Tengah malam, Aira terjaga. Perutnya yang keroncongan memaksanya untuk bangun dan turun dari ranjang. Sejenak, diamatinya Manggala yang tertidur pulas dalam posisi miring menghadap Aira. Pria itu hanya memakai celana tidur dan bertelanjang dada. Aira terpaku menatap tanda bekas percintaan semalam. Ah, tidak. Sebagian tanda itu bukan hasil perbuatannya. Beberapa titik merah sudah tercipta sebelum dia dan Manggala bercinta. Alergi? Aira tersenyum miring. Satu sisi batinnya berbisik. Jika memang benar alergi, kenapa bentuknya sama persis dengan tanda cinta yang dia buat. "Ah." Aira mendesah pelan. Dia harus bisa mempercayai Manggala. Mereka sudah menjadi pasangan suami istri seutuhnya, dan yang terpenting, Aira tak ingin mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. "Angga berbeda dengan Jati," gumamnya lirih. Kalimat itu terus Aira tanamkan di benak, seiring langkah kakinya keluar kamar menuju dapur di lantai satu, dengan bantuan kruk tentunya. Tak disangka, sesampainya di dapur,
"Ini seperti bukan dirimu, Manggala. Sampai detik ini, aku masih yakin jika kau bukanlah laki-laki brengsek," isak Cynthia. "Sayangnya iya. Aku memang brengsek," timpal Manggala. "No!" Tangis Cynthia terdengar makin kencang. "Berhentilah menangis. Aku sangat tidak layak kau tangisi," bujuk Manggala. Terbersit rasa bersalah dalam hati karena telah mempermainkan wanita sebaik dan secantik Cynthia. "Dengar, sebulan lagi ayahmu akan mengadakan evaluasi kerja di kantor pusat. Saat itu, datanglah bersama beliau. Aku juga akan datang ke sana, sebab ada hal penting yang ingin kusampaikan di depan kalian berdua," tutur Manggala. "Kita harus bertemu sekarang!" paksa Cynthia. Manggala tak menjawab. DIa menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Tatapannya terpaku pada tubuh molek berbalut handuk yang hanya menutupi dada sampai bagian atas paha. Manggala menelan ludahnya kasar. "Maaf, Ngga. Aku tadi lupa mengambil baju," ucap Aira malu-malu. "Manggala! Aku mau berte
Setelah melalui perjalanan darat dan menaiki feri, Manggala dan Aira tiba di pulau Rangitoto pada sore hari. Mau tak mau, mereka harus menunggu hingga besok untuk melakukan pendakian. Manggala pun memesan satu penginapan yang berada paling dekat dengan kaki gunung. Meskipun sederhana, tapi tempat itu tampak bersih dan rapi. "Kita beruntung, Ra. Masih tersisa satu kamar di sini," ucap Manggala. "Kudengar, beberapa orang di belakang kita harus mencari penginapan lain, sedangkan penginapan yang lain juga penuh," lanjutnya. "Hm." Aira tak begitu menanggapi. Tatapannya malah kosong tertuju pada pemandangan di luar jendela kamar yang mereka sewa saat itu. "Ada apa?" Manggala yang khawatir sekaligus curiga, segera mendekati istrinya. Arah pandangannya mengikuti tatapan Aira. "Kira-kira aku masih sanggup nggak, ya?" gumam Aira. "Tenang saja, Ra. Medan pendakian di gunung Rangitoto termasuk mudah. Ada anak tangga menuju puncak juga, lho!" jelas Manggala. "Jadi kita tidak perlu repot-repot
"Gawat! Baterai ponselku lemah. Tidak ada sinyal pula," gerutu Aira. "Pakai cahaya dari ponselku saja, Ra," cetus Manggala seraya menyalakan tombol senter di telepon genggamnya. Dalam sepersekian detik, suasana di sekeliling mereka berubah dari gelap gulita menjadi sedikit terang. "Kok ruangannya aneh begini, ya?" Aira bergidik ngeri melihat belasan kepala rusa yang diawetkan dan dipajang di dinding bunker atau ruang bawah tanah. "Di sini saja, Ra! Jangan jauh-jauh!" Manggala sigap mencekal lengan Aira saat wanita itu hendak menyentuh hiasan dinding. "Kamu dengar itu, Ngga?" desis Aira. Manggala tak menanggapi. Dia merengkuh tubuh Aira sambil menajamkan pendengaran. "Itu suara angin, Ra. Rupanya badai semakin kencang," ujar Manggala. "Barang-barang kita di penginapan gimana, ya? Aku khawatir dengan kameraku," gumam Aira. "Aku yakin aman, Ra. Penginapan kita sudah dilengkapi asuransi," tutur Manggala menenangkan. Dia menggandeng Aira, lalu mengajaknya duduk di lantai. "T
Aira berkali-kali melirik suaminya yang tampak fokus mengemudi mobil sewaan. Sudah dua jam mereka dalam keadaan saling diam. Manggala masih tak mau membuka mulutnya terkait pertanyaan Aira tadi.Semua terasa semakin mengecewakan ketika Manggala membatalkan rencana pendakian mereka ke Gunung Rangitoto. "Stop!" seru Aira tiba-tiba.Manggala melirik ke arah istrinya sekilas sebelum kembali menatap lurus ke jalan raya bebas hambatan di depannya."Kalau kamu tetap bersikap seperti ini, lebih baik aku turun!" sentak Aira.Manggala mengembuskan napas kasar, lalu memelankan kendaraan. Kebetulan beberapa meter di depannya, terdapat rest area. Tanpa berpikir dua kali, dia memutar kemudi dan menghentikan mobil di area parkir khusus. "Kamu mau aku gimana, Ra?""Jawab pertanyaanku! Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ngga!" desak Aira dengan nada tinggi.Manggala terdiam sejenak. Otaknya berpikir keras, menimbang dan merangkai kata-kata yang tepat untuk memberi penjelasan pada istrinya yang tengah d
Manggala memutuskan untuk menginap semalam di motel yang terdapat di wilayah rest area. Motel sederhana, tapi terlihat rapi dan bersih. "Hanya ada satu bed berukuran kecil, Ra. Tidak apa-apa, ya," ujar Manggala."Tidak masalah. Aku kalau tidur, tidak pernah bertingkah, kok," sahut Aira."Hm." Manggala mengulum senyum. Dalam hati, dia menertawakan perkataan Aira. "Iya, kamu anteng kalau tidur." Padahal kemarin malam, lutut Aira sempat menendang pusakanya."Aku tidur dulu ya, Ngga. Capek sekali punggungku," pamit Aira seraya memukul pelan bagian belakang tubuh menggunakan tangan kiri yang terkepal."Selamat tidur, Sayang." Manggala menangkup wajah cantik itu, kemudian mencium kening dan bibir Aira penuh perasaan. Dia menuntun Aira, hingga sang istri berbaring nyaman di ranjang.Manggala menyelimuti tubuh Aira hingga ke dagu sebelum berlalu keluar kamar dan mengunci pintunya dari luar. Dia lalu menuruni tangga dan duduk di sebuah bangku taman yang berada di sisi samping motel.Udara mala
Sudah dua batang rokok yang Manggala habiskan, tapi perasaan gelisah masih juga mengganggu hatinya.Dia berniat menyulut sebatang lagi. Namun, panggilan dari seseorang membuat kegiatannya terhenti. Rokok Manggala terselip di sudut bibir, sementara satu tangannya sibuk menekan tombol hijau di layar ponsel. "Yes, Mr. Williams," sapanya pada si penelepon.Manggala masih mengingat dengan jelas nama pemilik penginapan yang sudah disewanya selama sebulan ke depan itu. "Apakah ada masalah?" tanya Manggala sedikit tegang."Begini, Tuan. Sejak Anda pergi diam-diam dari penginapan, setidaknya sudah ada lima orang misterius yang mencari anda. Mereka bahkan memaksa meminta nomor kamar Anda," jelas si pemilik penginapan."Apakah Anda memberitahu mereka nomor kamarku?" "Tentu saja tidak, Tuan. Itu adalah privasi penyewa kamar. Saya tidak akan mengatakannya pada orang asing," tegas Williams.Mendengar hal itu, Manggala mengempaskan napas lega. "Syukurlah, dan sungguh-sungguh kuucapkan terima kasih
"Apa semua gara-gara postingan di sosmedku, Ngga? Seharusnya aku ingat kalau keberadaan kita tak boleh diketahui," sesal Aira. "Apa?" Manggala mengernyit tak mengerti. "Kamu sempat mengunggah foto-foto kita?" "Bukan! Aku tidak mengunggah foto-fotomu. Hanya pemandangan saja," ralat Aira. Rasa sesalnya makin menggunung tatkala melihat raut sedih Manggala. "Ya, sudah. Tidak apa-apa. Kita berkemas sekarang, ya." Manggala mencoba untuk tersenyum, meskipun tampak kaku. "Aku minta maaf, Ngga. Saking bahagianya, aku lupa untuk menyembunyikan lokasi kita." Aira menangkup kedua tangannya di dada. Dia sungguh menyesali kecerobohannya. "Nggak, Ra. Kamu nggak salah. Memang sudah waktunya orang-orang mengetahui status kita," hibur Manggala. Dipeluk dan diusapnya punggung sang istri. "Sekarang, kita siap-siap, ya. Aku sudah memesankan tiket pesawat menuju Brisbane untuk nanti malam." Aira mengangguk sambil sesekali terisak. "Brandon tadi telepon, Ngga. Dia juga menyarankan agar aku cepat
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Man
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak
"Ah, itu bukan urusanku lagi." Aira tertawa canggung, serba salah melihat air muka Manggala yang tiba-tiba keruh setelah mendengar nama 'Jati'. "Mas Jati betah tinggal di Amerika. Padahal istrinya ngotot meminta pulang ke Indonesia. Kemungkinan hal itu yang menyebabkan pernikahan mereka retak," cerocos Hilda. Aira seakan tertipu oleh kesan pertama Hilda yang tampak seperti gadis lugu yang pemalu dan pendiam. Nyatanya, setelah saling mengenal selama beberapa detik, Hilda banyak berbicara. "Bagaimana kabar istrinya? Sehat-sehat, kan?" tanya Aira mengonfirmasi. "Yang kudengar sih, Mbak Senja sudah kembali sehat. Padahal sempat sakit parah," jawab Hilda. "Ehm, jadi begini ya, kalau perempuan sudah mulai bergosip. Kita dicuekin," seloroh Gading yang disambut dengan tawa renyah oleh Manggala. "Ah, begini saja. Bagaimana kalau kita biarkan Hilda dan Aira mengobrol? Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu," tawar Manggala. "Hal penting apa?" tanya Gading. "Ini ada kai
"Ini kantor pusat perusahaan start-upmu, Ngga?" Aira menatap gedung lima lantai yang menjulang gagah di depannya."Bagus nggak, Ra?" tanya Manggala dengan mata berbinar."Bagus banget, Ngga." Aira berdecak kagum. Bangunan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca tebal itu terlihat kokoh. "Siapa arsiteknya?""Gading yang mengatur semuanya, Ra. Tempat ini awalnya merupakan gedung tua yang terbengkalai. Aku yang membelinya dengan harga murah. Gading yang merenovasi keseluruhannya," jelas Manggala."Ah, aku jadi tidak sabar bertemu dengan Gading. Sudah lama sejak dia lulus kuliah ya, Ngga?" "Betul sekali." Manggala tersenyum lembut lalu menggandeng tangan Aira. Diajaknya sang istri tercinta memasuki lobi. Ekor mata Aira spontan menangkap rangkaian huruf berukuran besar yang menempel di salah satu dinding lobi. "Nirwana," gumamnya. "Lihat slogannya, Ra," tunjuk Manggala.Aira pun mengalihkan fokusnya pada deretan kalimat di bawah kata 'Nirwana' itu. "Satu klik yang bisa membawa
"Sudah kuduga, Bunda pasti mendengar semuanya." Ibra terkekeh. Namun, di sisi lain dirinya cukup gelisah, khawatir Imelda akan memarahinya, atau lebih parah lagi, memarahi Aira. Kekhawatiran itu bukannya tak beralasan. Ibra sempat menebak bahwa ibunya pasti berpikir jika secara tidak langsung, Aira lah yang menyebabkan Ibra pergi ke luar negeri."Ibra." Imelda maju selangkah dan berdiri tepat di hadapan putra tengahnya itu. Postur Ibra yang tinggi menjulang, membuat Imelda mendongak agar bisa menatap tepat ke arah kedua mata Ibra. "Bunda bangga padamu," ucapnya."Hah!" Ibra melongo. Tak menyangka jika Imelda malah memberinya pujian. "Bunda nggak marah?" tanyanya memastikan."Marah? Kenapa mesti marah? Bunda malah senang dengan pemikiranmu. Tandanya, pola pikirmu sudah dewasa dan matang, Nak," tutur Imelda sembari mengusap lembut lengan Ibra. "Lagipula, anak cowok memang harus merantau. Harus terbiasa menghadapi kerasnya dunia. Mentalmu harus ditempa supaya menjadi laki-laki kuat, layak
Aira tercenung setelah mendengar penuturan Manggala. Sebelumnya, Mira pernah memperingatkan dirinya tentang Ibra yang kemungkinan besar menaruh hati pada Aira. Namun, dia tak pernah menanggapi serius akan hal itu."Apa anak itu benar-benar menyukaiku, Ngga?" gumam Aira. "Siapa yang tidak suka padamu, Ra. Kamu cantik, cerdas, berbakat. Pokoknya paket komplit, deh," sanjung Manggala."Ah, gombal lagi!" Aira mencebikkan bibir."Serius, Sayang!" ujar Manggala."Padahal aku jauh lebih tua dari Ibra. Bisa-bisanya dia naksir aku." Aira terkikik geli."Kamu tuh masih kelihatan seperti anak kuliahan, Ra. Nggak akan ada yang menyangka kalau kamu tuh ibu anak satu," sanjung Manggala lagi."Ah, aku bosan dengan gombalanmu. Mending tidur," gerutu Aira. Sesaat kemudian, dia menarik selimut hingga ke dagu lalu memejamkan mata."Beristirahatlah, Sayang. Selamat tidur." Manggala mengecup lembut dahi Aira sebelum turut tenggelam ke alam mimpi.Entah berapa lama Aira tertidur, dia terbangun saat menden