Setelah empat malam berturut-turut menjadi saksi bisu gempa bumi lokal dengan Skala Richter level maksimum yang sudah memangkas jam tidurnya, dia memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi.
Minggu malam, ketika ruangan sebelah terdengar sepi, Trisha memutuskan untuk menulis selembar surat. Bukan surat cinta tentunya. Peringatan resmi ini akan ditujukan kepada Desmond. Semoga pria itu mau menghargai niat baiknya.
Surat itu berbunyi begini:
"Tuan Desmond yang terhormat. Mohon waktu dan kesediaannya sebentar untuk membaca surat ini. Terus terang saya merasa terganggu dengan aktivitas Anda tiap malam. Alangkah baiknya kalau Anda sedikit berempati dengan lingkungan sekitar sehingga tidak ada yang akan merasa terganggu dan dirugikan karenanya. Mohon perhatian dan kerjasamanya. Terima kasih. Dari tetangga sebelah."
Trisha sengaja tidak membubuhkan namanya supaya tidak terlalu mengungkap banyak tentang dirinya. Dia membaca ulang surat itu sekali lagi. Setelah merasa sudah cukup puas dengan hasilnya, dia buru-buru keluar dan menempelkan surat itu di pintu ruangan sebelah.
Tanpa dinyana, begitu Trisha kembali ke ruangannya, pintu ruangan sebelah terbuka. Seorang pria tampan berambut cokelat gelap muncul dari balik pintu seraya mengerutkan keningnya. Dia hanya mengenakan celana boxer dan bertelanjang dada, memperlihatkan dadanya yang bidang.
Pria itu adalah Desmond Zachery, si biang kerok yang akhir-akhir ini sudah mengusik kepompong ketenangan dan perlindungan Trisha.
Matanya tertuju pada ruangan sebelah tempat Trisha tinggal lalu menatap secarik kertas yang ditempelkan di pintu. Setelah membacanya sebentar, seulas senyum culas terukir di bibirnya. Diambilnya surat itu dan dibawanya masuk ke ruangan, lalu pintu menutup setelahnya.
***
Hari ini adalah hari pertama Trisha masuk kerja setelah cuti selama tiga minggu.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit dengan MRT, Trisha keluar dari stasiun MRT dan berjalan santai menuju gedung kantornya, C Design Decor. Kantornya berada di daerah Outram Road, bagian kota yang paling indah menurut pandangannya.
Deretan bangunan kuno dengan nuansa romantis yang memikat, jalan-jalan yang tenang, area taman hijau di setiap sudut, dan pemandangan puncak-puncak bangunan tinggi yang fantastis. Beberapa bangunan tua yang lebih besar telah diubah menjadi gedung komersial atau perkantoran, dan gedung kantornya adalah salah satunya yang terbaik.
Trisha menghela napas saat memasuki gedung kantornya. Seorang gadis cantik berambut panjang bernama Serena Chu, sedang menunduk sambil mencatat sesuatu di meja resepsionis saat Trisha membuka pintu kaca depan.
"Hey, girl! Gimana kabarmu?” Serena bertanya, matanya berseri-seri.
"Baik. Trims,” sahut Trisha.
"Aku turut prihatin atas kecelakaan yang menimpamu. Apa kamu yakin sudah benar-benar pulih dan siap bekerja kembali?"
"Aku nggak pernah sesegar ini sebelumnya. Aku masuk dulu, ya," ujarnya seraya mengangguk dan melambaikan tangannya.
Setelah menyapa beberapa rekannya yang sudah datang, Trisha memasuki ruangannya.
Atasannya, Charles Mao, ingin setiap desainer yang bekerja untuknya memiliki ruang mereka sendiri. Selain demi kenyamanan kerja, itu sekaligus merupakan cara promosi untuk menunjukkan kepada calon klien tentang apa yang bisa mereka dapatkan dengan menyaksikan sendiri rancangan ruang kerja menurut gaya unik masing-masing desainer.
Charles mengepalai konsultan desainnya sendiri. Setelah Trisha menyelesaikan masa magangnya selama tahun terakhir kuliah di desain interior, Charles mempekerjakannya dan membagikan pengalaman terbaik yang bisa dimiliki oleh seorang desainer muda.
Di usia tiga puluhan, Charles memperoleh nama di himpunan desainer interior di awal kariernya. Dia menantang tren konvensional, menjadi salah satu dari segelintir desainer pertama yang menyapu bersih desain klasik dan Art Deco dari peta perencanaan desain modern, dan telah menjadi trendsetter awal dalam menghadirkan kembali pola-pola netral yang geometris dan bersih dari tampilan "modern" yang sekarang sedang populer.
Charles tipe orang yang aktif, ambisius, suka tantangan, cerdas, memiliki naluri pembunuh dan mata yang lebih tajam terhadap detail. Namun, bagian yang terburuk tentang pengalaman bekerja dengannya? Orang itu terkadang sangat nyinyir dan menyebalkan.
Seperti pagi ini ketika Trisha sedang duduk di hadapan Charles, dia menahan godaan untuk menempeleng kepala pria itu.
Charles melambaikan keripik kentang di atas sketsa desain yang telah Trisha kerjakan selama dua minggu terakhir sebelum cuti kerja, menyisakan remah-remah berminyak yang berjatuhan di atas kertas.
Trisha mencengkeram pegangan kursinya menahan kesal dan mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke meja. "Apa yang nggak kamu suka dari desain ini?"
Charles memberi isyarat dengan jari masih memegang keripik kentang, menggeser jari-jarinya yang bebas pada contoh gambar langit-langit tipe Tray Ceiling, model langit-langit dengan bagian tengahnya berbentuk persegi dan terangkat menjorok ke atas.
"Yang ini sedikit rumit."
"Jadi gimana menurutmu?"
“Menurut kesanku, klien istimewa ini menginginkan sesuatu yang lebih … praktis.”
“Mereka nggak pernah bilang praktis, cuma bilang murah.”
"Sama aja."
“Kita sedang merenovasi interior salah satu rumah paling mewah di Singapura, Bos. Estetis nggak harus mahal.”
"Jika kamu ingin membuatnya terlihat lebih estetis menurutmu, kerjakanlah seperti idemu." Charles menjauhkan toples keripik kentang lalu melipat kedua tangannya di belakang lehernya. Jambul tipisnya bergeser lebih tinggi ke dahinya. "Oke, siapkan semua berkasnya. Aku ingin kamu mendapatkan klien baru hari ini. Jam berapa mereka datang?”
Tiba-tiba ponsel di saku depan Trisha berdengung. “Jadwal pertemuan pukul sepuluh,” sahutnya, seraya mengeluarkan ponselnya. Nomor ibunya menyala di layar. Dia mengerutkan alisnya. Mengapa ibunya menelepon pada jam kerja?
“Mari kita lihat ide apa lagi yang bisa kita munculkan sebelum pertemuan itu. Akan lebih baik bila memberi mereka beberapa opsi yang bisa mereka pilih, ‘kan?"
“Ah ya, Tuan dan Nyonya Gardner akan segera tiba. Aku sudah menyiapkan presentasi dan semua rencana untuk mereka. Menurutku mereka akan sangat menyukai ide desain ulang kamar tidur mereka. Kita dapat menawarkan rancangan ruang duduk dan kamar mandi yang sama sekali baru.”
"Aku percaya padamu. Bisakah kamu jelaskan ide-idemu saat kita makan siang nanti?"
"Oke."
"Kamu tahu, Trish, jika hari ini kamu bisa mendapatkan klien, itu akan menjadi keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan," kata Charles sambil menatapnya.
"Tunggu saja sampai kamu melihat apa yang kubuat untuk taman atap baru mereka."
“Mereka nggak punya taman atap.”
"Belum," sahut Trisha, mengangkat alisnya dan menyeringai jahat.
“Bagus!” Charles tersenyum. “Kita nggak bisa kehilangan klien saat ini. Kalau sampai mereka menolak kita, itu bukan pertanda baik untuk kita semua.”
Trisha mengangguk dengan tatapan menerawang jauh. Lututnya terasa lemas saat dia berjalan menuju ruang kerjanya.
Beberapa menit kemudian, dia menekan pesan suara dengan risau dan menunggu sampai suara khawatir ibunya memenuhi telinganya. “Trish, ini Ibu. Hubungi Ibu secepatnya. Ini penting!"
Trisha menarik ponsel itu dari telinganya dan menatapnya. Itu saja? Nggak ada detail lain? Nggak ada petunjuk mengapa ibunya menelepon? Ini tidak seperti ibunya yang biasanya impulsif. Nggak! Hei, Trish, jangan khawatir; ini bukan berita buruk, hiburnya dalam hati. Pesan suara singkat itu menyebabkan otot-otot bahunya menegang, membuatnya tidak punya pilihan lain selain menelepon balik. Dia mengangkat ponselnya, memencet nomor ibunya, sambil tangannya yang lain memain-mainkan tutup cangkir kopinya yang tinggal separuh. Tanpa sengaja tangannya malah menyenggol cangkir itu hingga membuatnya terguling, menumpahkan cairan hangat di atas meja dan membasahi sketsanya. Menghela napas kuat-kuat, dia menegakkan cangkir kembali dan mengangkat mapnya. Dia merobek segumpal tisu dari kotak di dekat komputernya dan mengusap kertas yang terkena tumpahan kopi. Itu tidak ada gunanya. Kopi yang tumpah telah mengubah halaman putih bersih menjadi belang-belang cokelat dan basah. “Trish? Itu kamu?
Sepulang bekerja malam itu, Trisha duduk di sofa seraya menikmati pemandangan kota yang indah di malam hari dari kaca jendelanya. Namun, suasana indah di luar sana tidak sanggup meredakan hatinya yang carut-marut berkecamuk hebat. Mungkin dia berhasil lari dan menyembunyikan diri dari Arthur Jefford, tetapi dia tidak menyadari bayang-bayang masa lalu masih terus memburunya bagai hantu dalam berbagai wujud. Sampai kapan ini berakhir? Dia mengeluh dan batinnya menangis pedih.Setelah menguatkan hati, dia memenuhi janjinya untuk menghubungi ibunya lagi. Begitu telepon tersambung, terdengar suara gelisah ibunya di seberang."Oh, Sayang. Akhirnya kamu menelepon lagi. Ibu sudah menunggumu sejak siang tadi.""Ibu tahu kalau aku harus bekerja.""Mereka baru saja menelepon lagi.""Siapa, Bu? Para penagih utang?" sahut Trisha dengan resah."Ya, tentu saja! Sebaiknya jangan terus mengulur waktu untuk membayar utangmu. Mereka mengancam akan menyebarkan semua data pribadimu dan mempermalukanmu ke
Sebenarnya Trisha tidak perlu khawatir soal pekerjaan. Dia memiliki pekerjaan tetap yang bagus sebagai desainer interior. Namun, gajinya hanya cukup untuk membayar sewa apartemen bulanan, biaya hidup, dan menyisihkan sedikit untuk membayar pinjaman. Selain menulis di berbagai blog dan situs online, dia membutuhkan sumber penghasilan lain untuk mengeluarkannya dari kesulitan ini. Perlahan Trisha bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia membuka laptop dan mulai menjelajah situs-situs lowongan kerja untuk pekerja lepas sembari memikirkan kira-kira pekerjaan sambilan apakah yang tepat untuknya saat ini. Pencarian isengnya berakhir pada beberapa pekerjaan yang aneh dan konyol dengan bayaran menggiurkan. Bekerja sebagai putri duyung. Oh tentu tidak! Walaupun bayarannya lumayan, dia bergidik ngeri saat membayangkan dirinya harus mengenakan pakaian minim yang memamerkan perut dan belahan dadanya. Selain itu, dia tidak bisa berenang. Mana mungkin ada putri duyun
Beberapa malam berikutnya suasana sangat sunyi, tepat seperti yang diinginkan Trisha. Tidak ada benturan pada dinding, tidak ada erangan, tidak ada teriakan di tengah malam buta, dan tidak ada tawa cekikikan mesum. Segala sesuatu di sekitar apartemen itu sangat menyenangkan, tenang, dan tentram. Saat sedang senggang, Trisha menyempatkan diri berjalan-jalan di taman atau jalan sekitar kompleks apartemen. Dia juga mulai berkenalan dengan para petugas keamanan di apartemen itu, termasuk Johan Bisaam, seorang pria Melayu dan Lakshmi Krishna, wanita keturunan India Tamil. Mereka berdua sangat baik dan ramah padanya sehingga mereka pun cepat akrab. Trisha belum pernah mendengar atau melihat Desmond sejak terakhir kali dia menempelkan catatan kecil di pintu kamar pria itu. Kendati dia bersyukur untuk tidur malam yang menyenangkan, tak urung rasa penasarannya tergelitik tentang ke mana Desmond menghilang selama beberapa hari ini. Johan dan Lakshmi dengan senang hati memberikan informasi ya
Sayangnya, ketenangan dan kesunyian ini terlalu indah untuk bertahan lama, dan kekacauan kembali terjadi beberapa malam berikutnya. Namun, untuk saat ini, Trisha marah karena beberapa alasan dan menjadi gusar. Dia sangat lelah lahir dan batin, memar di pantatnya masih terasa nyeri, dan ibunya kembali menelepon dengan kemarahan yang meledak-ledak. Pasalnya, Trisha tidak tahu harus berbuat apa. Usahanya menjual beberapa lukisan dan desain furnitur belum membuahkan hasil sama sekali, sementara utangnya bagaikan kawanan ular berbisa yang mengelilinginya hingga terus menyudutkannya. Setelah tidur malam yang singkat, keesokan paginya dia bangun kesiangan dengan mata masih mengantuk berat. Alhasil, dia menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa dalam perjalanan menuju kantor. Seluruh hari itu benar-benar sial. Ada masalah dengan kontraktor di rumah keluarga Gardner sehingga menunda pekerjaan mereka gara-gara kesalahan pesanan material khusus untuk furnitur yang diimpor langsung dari luar neg
Dibayang-bayangi oleh cahaya temaram lorong dari belakang, di sana Desmond berdiri dengan satu kepalan tangan terangkat yang siap memukul dan tangan lainnya memegang selimut yang melingkari pinggulnya. Trisha memandanginya dari ujung rambut dan ujung kaki, tangannya juga masih mengepal dan menggantung di udara. Tangan kirinya masih berdenyut-denyut setelah memukul-mukul tembok begitu keras dengan semangat juang tinggi. Desmond memiliki rambut cokelat gelap yang lebat tetapi terlihat acak-acakan dan mencuat di sana-sini, kemungkinan ulah wanita yang bercumbu dengannya malam ini. Mata abu-abunya tajam seperti mata elang yang tampak tajam dan dalam, dan tulang pipinya sekuat rahangnya. Lapisan jenggot tipis memenuhi dagunya. Bibir merahnya agak tipis dan hidungnya mancung. Raut wajahnya memperlihatkan gurat-gurat oriental bercampur keturunan bule yang eksotis. Trisha menatap tubuh pria itu yang jangkung dan ramping, otot-otot di lengannya membuatnya terlihat sangat kekar. Kulitnya saw
Beberapa malam berikutnya ... Trisha memenuhi ajakan Janice dan Keyra untuk menghadiri pesta seorang teman Janice di kawasan pemukiman mewah di Cluny Road. Mereka pergi ke tempat pesta itu menggunakan mobil tumpangan dari app Joyride. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol seru tentang penghuni sebelah apartemen Trisha. Siapa lagi kalau bukan Desmond? "Jadi, kamu nggak pernah lihat dia lagi sejak bertemu dengannya malam itu?" tanya Janice. "Nggak," sahut Trisha dengan mengerang. Keyra menyentuh lengannya menenangkan. “Dia ganteng, 'kan?” “Jujur—ya! Terlalu ganteng untuk diabaikan. Tapi dia juga sangat brengsek!” sahut Trisha dengan menepakkan tangannya ke jok begitu keras sehingga membuat sang pengemudi terlonjak kaget. Janice dan Keyra saling bertukar pandang dengan tersenyum simpul. “Dan kemudian esok paginya, dia berada di lorong bersama wanita lain lagi, menciumnya mesra! Ini seperti pesta pora orgasme liar, dan dunia hanya milik mereka saja!” sahut Trisha dengan berang set
Trisha dan Desmond berdiri saling bertatapan, gelombang kemarahan dan kekesalan berhamburan bolak-balik di antara keduanya bagaikan loncatan bunga api listrik yang saling menyambar-nyambar. Mereka saling melotot, Desmond dengan seringai nakalnya dan Trisha dengan cibiran sinisnya. Sampai akhirnya Trisha memalingkan muka saat menyadari keempat teman mereka telah terdiam, begitu pula dengan setiap tamu lain di sekitar mereka yang menatap kedua orang itu dengan ekspresi penasaran. Merasakan tangan kecil menyentuh bahunya, Trisha berbalik cepat dan menatap Janice. “Tenanglah, Trish. Tahan dirimu. Jangan bikin ribut di rumah klienku, oke?” bisiknya, tersenyum malu pada Desmond. Trisha menatap Janice dan berpaling ke arah Desmond lagi, mendapati pria itu sudah bergabung dengan kedua temannya. “Aku nggak akan bilang kalau aku kenal dia, tapi aku cukup mengenal aktivitasnya tiap malam,” jawab Trisha dengan gigi terkatup. Mata Trisha mengerjap seperti anak kecil polos yang menyimpan rahasi
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-
Sejak mengetahui kemampuan istimewanya, Trisha rela memberikan apa pun untuk menjadi orang normal seperti adiknya Roy. Dia tidak tahu kapan pertama kali menyadari bahwa dia memiliki apa yang disebut banyak orang sebagai Mata Ketiga, Kekuatan Pikiran, Intuisi, Kepekaan Batin, Indra Keenam, Mata Batin atau apa pun istilah lainnya. Dia tidak akan dapat memperkirakan kapan semuanya berawal. Beberapa orang juga percaya bahwa setiap orang dapat memiliki kemampuan psikis yang dapat diaktifkan atau ditingkatkan melalui studi dan praktek berbagai disiplin ilmu dan teknik seperti meditasi dan ramalan, dengan sejumlah buku dan situs yang ditujukan untuk instruksi dalam metode ini. Keyakinan populer lainnya adalah bahwa kemampuan psikis bersifat turun temurun, dengan orang tua mewariskan kemampuan istimewa itu kepada anak-anak mereka. Kemampuan yang dimiliki Trisha dimulai seperti biji benih kecil yang kemudian tumbuh sedikit demi sedikit, cukup lambat sehingga dia bahkan tidak menyadarinya. Me
Manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan tiba. Beberapa orang berada dalam keadaan sakit, yang memberikan suatu pertanda, seperti mendung pekat disertai angin kencang yang menandakan badai akan tiba. Akhir kehidupan mereka sudah dekat. Namun banyak lagi yang lainnya mengalami kematian tanpa peringatan sama sekali, dalam momen tak terduga yang membelah dunia menjadi dua batas dalam sekejap, memisahkan antara yang hidup dari yang mati. Dia pernah mencicipi kematian. Ya, dia pernah mati. Padahal usianya pun belum menginjak tujuh belas tahun tetapi Malaikat Maut telah menjemputnya. Namun dia berhasil menipu kematian. Beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ketujuh belas, semuanya berubah. Dia dilarikan ke rumah sakit dengan ambulans dalam keadaan tak sadarkan diri. Untunglah dia sampai di sana tepat waktu. Waktu itu tubuhnya sudah dingin dan kaku. Dia mengalami hipotermia karena suhu tubuh yang menurun drastis hingga mengancam nyawanya. Semua ini terjadi karena kecelakaan yan
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Dia tidak berani memperhatikan sekelilingnya lagi, khawatir akan menyaksikan wajah-wajah mengerikan lainnya. Akhirnya dia lebih memilih untuk menundukkan kepala atau menatap ponselnya sampai MRT membawanya ke tempat tujuan. Detak jantung Trisha melonjak kaget saat seorang wanita tua di sebelah kiri tiba-tiba menyentuh pundaknya. Mungkin karena terhanyut dalam pikirannya sehingga dia tidak menyadari ketika wanita itu duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nona? Sepertinya terjadi sesuatu padamu." Trisha hanya menggelengkan kepalanya dan mengibaskan tangannya dengan pelan. "I'm good. Thank you (Aku baik-baik saja. Terima kasih)." Kepala Trisha dipenuhi dengan banyak pertanyaan campur aduk yang membuatnya bingung. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa dia menyaksikan penglihatan aneh ini. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia lihat. Otot-otot di tubuhnya benar-benar menegang. Dia tidak ingin wanita asing itu menyentuhnya. Namun apa boleh bu