"Mama!" Aira menghambur ke pelukan ibunya. "Kok bisa mama ada di sini?" "Manggala yang mengundang kami semua, Ra. Dia juga yang memberikan tiket akomodasi," sahut seseorang yang kini berdiri di belakang ibunda Aira. "Kak Sinta? Kak Wildan?" seru Aira. Terkejut, sekaligus bahagia karena ternyata Manggala tak hanya mendatangkan sang ibu, melainkan juga kakak kandung serta kakak iparnya. "Ngga, kenapa kamu nggak cerita?" Aira mengalihkan pandangan ke arah Manggala yang sejak tadi setia mengikuti di sampingnya. "Namanya juga kejutan." Manggala tersenyum manis seraya membelai lembut pipi Aira. Mendapat perlakuan semanis itu, sontak Aira tersipu. "Semoga ini menjadi pernikahan terakhirmu, Ra. Kuharap kalian selalu bersama sampai maut memisahkan dan bahagia selamanya." Kali ini, bait-bait doa tulus dilantunkan oleh Mira, sang tante yang ternyata juga berada di sana. "Senang rasanya melihat kalian semua berkumpul," ucap Aira penuh haru sekaligus meragu. Dia masih merasa tak percaya
"Jangan khawatir, Senja. Tidak ada dalam kamusku, menyakiti sesama perempuan. Aku anti merebut milik orang lain. Apalagi orang itu tidak pernah mencintaiku sejak awal," timpal Aira kalem. Dia sama sekali tidak berniat menyindir. Apa yang Aira ungkapkan hanyalah kenyataan. "Jangan terlalu berpikir macam-macam. Jalani saja hidupmu bersama Kak Jati dengan bahagia," sarannya. "Tapi, apa kamu bahagia, Ra?" sela Jati, tak memedulikan raut sendu istrinya. "Kak Jati bisa melihat dan menilai sendiri, kan?" Aira melingkarkan tangan di lengan Manggala dan bergelayut manja. Tanpa sungkan, dia menyandarkan kepala di pundak lebar sang suami. Manggala juga tampak tak keberatan. "Syukurlah." Jati memaksakan senyum. Sorot mata sejuta arti, dia layangkan pada Aira. Entah apa maksud tatapan itu, Aira tak peduli. Baginya, kisah bersama Jati sudah selesai dan tak ingin dia buka lagi lembaran kelam itu. Beruntung, Jati dan Senja tak berlama-lama di pesta. Mereka segera berpamitan setelah menikmati
"Kau .... Sedang apa di sini?" Manggala menatap nyalang pada Brandon. "Kenapa memangnya? Apa aku harus memiliki undangan supaya bisa masuk ke dalam sini?" balas Brandon sinis. "Tentu saja. Kau tidak boleh sembarangan masuk di pesta seseorang," timpal Manggala. "Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Bukankah kabar bahagia seperti ini harus disebarluaskan?" sindir Brandon. Merasa Manggala tak bisa berkutik, Brandon pun mengalihkan pandangan pada Aira. "Dan kau, Aira. Aku sama sekali tak menyangka bahwa sosok suamimu adalah dia," ujarnya sembari mengarahkan telunjuk tepat ke muka Manggala. "Seingatku, kau pernah mengatakan kalau kau dan suamimu berhubungan jarak jauh. Tak kusangka, ternyata kau memiliki bakat berbohong," cibir Brandon seraya tersenyum meremehkan. "Kami berhak menyembunyikan pernikahan kami dari siapapun yang kami mau. Kau tak punya hak dan alasan untuk menuntut ini dan itu," tegas Manggala. "Sebenarnya, aku sama sekali tidak peduli atas masalah kalian. Tapi, ada
Di sisa waktu liburan, Aira mencoba bersikap biasa. Dia tak mau merusak suasana bahagia yang tengah dirasakan oleh Kartika. Ibunya itu harus tetap senang sampai tiba waktunya pulang ke Indonesia. Tak terasa, dua hari telah berlalu. Saatnya mereka semua harus check out dari hotel. "Mama masih di sini, kan?" tanya Aira was-was, sebab dirinya masih teramat rindu dengan sang ibu. "Wildan pulang lebih dulu besok pagi, karena dia punya banyak tanggungan pekerjaan di kantor. Wildan cuma mendapat izin cuti tiga hari. Sedangkan mama dan Sinta menginap di rumah Mira sampai seminggu ke depan. Rencananya, kami mau berjalan-jalan keliling Brisbane dulu sampai puas," jelas Kartika panjang lebar. "Syukurlah," ucap Aira sambil sesekali melirik ke arah Manggala. Ada satu keinginan yang tak berani dia ungkapkan pada suaminya itu. "Kamu mau menginap di rumah Tante Mira juga?" terka Manggala yang seolah tahu isi hati Aira. Sontak Aira tersenyum lebar. "Hebat! Kamu bisa membaca pikiranku!" sa
Aira terpaku untuk beberapa saat. Sorot matanya lurus tertuju pada sosok Manggala yang mempesona. Tubuh atletis pria itu begitu menggoda. Otot-otot lengan dan perut tercetak sempurna. Ditambah posisi celana boxer yang terlalu ke bawah, semakin menambah aura seksi seorang Manggala. Apalagi saat itu Manggala sengaja mengurai rambut gondrongnya yang basah. Aira sampai menelan ludah berkali-kali. "Pi-piyamamu mana? Ke-kenapa tidak dipakai?" tanyanya terbata. "Kekecilan," jawab Manggala enteng. "Rasanya terlalu sesak di perut dan paha. Aku jadi tidak nyaman." "A-aku pinjamkan T-shirt Kak Wildan, ya," tawar Aira. "Tidak usah, Ra. Aku lebih nyaman begini," tolak Manggala. Dengan santainya, dia naik ke ranjang lalu merebahkan diri dalam posisi telentang. Manggala menggunakan kedua tangan sebagai bantal. Tampak pandangannya kosong terarah ke langit-langit kamar. Aira mati gaya. Batinnya berkecamuk. Apa yang harus dia lakukan saat itu? Tetap berdiri mematung, atau turut berbaring?
Aira mengamati dari ranjang. Suaminya itu tampak serius berbicara pada seseorang. Sesekali tangan Manggala erat mencengkeram pagar balkon. Rasa penasaran itu hadir. Ingin sekali dia menghampiri sang suami dan mencari tahu siapa yang menelepon malam-malam begini. Akan tetapi Aira terlalu malas mengenakan pakaiannya yang masih tercecer di lantai. Dia pun memutuskan untuk berbaring. Cukup lama Aira menunggu Manggala menyelesaikan panggilan, sampai dia tertidur tanpa sadar. Aira terbangun ketika merasakan pergerakan di permukaan ranjang. Manggala menggeser tubuh dan menyelinap di balik selimut yang dipakai Aira. Sepertinya pria itu telah selesai dengan urusannya. Akan tetapi, Aira tak menoleh dan memilih untuk kembali memejamkan mata. Cup! Tiba-tiba, bibir Manggala mendarat di pelipis Aira sambil berkata, "Maafkan aku, Ra." Aira tak menggubris ucapan Manggala. Dia sudah terlanjur pura-pura tidur. Lagipula, Aira merasa sangat kecewa, karena Manggala menghentikan permainan di sa
"Helen, please. Aku ingin sarapan dengan tenang," sela Manggala acuh tak acuh. "Sir ...." "Jangan khawatir. Kupastikan bahwa semua pikiran burukmu itu tak akan terjadi," potong Manggala. "Baik. Kuingat selalu kata-kata Anda. Mantan seperti Nona Aira, tidak pantas mendapatkan cinta dan kesempatan kedua dari pria baik seperti Anda," ujar Helen penuh penekanan. "Aira yang harus jatuh cinta dan bertekuk lutut, bukan sebaliknya," imbuh wanita cantik berambut pirang itu. "Astaga!" Manggala mendengkus pelan. Beruntung bekalnya sudah tandas. Jika tidak, pasti nafsu makannya akan menguap akibat kecerewetan Helen. "Coba sebutkan lagi agenda hari ini. Aku ingin kita fokus pada pekerjaan saja," titahnya beberapa saat kemudian. Helen hendak membuka mulut ketika pintu ruang kerja Manggala diketuk oleh seseorang. "Sebentar, Sir," ujar Helen. Sudah menjadi tugasnya untuk memeriksa siapapun yang datang menemui sang atasan. Dan Helen tak segan mengusir tamu yang tak memiliki janji dengan Mang
Tak disangka, hanya tiga bulan saja Aira bekerja di media sebesar 'Nature Perfect'. Kini dia harus menyerahkan surat pengunduran diri secara langsung. Beruntung, dia tak mengenal banyak orang di sini, kecuali kru studio, sehingga kedatangannya di ruangan HRD tak begitu diperhatikan, kecuali oleh Brandon. Pria itu sengaja menunggu Aira di samping pintu keluar. Tak peduli meskipun Aira cukup lama berada di dalam sana. Setengah jam kemudian, yang ditunggu pun menampakkan wajah cantiknya yang tak berseri. "Bagaimana?" tanya Brandon seraya menyejajari langkah Aira yang berjalan cepat menuju lift. "Bagaimana apanya?" sahut Aira ketus. "Apa kau sudah resmi keluar?" tanya Brandon lagi. "Menurutmu?" Aira balas bertanya masih dengan nada yang sama. Sorot tajam juga dia layangkan pada Brandon. "Setidaknya kau jadi tahu satu hal," ujar Brandon sambil turut masuk ke lift. "Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. Menyingkirlah dariku, Brandon!" Aira mendorong kuat-kuat tubuh tinggi tegap itu
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah.Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"
"Aku tidak setuju dengan rencanamu itu, Ra!" tegas Manggala. Aira bermaksud untuk menimpali. Akan tetapi, celotehan dan teriakan Enzo lebih dulu menyela pembicaraan itu. "Sebentar, aku harus memeriksa Enzo. Kamu mandilah dulu," suruh Aira. Manggala tak membantah. Dengan hati kesal, dia menenggelamkan tubuh ke dalam bathup. Kembali terngiang dalam kepalanya, permintaan gila dari istrinya tersebut. Manggala sudah bersusah payah mendapatkan Aira. Mereka bahkan sempat terpisah selama satu tahun lamanya akibat kecelakaan yang dialami oleh Manggala. Tak akan semudah itu dirinya melepaskan Aira. Setengah jam berlalu, Manggala sudah merapikan diri. Dia keluar dari walk in closet dan langsung menghampiri boks Enzo. Sempat Manggala bertanya-tanya, kenapa boks Enzo dipindahkan dari kamar bayi ke kamarnya. Namun, melihat raut murung Aira, dirinya jadi tak mempermasalahkan. "Apa nanti malam Enzo akan tidur di sini?" tanya Manggala basa-basi. "Iya, aku ingin memanfaatkan waktu kita bertiga seba