Aira terpaku untuk beberapa saat. Sorot matanya lurus tertuju pada sosok Manggala yang mempesona. Tubuh atletis pria itu begitu menggoda. Otot-otot lengan dan perut tercetak sempurna. Ditambah posisi celana boxer yang terlalu ke bawah, semakin menambah aura seksi seorang Manggala. Apalagi saat itu Manggala sengaja mengurai rambut gondrongnya yang basah. Aira sampai menelan ludah berkali-kali. "Pi-piyamamu mana? Ke-kenapa tidak dipakai?" tanyanya terbata. "Kekecilan," jawab Manggala enteng. "Rasanya terlalu sesak di perut dan paha. Aku jadi tidak nyaman." "A-aku pinjamkan T-shirt Kak Wildan, ya," tawar Aira. "Tidak usah, Ra. Aku lebih nyaman begini," tolak Manggala. Dengan santainya, dia naik ke ranjang lalu merebahkan diri dalam posisi telentang. Manggala menggunakan kedua tangan sebagai bantal. Tampak pandangannya kosong terarah ke langit-langit kamar. Aira mati gaya. Batinnya berkecamuk. Apa yang harus dia lakukan saat itu? Tetap berdiri mematung, atau turut berbaring?
Aira mengamati dari ranjang. Suaminya itu tampak serius berbicara pada seseorang. Sesekali tangan Manggala erat mencengkeram pagar balkon. Rasa penasaran itu hadir. Ingin sekali dia menghampiri sang suami dan mencari tahu siapa yang menelepon malam-malam begini. Akan tetapi Aira terlalu malas mengenakan pakaiannya yang masih tercecer di lantai. Dia pun memutuskan untuk berbaring. Cukup lama Aira menunggu Manggala menyelesaikan panggilan, sampai dia tertidur tanpa sadar. Aira terbangun ketika merasakan pergerakan di permukaan ranjang. Manggala menggeser tubuh dan menyelinap di balik selimut yang dipakai Aira. Sepertinya pria itu telah selesai dengan urusannya. Akan tetapi, Aira tak menoleh dan memilih untuk kembali memejamkan mata. Cup! Tiba-tiba, bibir Manggala mendarat di pelipis Aira sambil berkata, "Maafkan aku, Ra." Aira tak menggubris ucapan Manggala. Dia sudah terlanjur pura-pura tidur. Lagipula, Aira merasa sangat kecewa, karena Manggala menghentikan permainan di sa
"Helen, please. Aku ingin sarapan dengan tenang," sela Manggala acuh tak acuh. "Sir ...." "Jangan khawatir. Kupastikan bahwa semua pikiran burukmu itu tak akan terjadi," potong Manggala. "Baik. Kuingat selalu kata-kata Anda. Mantan seperti Nona Aira, tidak pantas mendapatkan cinta dan kesempatan kedua dari pria baik seperti Anda," ujar Helen penuh penekanan. "Aira yang harus jatuh cinta dan bertekuk lutut, bukan sebaliknya," imbuh wanita cantik berambut pirang itu. "Astaga!" Manggala mendengkus pelan. Beruntung bekalnya sudah tandas. Jika tidak, pasti nafsu makannya akan menguap akibat kecerewetan Helen. "Coba sebutkan lagi agenda hari ini. Aku ingin kita fokus pada pekerjaan saja," titahnya beberapa saat kemudian. Helen hendak membuka mulut ketika pintu ruang kerja Manggala diketuk oleh seseorang. "Sebentar, Sir," ujar Helen. Sudah menjadi tugasnya untuk memeriksa siapapun yang datang menemui sang atasan. Dan Helen tak segan mengusir tamu yang tak memiliki janji dengan Mang
Tak disangka, hanya tiga bulan saja Aira bekerja di media sebesar 'Nature Perfect'. Kini dia harus menyerahkan surat pengunduran diri secara langsung. Beruntung, dia tak mengenal banyak orang di sini, kecuali kru studio, sehingga kedatangannya di ruangan HRD tak begitu diperhatikan, kecuali oleh Brandon. Pria itu sengaja menunggu Aira di samping pintu keluar. Tak peduli meskipun Aira cukup lama berada di dalam sana. Setengah jam kemudian, yang ditunggu pun menampakkan wajah cantiknya yang tak berseri. "Bagaimana?" tanya Brandon seraya menyejajari langkah Aira yang berjalan cepat menuju lift. "Bagaimana apanya?" sahut Aira ketus. "Apa kau sudah resmi keluar?" tanya Brandon lagi. "Menurutmu?" Aira balas bertanya masih dengan nada yang sama. Sorot tajam juga dia layangkan pada Brandon. "Setidaknya kau jadi tahu satu hal," ujar Brandon sambil turut masuk ke lift. "Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. Menyingkirlah dariku, Brandon!" Aira mendorong kuat-kuat tubuh tinggi tegap itu
"Oh, astaga!" Helen tertawa demi menyembunyikan kegugupannya. Dia tak boleh menunjukkan bahwa dirinya tengah gemetaran saat itu. "Kau sahabatku sedari kuliah, Cynthia. Mana mungkin aku mengkhianatimu," bujuk Helen. "Semua bisa saja terjadi. Kalian bertemu hampir tiap hari. Saling mengobrol dan berdiskusi. Tidak menutup kemungkinan jika salah satu dari kalian, atau mungkin dua-duanya saling jatuh cinta," tuding Cynthia. "Kau tahu sendiri seperti apa karakter Manggala. Dia baru menerimamu sebagai kekasihnya sejak lima bulan terakhir ini, bukan? Padahal dia sudah ada di sini selama dua tahun. Dia bukan orang yang mudah jatuh cinta, Cynthia. Dan sekali dia menjadikan seorang wanita sebagai kekasihnya, itu artinya wanita itu sangatlah istimewa. Aku yakin dia tidak akan pernah berpaling pada siapapun," jelas Helen panjang lebar. "Kau sangat memahami Manggala. Itu juga membuatku sangat cemburu," gerutu Cynthia. "Ya, ampun! Berhentilah berpikir negatif, Cynthia!" tegur Helen. "Tapi
Hampir satu jam lamanya Manggala berada di bawah shower. Berapa kali pun dia mencoba menggosok kulit leher dan dada, bekas tanda percintaannya bersama Cynthia tidak juga hilang. "Bodoh!" Manggala memukul dinding kamar mandi penthouse berkali-kali, hingga buku-buku jarinya memar dan berdarah. "Aku brengsek sekali! Ya, Tuhan!" Manggala menangis. Ya, pria garang yang selalu tampil super maskulin itu menitikkan air mata. "Maaf .... Maafkan aku, Aira. Sedikit lagi, sebentar lagi, dan aku akan membawamu pergi jauh dari sini," racaunya. Persetan dengan rencana balas dendam yang dia rancang bersama Helen untuk membalas sakit hatinya pada Aira. Manggala sudah tak memiliki dendam sedikitpun pada istrinya itu. Amarah dan kecewa yang menggunung, luruh tak tersisa sejak ikrar sehidup semati sebagai suami istri terucap. "Apa yang harus kulakukan, Aira? Aku sudah membuat kesalahan besar padamu," sesal Manggala. 'Rahasiakan apa yang terjadi di kantor tadi dari Aira. Sampai kapanpun, dia tida
Manggala melangkah keluar dari ruang perawatan Brandon. Dia memilih untuk menunggu perkembangan Aira di depan pintu unit gawat darurat. Tak sampai lima menit berdiri, seorang dokter keluar dari ruangan intensif dan menghampiri Manggala. "Apakah Anda suami pasien?" tanya sang dokter. "Ya, benar," jawab Manggala tegang. Dokter itu tersenyum sambil menepuk pundak Manggala. "Istri Anda sudah siuman," ujarnya. "Syukurlah." Manggala bernapas lega. "Bagaimana keadaannya, Dokter?" "Tidak ada cidera serius. Hanya terkilir di pergelangan kaki kiri saja. Selebihnya, seluruh tanda vital normal. Istri anda pingsan karena syok saja," papar sang dokter. "Bisakah saya menemuinya?" pinta Manggala. "Tentu. Anda bisa menemaninya setelah kami pindahkan ke ruang perawatan," tutur dokter itu. Manggala mengangguk. Beberapa saat kemudian, pintu ruang intensif terbuka. Tampak brankar tempat Aira terbaring lemah, didorong pelan oleh beberapa petugas medis. "Ra!" seru Manggala seraya menghampir
"Ada-ada saja. Aku baru mengalami kecelakaan dan kamu malah mengajak bukan madu," keluh Aira. "Ya, nanti kalau sudah benar-benar sembuh, akan kuajak kamu ke tempat-tempat indah yang bisa dijadikan obyek foto," cetus Manggala. "Memangnya kamu mau mengajakku ke mana?" Kening Aira berkerut. Sedikit banyak, ajakan berbulan madu cukup membuatnya antusias. Mengingat di pernikahannya terdahulu, Aira tak pernah menjalani bulan madu, ataupun manisnya hubungan suami istri bersama Jati. "Terserah. Kamu ingin ke mana?" Manggala malah balik bertanya. "Ke New Zealand. Aku ingin melihat peternakan sapi terbesar dari dekat," jawab Aira asal. "Boleh. Makanya, kamu harus cepat sembuh," ujar Manggala seraya mencium bibir Aira. Perlakuan pria tampan itu semakin baik dan hangat di setiap harinya. Aira jadi merasa bahwa pernikahan keduanya itu benar-benar nyata dan tak ada kepalsuan sama sekali di dalamnya. "Tidurlah." Manggala berbaring di samping Aira sambil mengusap lembut dahi sang istri.
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik."Be-begitulah," jawab Mira gugup."Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi.Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira."Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller."Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira..Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan.Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut.Setelah memastikan para penumpangnya aman, Alex seger
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah.Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"