"Ayo!" ajak Aira saat Manggala masih tetap bergeming di sofa sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Eh! Sudah selesai?" Manggala tergagap. Dilihatnya Aira telah siap dengan satu koper besar dan ransel hitam kesayangan yang tersampir di pundak. "Tante melarang Aira membawa terlalu banyak baju, karena dia harus sering-sering kemari," tegas Mira. "Tentu, Tante! Tidak masalah." Manggala menyunggingkan senyuman cerah. "Sini, biar kubawakan," ujarnya seraya merebut pegangan koper Aira dan membawanya menuju mobil. Saat Aira hendak mengikuti langkah suaminya, Mira langsung mencekal lengan keponakan tersayangnya itu. "Kenapa, Tante?" tanya Aira heran. "Nggak tahu, tapi hati Tante nggak nyaman," ungkap Mira dengan sorot sendu. "Mungkin karena terlalu terkejut," hibur Aira. Diusapnya lembut bahu sang tante. "Mungkin. Semoga saja ini hanya perasaanku saja." Mira mengempaskan napas pelan. "Aku tidak bisa menilai karakter dan kejujuran atasanmu itu. Rautnya misterius sekali," keluhn
"M-maksudnya? Bukankah pernikahan kita ini cuma sandiwara?" Aira menelan ludah. Keringat dingin muncul membasahi dahi saat melihat tatapan dan mimik Manggala yang seakan ingin memakannya. "Ya, ampun!" Manggala tergelak. "Kamu mikir apa, Ra? Aku cuma bercanda. Lagian, kewajiban istri kan macam-macam. Nggak cuma di ranjang. Ternyata, pikiran kamu mesum juga, ya," ledeknya. "Angga!" seru Aira tak terima. Manggala tertegun sejenak mendengar panggilan kesayangan yang pernah disematkan Aira untuknya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dia kembali tertawa renyah. Manggala menyembunyikan segala gundah dan kecewa dalam hati. Sebenarnya, perkataannya tadi serius. Namun, melihat bahasa tubuh Aira yang sama sekali tak menampakkan kenyamanan, membuat Manggala paham bahwa sepertinya sudah tak tersisa sedikit pun rasa cinta untuknya. "Kamu siap-siap, deh. Kita berangkat ke kantor sama-sama," titah Manggala. "Sama-sama? Memangnya tidak apa-apa?" tanya Aira ragu. "Sekadar berangkat ba
"Mr. Naradipta?" Tidak mungkin!" Aira terkekeh. "Kenapa tidak? Dia tampan dan mapan," sanggah Brandon. "Tapi dia ...." Aira buru-buru membungkam bibirnya sendiri. Jangan sampai dia kelepasan memberitahu Brandon bahwa Manggala telah menikah dengannya. "Apa?" Brandon mengernyitkan dahi curiga. "Tidak ada. Lupakan!" Aira mengibaskan tangan. Gugup sebenarnya, tapi dia harus berpura-pura santai supaya rekannya itu tak curiga. "Nanti makan siang sama-sama, ya. Di restoran depan kantor," ajak Brandon sebelum memulai kesibukannya di studio sebelah, yang hanya terpisah oleh sekat dinding berbahan kaca. Aira mengacungkan dua jempol sebagai isyarat jika dirinya setuju. Sama sekali tak terbersit dalam pikiran Aira untuk meminta izin atau mengabari Manggala. Toh, suaminya sendiri yang meminta untuk merahasiakan pernikahan ini. Dua jam berkutat dengan pekerjaan, kini saatnya Aira harus beristi
Aira buru-buru melepas helm Brandon. Rencananya, dia akan segera berlari masuk ke rumah sebelum Mira memergokinya pulang berdua dengan pria selain Manggala. Bukan apa-apa, Aira hanya malas dicecar pertanyaan oleh tante cerewetnya itu. "Ini! Terima kasih tumpangannya, ya." Aira segera menyodorkan pelindung kepala berwarna coklat itu pada Brandon. "Tunggu! Kau tidak mengajakku masuk? Apa tidak ingin menawarkan kopi atau semacamnya?" tuntut Brandon tak tahu malu. Aira langsung melotot. Sepertinya gestur itu sudah menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini. "Aku tidak bisa. Di dalam ada ...." "Aira!" Belum selesai Aira merangkai kalimat, sang tante sudah keluar menghampirinya dengan langkah tergesa. "Siapa lagi ini?" Nada suara Mira semakin meninggi. "Eh, ini .... Di-dia rekan kerjaku, Tante. Kenalkan, namanya Brandon," ucap Aira terbata. Merasa tak ada gerakan apapun dari pria di sampingnya, Aira pun menyenggol lengan Brandon. "Ah, oh, hai! Senang berkenalan dengan anda, Nyonya,"
"Aku sibuk, Cynthia. Mengertilah. Selama tiga hari ke depan, aku harus menemanimu. Jadi, aku memutuskan untuk tidak ke kantor. Oleh karena itu, aku mesti bekerja dari sini," terang Manggala. Mendengar hal itu, Cynthia tertawa getir. "Kau menemaniku, tapi sibuk dengan pekerjaanmu. Sama saja," cibirnya. "Terus? Aku harus bagaimana?" tanya Manggala. "Kamu berubah ...." Air muka Cynthia mendadak sendu. "Berubah?" ulang Manggala. Tak lupa dia menyunggingkan senyuman tipis, berusaha supaya terlihat tenang di hadapan sang kekasih. "Apa ada yang kau sembunyikan dariku?" selidik Cynthia. "Ya, ampun." Manggala tergelak. Dia berinisiatif menghampiri Cynthia yang masih mematung di ambang pintu sambil membawa sekeranjang bunga. Dipeluknya tubuh molek nan seksi itu erat-erat demi meredakan kegalauan kekasihnya. "Maaf, ya. Sudah membuatmu curiga dengan sikapku," ucap Manggala. "Kau pasti lelah, ya? Terlalu banyak tekanan dalam pekerjaan bisa membuat stress," terka Cynthia. "Aku bisa me
"Ngga, terima kasih.." Aira tak henti-henti mengucapkan kata itu. Mungkin sudah puluhan kali. Namun, rasanya tak cukup untuk membalas kebaikan Manggala, pria yang dulu pernah dilukainya. "Santai saja, Ra. Anggap saja kita sama-sama diuntungkan. Kamu selamat dari gangguan Jati dan Senja, sedangkan aku ...." Aira mengernyit saat Manggala sengaja menggantung kalimatnya. "Kamu tahu sendiri, kan? Menikahimu adalah keinginanku sejak dulu," ujar Manggala lirih. Aira tertegun. Lekat, iris mata coklatnya memindai wajah tampan yang hanya berjarak beberapa senti darinya itu. Kata-kata Manggala terdengar pelan dan datar. Namun, siapa sangka jika bisa menggetarkan kalbu Aira. Debar jantung yang semakin lama semakin menggila, membuat Aira sesak napas. Selemah inikah dia menghadapi laki-laki? Dulu Jati, sekarang Manggala. Sungguh, Aira tak ingin terjatuh lagi. "Kamu mungkin menganggapku pecundang. Tapi, inilah yang kurasakan, Ra. Aku jatuh cinta padamu, sejak pandangan pertama." Manggala
"Mama!" Aira menghambur ke pelukan ibunya. "Kok bisa mama ada di sini?" "Manggala yang mengundang kami semua, Ra. Dia juga yang memberikan tiket akomodasi," sahut seseorang yang kini berdiri di belakang ibunda Aira. "Kak Sinta? Kak Wildan?" seru Aira. Terkejut, sekaligus bahagia karena ternyata Manggala tak hanya mendatangkan sang ibu, melainkan juga kakak kandung serta kakak iparnya. "Ngga, kenapa kamu nggak cerita?" Aira mengalihkan pandangan ke arah Manggala yang sejak tadi setia mengikuti di sampingnya. "Namanya juga kejutan." Manggala tersenyum manis seraya membelai lembut pipi Aira. Mendapat perlakuan semanis itu, sontak Aira tersipu. "Semoga ini menjadi pernikahan terakhirmu, Ra. Kuharap kalian selalu bersama sampai maut memisahkan dan bahagia selamanya." Kali ini, bait-bait doa tulus dilantunkan oleh Mira, sang tante yang ternyata juga berada di sana. "Senang rasanya melihat kalian semua berkumpul," ucap Aira penuh haru sekaligus meragu. Dia masih merasa tak percaya
"Jangan khawatir, Senja. Tidak ada dalam kamusku, menyakiti sesama perempuan. Aku anti merebut milik orang lain. Apalagi orang itu tidak pernah mencintaiku sejak awal," timpal Aira kalem. Dia sama sekali tidak berniat menyindir. Apa yang Aira ungkapkan hanyalah kenyataan. "Jangan terlalu berpikir macam-macam. Jalani saja hidupmu bersama Kak Jati dengan bahagia," sarannya. "Tapi, apa kamu bahagia, Ra?" sela Jati, tak memedulikan raut sendu istrinya. "Kak Jati bisa melihat dan menilai sendiri, kan?" Aira melingkarkan tangan di lengan Manggala dan bergelayut manja. Tanpa sungkan, dia menyandarkan kepala di pundak lebar sang suami. Manggala juga tampak tak keberatan. "Syukurlah." Jati memaksakan senyum. Sorot mata sejuta arti, dia layangkan pada Aira. Entah apa maksud tatapan itu, Aira tak peduli. Baginya, kisah bersama Jati sudah selesai dan tak ingin dia buka lagi lembaran kelam itu. Beruntung, Jati dan Senja tak berlama-lama di pesta. Mereka segera berpamitan setelah menikmati
Mira tampak cemas. Mondar-mandir di depan kamar tempatnya menginap bersama Aira. Sementara Enzo sudah pulas tertidur. "Kenapa Aira belum pulang juga?" gumamnya. Tak hanya Aira, Alex pun tak nampak. "Ck! Ditelepon juga tidak bisa," gerutu Mira. Beruntung, kegalauan itu berakhir ketika dia melihat langkah tiga orang yang semakin mendekat ke arahnya. "Ra!" seru Mira. Panik dirinya melihat Aira yang berjalan di tengah dua orang bule tampan. Keponakannya itu sedang dituntun oleh Brandon dan Alex. "Apa yang terjadi?" tanya Mira was-was. "Hanya kecelakaan kecil, Tante," jawab Aira, berusaha sesantai mungkin karena tak ingin membuat tantenya resah. "Bagaimana bisa?" "Aira terpeleset. Kakinya terkilir," sahut Alex sebelum Aira sempat membuka mulut. "Ya, Tuhan!" Mira segera mendekat dan merengkuh sang keponakan, lalu membawanya masuk ke kamar. Namun, baru saja Mira hendak mendorong daun pintu agar terbuka lebih lebar, Alex lebih dulu memanggilnya. "Saya sudah menerima hasil pe
Mira berdiri mematung di ambang pintu. Dia diam saja saat Manggala asyik bercengkerama dengan Enzo. Balita 1,5 tahun itu seakan telah mengenali Manggala sejak lama. Terbukti, Enzo sama sekali tak merengek saat Manggala mengangkat tubuh mungilnya, melempar Enzo ke udara, lalu menangkapnya lagi. "Pap ... pap," celoteh bocah menggemaskan itu. "Iya, Nak. Aku papamu," ucap Manggala penuh haru dengan mata berkaca-kaca. Melihat hal itu, Mira semakin kacau sekaligus penasaran setengah mati sehingga dia memberanikan diri untuk mendekat. "Apa kamu tidak ingin menceritakan sesuatu padaku? Apa hanya aku yang ketinggalan sesuatu?" cecar Mira. "Tante ...." Manggala tersenyum getir. "Izinkan aku bermain sebentar dengan Enzo. Nanti kalau dia tertidur, aku akan menceritakan semuanya," janjinya. "Oke!" Mira mengembuskan napas kasar. Tak merasa lega, malah semakin menambah rasa penasaran. Namun, dia tak dapat berbuat apapun tatkala melihat raut ceria Enzo dan sorot bahagia Manggala. Mira harus b
Aira memegangi kepalanya yang terasa berat. Seakan ada bandul besi yang bergerak memukul tulang tengkoraknya dari dalam. "Ssshh," rintihnya lirih. Kelopak matanya terbuka perlahan, mengamati sekitar. "Di mana aku?" gumam Aira."Ibu sudah sadar?" Terdengar sebuah suara yang membuat Aira menoleh. Tirai putih di sampingnya terbuka. Seorang wanita berseragam perawat mendekat sambil membawa nampan. Luwes gerakannya mengisi suntikan dengan cairan bening, lalu menyuntikkannya ke dalam selang infus Aira. "Ini obat anti nyeri, Bu. Luka terkilir Anda lumayan parah," jelas si perawat tanpa diminta."Ini di mana?" Aira mengedarkan pandangan ke sekeliling."Rumah sakit daerah, Bu. Tim SAR yang membawa Anda kemari," terang si perawat."Oh, ya ...." Aira ingat sekarang. Dia tadi terjatuh dari tebing setelah terlibat percekcokan dengan Helen. "Anakku ...." Tiba-tiba dirinya teringat akan Enzo."Saya sudah memberitahu pendamping Anda di luar."Tak berselang lama dari penjelasan sang perawat, Aira melih
Helen terpaku. Dia tak dapat berteriak maupun bergerak. Semua terjadi begitu cepat. Dirinya memang membenci Aira, tapi sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri nyawa ibu satu anak itu. Beberapa saat setelah akal sehatnya kembali hadir, Helen segera berteriak sekencang-kencangnya. "Brandon! Aira terjatuh!" pekik Helen. Brandon yang asyik berdiskusi dengan Alex, langsung menoleh. "Apa?" serunya terbelalak. "Cepat, tolong dia! Aira di bawah sana!" pekik Helen histeris. "Ya, Tuhan!" Brandon dan Alex berlari secepat mungkin menuju arah telunjuk Helen. Sejenak, dua pria tampan itu tertegun melihat betapa curamnya tebing yang ditumbuhi rerumputan hijau di sela bebatuannya itu. "Apa yang kau lakukan, Helen!" sentak Brandon. Entah kenapa instingnya mengatakan bahwa calon istrinya itu berhubungan dengan kejadian tersebut. "Ti-tidak ada! Kami hanya bicara!" elak Helen terbata. Brandon tak percaya begitu saja. "Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!" ancamnya.
Pemotretan pre wedding diadakan di lereng yang berada di salah satu sisi gunung. Rencana awal yang akan diadakan di padang rumput kaki bukit, harus diubah pada detik-detik terakhir. Semua hanya karena keinginan Helen yang tiba-tiba. "Di pertemuan semalam, calon istrimu tidak mengatakan apa-apa. Tahu-tahu tempat pemotretan dipindah seenaknya," gerutu Aira. "Maaf, Ra. Aku terpaksa menuruti keinginannya. Ada alasan yang tak bisa kukatakan padamu," sesal Brandon. Sesekali dia melirik ke arah Helen yang berada agak jauh dari dirinya dan Aira. Wanita cantik bermata biru itu tengah merapikan rambut dan make up. Sebelumnya, Helen sudah dirias di villa oleh penata rias profesional. "Padahal niatku juga sekalian menjaga Enzo. Kalau begini, aku tak bisa mengajak putraku serta," keluh Aira lagi. "Tidak apa-apa, Ra. Tante dan Enzo bisa menunggu kalian di villa," putus Mira. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Ini cuma masalah kecil," bujuknya sembari menepuk pelan pundak sang keponakan.
Aira terbangun saat mendengar suara Enzo memanggil-manggil namanya. "Ra! Sudah ditunggu tuh, sama si Alex! Tumben kamu tidur seperti kebo. Susah sekali dibangunkan," omel Mira. Suaranya terdengar dekat di telinga Aira. Perlahan, ibu satu anak itu mengucek mata agar pandangannya tak buram. "Tante?" ucapnya lirih. Aira memperhatikan Mira yang sudah rapi dalam balutan blazer warna peach yang dipadu dengan celana jeans. Demikian pula Enzo yang juga telah rapi dan tampan dalam gendongan Mira. "A-aku di mana?" "Ya, di atas ranjang, lah! Kamu mengigau, ya?" Mira berdecak sambil menggeleng. "Tidak, Tante. Aku ...." Aira menggantung kalimatnya. Teringat oleh wanita cantik itu, semalam dia melihat sosok Manggala dalam kegelapan. "Angga, Tante!" Sontak Aira berseru. "Apa?" Mira mengernyit tak mengerti. "Manggala ada di sini!" Aira segera turun dari ranjang. Tak mempedulikan dirinya yang hanya memakai T-shirt putih ketat dan celana pendek ketat, dia berlari menuju kolam renang,
Mira mencebikkan bibir, seraya memandang remeh ke arah Brandon. "Tadi bilangnya cinta sama Aira. Eh, ternyata mau nikah sama perempuan lain. Dasar laki-laki buaya," gerutu Mira dalam hati. "Jadi, sesuai yang kita sepakati, besok kita akan pergi ke kaki gunung. Aku sudah membawa beberapa kru untuk membantumu. Kalian bisa berkomunikasi lebih lanjut setelah ini," tutur Brandon. "Kusarankan supaya Aira selalu berhati-hati," sela Helen. "Aku tidak mau dia berbuat sesuatu yang membuat kita sial." Aira mengeratkan genggaman garpu sambil menatap tajam ke arah calon istri Brandon itu. "Apa maksudmu?" geramnya. Helen hanya mengangkat bahu. "Semoga kau tak lupa atas apa yang terjadi pada Manggala. Seandainya dia tak mengejarmu ...." Aira terpancing emosi. Dia menggebrak meja kuat-kuat sampai Enzo terkejut dan menangis. "Jaga mulutmu, Helen! Jangan lupa kau yang menghancurkan hidupku!" sentak Aira. "Mama ...." Enzo melengkungkan bibir dengan mata berkaca-kaca. "Ra, sudah!" cegah Mir
"Apa?" Brandon menggeleng bingung. Terlihat jelas mimik wajah dan sikap Aira yang tiba-tiba berubah. Wanita cantik itu tampak gemetaran."Hei, Aira. Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut seraya mendekat."Tidak!" seru Aira tertahan. Dia mundur beberapa langkah, menjauh dari Brandon."Kau kenapa?" Brandon semakin bingung melihat sikap wanita yang pernah mencuri hatinya itu."Apa Tuan Larson yang menyuruhmu? Apa kalian menjebakku di sini?" cecar Aira."Apa maksudnya ini?" Mira yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, kini angkat bicara. "Apa hubungannya Brandon dengan penjahat itu?""Dia anak kandungnya!" Telunjuk Aira mengarah tepat ke Brandon."Hei, aku sudah tidak pernah bertemu dengan pria tua itu, Aira. Memang benar dia ayah kandungku, tapi sejak Frederick memberiku uang, kami tak pernah berjumpa lagi sejak saat itu," terang Brandon. "Dia sudah membuangku. Frederick memberiku uang supaya aku menjauh dan tidak mengganggu hidupnya lagi. Kuturuti permintaannya," ungkap Brandon bersun
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik. "Be-begitulah," jawab Mira gugup. "Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi. Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira. "Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller. "Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira. . Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan. Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut. Setelah memastikan para penumpangnya