"Oh, astaga!" Helen tertawa demi menyembunyikan kegugupannya. Dia tak boleh menunjukkan bahwa dirinya tengah gemetaran saat itu. "Kau sahabatku sedari kuliah, Cynthia. Mana mungkin aku mengkhianatimu," bujuk Helen. "Semua bisa saja terjadi. Kalian bertemu hampir tiap hari. Saling mengobrol dan berdiskusi. Tidak menutup kemungkinan jika salah satu dari kalian, atau mungkin dua-duanya saling jatuh cinta," tuding Cynthia. "Kau tahu sendiri seperti apa karakter Manggala. Dia baru menerimamu sebagai kekasihnya sejak lima bulan terakhir ini, bukan? Padahal dia sudah ada di sini selama dua tahun. Dia bukan orang yang mudah jatuh cinta, Cynthia. Dan sekali dia menjadikan seorang wanita sebagai kekasihnya, itu artinya wanita itu sangatlah istimewa. Aku yakin dia tidak akan pernah berpaling pada siapapun," jelas Helen panjang lebar. "Kau sangat memahami Manggala. Itu juga membuatku sangat cemburu," gerutu Cynthia. "Ya, ampun! Berhentilah berpikir negatif, Cynthia!" tegur Helen. "Tapi
Hampir satu jam lamanya Manggala berada di bawah shower. Berapa kali pun dia mencoba menggosok kulit leher dan dada, bekas tanda percintaannya bersama Cynthia tidak juga hilang. "Bodoh!" Manggala memukul dinding kamar mandi penthouse berkali-kali, hingga buku-buku jarinya memar dan berdarah. "Aku brengsek sekali! Ya, Tuhan!" Manggala menangis. Ya, pria garang yang selalu tampil super maskulin itu menitikkan air mata. "Maaf .... Maafkan aku, Aira. Sedikit lagi, sebentar lagi, dan aku akan membawamu pergi jauh dari sini," racaunya. Persetan dengan rencana balas dendam yang dia rancang bersama Helen untuk membalas sakit hatinya pada Aira. Manggala sudah tak memiliki dendam sedikitpun pada istrinya itu. Amarah dan kecewa yang menggunung, luruh tak tersisa sejak ikrar sehidup semati sebagai suami istri terucap. "Apa yang harus kulakukan, Aira? Aku sudah membuat kesalahan besar padamu," sesal Manggala. 'Rahasiakan apa yang terjadi di kantor tadi dari Aira. Sampai kapanpun, dia tida
Manggala melangkah keluar dari ruang perawatan Brandon. Dia memilih untuk menunggu perkembangan Aira di depan pintu unit gawat darurat. Tak sampai lima menit berdiri, seorang dokter keluar dari ruangan intensif dan menghampiri Manggala. "Apakah Anda suami pasien?" tanya sang dokter. "Ya, benar," jawab Manggala tegang. Dokter itu tersenyum sambil menepuk pundak Manggala. "Istri Anda sudah siuman," ujarnya. "Syukurlah." Manggala bernapas lega. "Bagaimana keadaannya, Dokter?" "Tidak ada cidera serius. Hanya terkilir di pergelangan kaki kiri saja. Selebihnya, seluruh tanda vital normal. Istri anda pingsan karena syok saja," papar sang dokter. "Bisakah saya menemuinya?" pinta Manggala. "Tentu. Anda bisa menemaninya setelah kami pindahkan ke ruang perawatan," tutur dokter itu. Manggala mengangguk. Beberapa saat kemudian, pintu ruang intensif terbuka. Tampak brankar tempat Aira terbaring lemah, didorong pelan oleh beberapa petugas medis. "Ra!" seru Manggala seraya menghampir
"Ada-ada saja. Aku baru mengalami kecelakaan dan kamu malah mengajak bukan madu," keluh Aira. "Ya, nanti kalau sudah benar-benar sembuh, akan kuajak kamu ke tempat-tempat indah yang bisa dijadikan obyek foto," cetus Manggala. "Memangnya kamu mau mengajakku ke mana?" Kening Aira berkerut. Sedikit banyak, ajakan berbulan madu cukup membuatnya antusias. Mengingat di pernikahannya terdahulu, Aira tak pernah menjalani bulan madu, ataupun manisnya hubungan suami istri bersama Jati. "Terserah. Kamu ingin ke mana?" Manggala malah balik bertanya. "Ke New Zealand. Aku ingin melihat peternakan sapi terbesar dari dekat," jawab Aira asal. "Boleh. Makanya, kamu harus cepat sembuh," ujar Manggala seraya mencium bibir Aira. Perlakuan pria tampan itu semakin baik dan hangat di setiap harinya. Aira jadi merasa bahwa pernikahan keduanya itu benar-benar nyata dan tak ada kepalsuan sama sekali di dalamnya. "Tidurlah." Manggala berbaring di samping Aira sambil mengusap lembut dahi sang istri.
Berjalan menggunakan kruk, semacam tongkat yang digunakan sebagai alat bantu berjalan, ternyata cukup merepotkan Aira, karena dirinya tak terbiasa. Sebenarnya, Kartika dan Sinta sudah melarangnya untuk mengantar ke bandara. Namun, Aira keras kepala. Lagipula, ada Mira di sampingnya. "Kamu kuat berjalan ke area parkir?" tanya Mira. "Aira tidak selemah itu, Tante," kelakar wanita cantik itu seraya tertawa. Dia berhasil membuktikan bahwa dirinya kuat berjalan hingga tiba di depan mobil Mira. "Ra, kamu merasa aneh nggak sih, sama Manggala?" celetuk Mira sesaat setelah mereka berdua duduk dengan nyaman di dalam mobil. "Aneh gimana?" "Entahlah. Instingku mengatakan kalau dia menyembunyikan sesuatu," jawab Mira. "Coba deh, kamu pikir, Ra. Dua hari lalu, Manggala cuma mengantarmu ke rumahku, terus dia pulang ke rumahnya sendiri. Dia meninggalkanmu begitu saja, padahal kamu masih dalam kondisi sakit," papar Mira. "Angga sibuk, Te. Dia tidak bermaksud meninggalkanku sendiri. Ang
Tengah malam, Aira terjaga. Perutnya yang keroncongan memaksanya untuk bangun dan turun dari ranjang. Sejenak, diamatinya Manggala yang tertidur pulas dalam posisi miring menghadap Aira. Pria itu hanya memakai celana tidur dan bertelanjang dada. Aira terpaku menatap tanda bekas percintaan semalam. Ah, tidak. Sebagian tanda itu bukan hasil perbuatannya. Beberapa titik merah sudah tercipta sebelum dia dan Manggala bercinta. Alergi? Aira tersenyum miring. Satu sisi batinnya berbisik. Jika memang benar alergi, kenapa bentuknya sama persis dengan tanda cinta yang dia buat. "Ah." Aira mendesah pelan. Dia harus bisa mempercayai Manggala. Mereka sudah menjadi pasangan suami istri seutuhnya, dan yang terpenting, Aira tak ingin mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. "Angga berbeda dengan Jati," gumamnya lirih. Kalimat itu terus Aira tanamkan di benak, seiring langkah kakinya keluar kamar menuju dapur di lantai satu, dengan bantuan kruk tentunya. Tak disangka, sesampainya di dapur,
"Ini seperti bukan dirimu, Manggala. Sampai detik ini, aku masih yakin jika kau bukanlah laki-laki brengsek," isak Cynthia. "Sayangnya iya. Aku memang brengsek," timpal Manggala. "No!" Tangis Cynthia terdengar makin kencang. "Berhentilah menangis. Aku sangat tidak layak kau tangisi," bujuk Manggala. Terbersit rasa bersalah dalam hati karena telah mempermainkan wanita sebaik dan secantik Cynthia. "Dengar, sebulan lagi ayahmu akan mengadakan evaluasi kerja di kantor pusat. Saat itu, datanglah bersama beliau. Aku juga akan datang ke sana, sebab ada hal penting yang ingin kusampaikan di depan kalian berdua," tutur Manggala. "Kita harus bertemu sekarang!" paksa Cynthia. Manggala tak menjawab. DIa menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Tatapannya terpaku pada tubuh molek berbalut handuk yang hanya menutupi dada sampai bagian atas paha. Manggala menelan ludahnya kasar. "Maaf, Ngga. Aku tadi lupa mengambil baju," ucap Aira malu-malu. "Manggala! Aku mau berte
Setelah melalui perjalanan darat dan menaiki feri, Manggala dan Aira tiba di pulau Rangitoto pada sore hari. Mau tak mau, mereka harus menunggu hingga besok untuk melakukan pendakian. Manggala pun memesan satu penginapan yang berada paling dekat dengan kaki gunung. Meskipun sederhana, tapi tempat itu tampak bersih dan rapi. "Kita beruntung, Ra. Masih tersisa satu kamar di sini," ucap Manggala. "Kudengar, beberapa orang di belakang kita harus mencari penginapan lain, sedangkan penginapan yang lain juga penuh," lanjutnya. "Hm." Aira tak begitu menanggapi. Tatapannya malah kosong tertuju pada pemandangan di luar jendela kamar yang mereka sewa saat itu. "Ada apa?" Manggala yang khawatir sekaligus curiga, segera mendekati istrinya. Arah pandangannya mengikuti tatapan Aira. "Kira-kira aku masih sanggup nggak, ya?" gumam Aira. "Tenang saja, Ra. Medan pendakian di gunung Rangitoto termasuk mudah. Ada anak tangga menuju puncak juga, lho!" jelas Manggala. "Jadi kita tidak perlu repot-repot
"Hei, Manggala. Kau datang?" sapa Cynthia dengan suara yang sengaja dibuat manja dan menggoda. "Ya, bersama Aira. Dia sedang ke toilet." Manggala mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dari wanita yang sampai detik itu masih menyimpan rasa cinta untuknya. "Hm, anakmu tampan," sanjung Cynthia sambil iseng menyentuh pipi gembul Enzo. "Terima kasih," ucap Manggala singkat. "Di mana William dan Sammy?" tanyanya mengalihkan perhatian Cynthia. "Sedang bersiap bersama kru event organizer," jawab Cynthia dengan tatapan tak lepas dari wajah tampan Manggala. "Kalau begitu, aku permisi hendak menyusul Aira ke toilet," pamit Manggala. Sejak awal, dia merasa tak nyaman dengan interaksi Cynthia. Sebisa mungkin, Manggala akan berusaha mati-matian untuk menjauh dari ibunda Sammy itu. "Minggu depan adalah sidang pertama ayahku!" seru Cynthia, mencegah langkah Manggala agar tak buru-buru menjauh. "Baguslah!" sahut Manggala singkat. "Banyak saksi baru yang memberatkan ayahku. Ditambah m
Aira mengajak Catherine ke ruang tamu. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati taman belakang. Masih ada Ibra dan Arka yang betah nongkrong di bangku taman. "Kak," sapa Arka dengan sorot penuh arti. Aira yang memahami maksud adik iparnya, langsung tersenyum lebar. "Cat, kenalkan, mereka adik-adikku yang tampan!" Merasa dirinya dipanggil, Catherine yang awalnya berjalan dengan tatapan lurus ke depan sambil menggendong Enzo, segera menoleh. Sementara Ratri yang berada di gendongan Aira, mulai rewel. Bayi cantik itu merengek ingin bersama ibunya. "Ibra, Arka. Kalian berdua mengobrol dulu saja dengan Catherine. Aku mau mengantar Ratri ke ibunya," pamit Aira. Dia langsung pergi tanpa menunggu tanggapan ketiga orang itu. Beberapa langkah menjauh, Aira bisa mendengar gelak tawa dan obrolan ringan yang berasal dari Catherine beserta dua adik iparnya. Sesekali, Enzo ikut berceloteh. Aira pun tersenyum lega. Ternyata, tak sulit bagi mereka bertiga untuk saling mengakrabkan di
"Hah, menikah?" Aira terkejut luar biasa. "Bukankah Tante Mira memutuskan untuk melajang seumur hidup?" serunya.Teringat oleh Aira, dulu sang tante mengikrarkan bahwa dirinya tidak akan menikah. Alasannya hanya satu, yaitu ribet. Namun, siapa sangka jika hari ini, prinsip itu roboh."Coba tebak, siapa calonnya?" sela Kartika tak kalah antusias."Alex!" sahut Manggala enteng. "Lho, kok tahu?" Kartika melongo."Kapan hari kami melihat Tante Mira dilamar oleh Alex," beber Manggala sambil tersenyum geli."Ya, ampun!" Aira menepuk dahi."Jadi, kedatangan kami kemari adalah mengundang keluarga Manggala untuk hadir dalam resepsi sederhana yang akan diadakan di rumah," tutur Kartika."Tentu, Jeng. Dengan senang hati, kami akan hadir!" balas Imelda tak kalah antusias."Syukurlah!" Kartika berdiri memeluk Imelda, kemudian menyalami Bayu yang lebih banyak diam dan hanya senyum-senyum saja."Eh, tunggu! Enzo dan Ratri ke mana?" Saking hebohnya, Aira sampai melupakan keberadaan putra semata waya
Manggala menahan napas. Menelan ludah pun terasa sulit. Tak disangka Aira bersedia menuruti keinginan gilanya. "Ra, sudah, Ra. Kamu menang," desis Manggala saat Aira terus meliukkan tubuh yang kini hanya terbalut pakaian dalam. "Nanggung, Sayang." Rupanya Aira terbawa permainan sendiri. Dia begitu menghayati hingga tanpa sadar kini hanya tersisa segitiga hitam berenda yang menutupi inti tubuhnya. "Oke, stop!" Manggala bangkit dari ranjang dan menerjang Aira. Dicumbuinya sang istri dengan sedikit kasar. Manggala lalu mendudukkan Aira di sofa, mengungkung dan menyerangnya dengan ciuman. Ketika Manggala hendak melepas segitiga berenda itu, Aira tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan suaminya. "Tunggu!" pinta Aira. "Lepas, Ra," geram Manggala yang sudah tak dapat menahan gairah. "Kamu masih marah, kan? Masih cemburu?" cecar Aira. Manggala menggeleng lemah. "Aku memaafkanmu, Sayang. Sekarang, ayo kita lanjut!" Manggala mendorong lembut tubuh Aira hingga berbaring di sofa. Dia l
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Mang
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak m