi saat tanpa sadar terjerumus ke dalamnya.Membicarakannya dengan orang lain bukanlah hal yang mudah. Itu seperti mengorek-ngorek kembali luka lama yang menimbulkan rasa sakit luar biasa dan membiarkan orang lain melihat kerapuhannya pada titik yang paling rendah.Trisha termangu-mangu sejenak, sementara Greta masih menatapnya. Dia tidak yakin apakah dia siap untuk ini. Selama ini dia selalu hidup dalam dunianya sendiri dan tidak mengizinkan siapa pun melewati batas yang sudah dibangunnya. Hanya karena takut terluka lagi, dia tidak ingin memercayakan hidupnya pada orang lain. Namun, dia merasa sangat lelah.Dia menghela napas, lalu berkata dengan tak berdaya, "Dua bulan ya
Greta memain-mainkan gelas anggur di tangannya, lalu menatap Trisha dan berkata, "Sering kali korban yang mengalami perlakuan kasar itu merasa lemah dan bodoh. Menurut pengamatanku, orang-orang yang menjadi korban itu sebenarnya individu yang sangat baik, penyayang dan inspiratif." "Mereka menjadi korban perlakuan kasar karena mereka ingin memedulikan orang-orang tersayang di sekitar mereka. Mereka menginginkan yang terbaik untuk keluarga dan teman-teman mereka. Mereka sering terlibat dalam hubungan yang merusak karena fakta ini." "Mereka benar-benar menginginkan yang terbaik untuk pelakunya, tetapi seberapa pun kerasnya mereka mencoba, tampaknya nggak pernah berhasil, jadi mereka berusaha lebih keras, dan lebih keras lagi! Ini menunjukkan ketekunan dan kegigihan yang besar, kekuatan dan kasih sayang yang besar. Semua sifat hebat yang akan membantu mereka melarikan diri!" "Adapun pelaku kekerasan itu sebenarnya adalah individu yang sangat lemah dan merasa tak berdaya. Jika kamu renu
Orang bilang kebahagiaan itu lebih besar daripada kesedihan dan yang lain berpendapat kesedihan itu lebih besar daripada kebahagiaan. Namun sesungguhnya kedua hal itu berjalan seiring dan tidak dapat dipisahkan. Bagaikan dua keping mata uang. Bagaikan dua sisi gelap dan terang rembulan. Cara pandang setiap orang berbeda-beda tergantung bagaimana cara mereka memandang dan situasi yang mereka hadapi. Greta dan Trisha memiliki kemampuan istimewa yang sama tetapi menghadapinya dengan cara yang berbeda. Sementara Trisha berusaha menekan kemampuan istimewanya dengan penderitaan hidup yang dialaminya, Greta membiarkannya berkembang tak terkendali hingga berujung tragedi demi tragedi dalam hidupnya. Dia pernah membaca riset yang dilakukan oleh para peneliti. Kemampuan membaca pikiran bisa terjadi berkat kerja sistem saraf di otak. Bagian otak ini bisa dibilang sebagai pusat kendali ketika berinteraksi dengan orang lain. Saat mencoba berbagai cara membaca pikiran orang lain, bagian ini bek