Sudah dua batang rokok yang Manggala habiskan, tapi perasaan gelisah masih juga mengganggu hatinya.Dia berniat menyulut sebatang lagi. Namun, panggilan dari seseorang membuat kegiatannya terhenti. Rokok Manggala terselip di sudut bibir, sementara satu tangannya sibuk menekan tombol hijau di layar ponsel. "Yes, Mr. Williams," sapanya pada si penelepon.Manggala masih mengingat dengan jelas nama pemilik penginapan yang sudah disewanya selama sebulan ke depan itu. "Apakah ada masalah?" tanya Manggala sedikit tegang."Begini, Tuan. Sejak Anda pergi diam-diam dari penginapan, setidaknya sudah ada lima orang misterius yang mencari anda. Mereka bahkan memaksa meminta nomor kamar Anda," jelas si pemilik penginapan."Apakah Anda memberitahu mereka nomor kamarku?" "Tentu saja tidak, Tuan. Itu adalah privasi penyewa kamar. Saya tidak akan mengatakannya pada orang asing," tegas Williams.Mendengar hal itu, Manggala mengempaskan napas lega. "Syukurlah, dan sungguh-sungguh kuucapkan terima kasih
"Apa semua gara-gara postingan di sosmedku, Ngga? Seharusnya aku ingat kalau keberadaan kita tak boleh diketahui," sesal Aira. "Apa?" Manggala mengernyit tak mengerti. "Kamu sempat mengunggah foto-foto kita?" "Bukan! Aku tidak mengunggah foto-fotomu. Hanya pemandangan saja," ralat Aira. Rasa sesalnya makin menggunung tatkala melihat raut sedih Manggala. "Ya, sudah. Tidak apa-apa. Kita berkemas sekarang, ya." Manggala mencoba untuk tersenyum, meskipun tampak kaku. "Aku minta maaf, Ngga. Saking bahagianya, aku lupa untuk menyembunyikan lokasi kita." Aira menangkup kedua tangannya di dada. Dia sungguh menyesali kecerobohannya. "Nggak, Ra. Kamu nggak salah. Memang sudah waktunya orang-orang mengetahui status kita," hibur Manggala. Dipeluk dan diusapnya punggung sang istri. "Sekarang, kita siap-siap, ya. Aku sudah memesankan tiket pesawat menuju Brisbane untuk nanti malam." Aira mengangguk sambil sesekali terisak. "Brandon tadi telepon, Ngga. Dia juga menyarankan agar aku cepat
Aira berdiri gelisah di depan lift pribadi. Gugup dirinya menunggu hingga pintu lift itu terbuka. Dan ketika dia melihat sosok Helen keluar dari sana, Aira merasa begitu terintimidasi. Tatapan Helen begitu tajam dan seakan penuh permusuhan. Wanita cantik berambut pirang itu melangkah pelan, mendekati Aira sambil menenteng tas tangan dan satu tas laptop. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Helen seraya memaksakan senyum. "Manggala sedang tidak ada di rumah," ujar Aira dengan nada bicara kaku. "Aku tahu! Dia sedang mengikuti rapat evaluasi," sahut Helen sinis. Sorot matanya menyapu setiap sudut ruangan. "Jadi ini apartemen yang selalu dia rahasiakan dariku?" celetuknya tiba-tiba. Helen melanjutkan langkah. Tanpa sungkan, dia berjalan menuju ruang makan yang bersisian dengan dapur. "Hm!" Helen meletakkan dua tas bawaannya di meja marmer berukuran besar yang terdapat di tengah-tengah ruangan dapur. "Manggala memang bodoh!" cibir Helen. "Apa maksudmu?" geram Aira yang tak terima
Ruang rapat terasa begitu sepi. Hanya ada Frederick dan Manggala di sana. Semua orang sudah membubarkan diri. Begitu pula dengan Brandon yang sempat mengacaukan suasana hati Frederick. Teringat olehnya, kalimat jahat yang sempat dilontarkan kepada Brandon, hanya supaya pria itu pergi. "Apakah aku salah, Manggala?" ucap Frederick tiba-tiba. Manggala yang awalnya terpekur, langsung menoleh ke arah pria paruh baya tersebut. "Tentang apa?" tanyanya. "Jujur saja. Keberadaan Brandon sungguh menyiksaku. Sosoknya selalu mengingatkanku akan kesalahan besar yang pernah ku perbuat di masa lalu," beber Frederick. "Anak itu lahir ke dunia karena pengkhianatanku terhadap istriku. Aku berselingkuh dengan seorang wanita. Martha namanya," papar Frederick. "Berbulan-bulan lamanya kusembunyikan kenyataan itu, sampai akhirnya Martha hamil anakku, dan lahirlah Brandon," imbuhnya. "Kesalahan Anda menjadi semakin besar karena sudah bersikap tak adil terhadap Brandon. Setidaknya, jangan tunjukkan
"Sial!" Manggala segera berlari ke kamar Aira. Dia sedikit lega saat melihat baju-baju istrinya masih rapi tersimpan di dalam lemari. Namun, pikirannya kembali kacau ketika tak mendapati Aira di manapun. "Kau tak akan menemukannya di sini, Sayang! Sudah kukatakan dia pergi, tanpa membawa apapun. Ponsel pun tak dia bawa," cerocos Helen yang dalam keadaan setengah mabuk. Manggala terdiam. Benaknya langsung terarah pada rumah Mira. "Aira pasti berada di sana," gumamnya. Tak ingin membuang waktu, Manggala berlari hendak memasuki lift pribadi. Tatkala satu kakinya hampir memijak lantai lift, terdengar Helen berseru nyaring. "Aku mencintaimu, Manggala! Satu-satunya alasan aku mengalah dan memilih untuk tidak memperjuangkanmu adalah supaya kau bisa bersatu dengan Cynthia! Kurelakan kau hanya demi bersama sahabatku! Aku tak akan menerima perempuan lain selain dia!" Manggala menghentikan langkah dan berbalik ke arah sang sekretaris. "Kau gila, Helen!" umpatnya. "Aku tak akan kembali
"Kamu yakin Aira benar-benar pergi, Ngga?" tanya Mira lesu. Pasalnya, ini sudah tengah malam dan mereka tak bisa menemukan Aira di manapun. "Siapa tahu dia pulang ke apartemenmu? Mungkin dia cuma ngambek sebentar dan pulang lagi," cetus Mira."Bisa jadi ...." Manggala tertegun sejenak. "Apalagi dia keluar tanpa membawa apa-apa. Bahkan ponsel saja tidak dibawa.""Pantas saja kuhubungi dari tadi tidak tersambung," ujar Mira."Berarti, Aira tidak ke mana-mana." Manggala menarik kesimpulan. Diputarnya kemudi untuk kembali ke apartemen mewahnya.Satu jam kemudian, mereka tiba di ruangan penthouse Manggala. Betapa terkejutnya Mira saat melihat kondisi apartemen yang berantakan."Apa ini ulah Aira, Ngga?" tanya Mira was-was."Bukan." Manggala menjawab singkat karena sibuk mencari ponsel Aira yang tadi sempat dia lihat tergeletak di meja ruang tamu.Keringat dingin mulai membasahi dahi ketika Manggala tak menemukan benda pipih itu. Beruntung akal sehatnya masih bekerja. Dia segera berlari ke
"Negara mana yang ingin kau tuju?" tanya Brandon setelah beberapa saat lamanya terdiam. "Aku tidak tahu. Yang penting jauh dari Manggala," jawab Aira lesu. "Apa kau yakin bisa jauh darinya?" Brandon mengangkat satu alis sambil tersenyum penuh arti. "Maksudmu?" Aira menggeleng tak mengerti. "Manggala pasti terus mencarimu hingga ke ujung dunia. Cepat atau lambat, kalian pasti akan bertemu," ujar Brandon penuh keyakinan. "Suatu saat ... asal tidak sekarang," sahut Aira lirih. "Aku bisa saja membantumu, tapi ada baiknya kau selesaikan dulu semuanya sebelum pergi dari hidup Manggala. Seperti nasihatku tadi," saran Brandon. "Semua sudah terlambat. Aku tidak butuh penjelasan pria brengsek itu." Mulut Aira boleh saja berbicara kasar tentang Manggala. Namun, hatinya tak dapat dibohongi. Masih ada cinta yang begitu besar untuk pria berambut gondrong itu. "Baiklah, kalau kau bersikeras. Lagipula, sejak awal aku sudah menyanggupi," putus Brandon. "Sekarang tidurlah di kamarku. Ak
Aira menyandarkan punggung di pintu kamar yang sudah ditutup rapat. Kepalanya sedikit mendongak dengan tatapan menerawang ke langit-langit kamar. Manggala sudah pulang sejak tadi, tapi rasa bersalah itu tak mau hilang dari relung hati. Ini semua salahnya. Aira yang membuat Manggala patah hati sampai pria itu hilang arah dan mempermainkan Cynthia. Secara tidak langsung, dia juga bertanggung jawab atas hancurnya hidup Cynthia. "Ya, Tuhan ...." Aira kembali terisak. Dia telah merusak hidup dua orang, Manggala dan Cynthia. Dalam keadaan kalut, dirinya teringat pada sang Tante. Dengan langkah mengendap, Aira mengambil ponsel di atas nakas, lalu mulai menghubungi Mira. Hanya dua kali nada sambung, Mira langsung mengangkat panggilan. "Halo? Kamu nggak apa-apa kan, Ra?" tanyanya was-was. "Tante, tolong jemput aku sekarang. Akan Aira kirim alamatnya lewat pesan," pintanya sambil menangis tersedu. "Oke, Nak. Tunggu sebentar, ya." Selesai berbicara demikian, Mira memutus telepon. Tak sampai
"Hei, Manggala. Kau datang?" sapa Cynthia dengan suara yang sengaja dibuat manja dan menggoda. "Ya, bersama Aira. Dia sedang ke toilet." Manggala mundur beberapa langkah, berusaha menjaga jarak dari wanita yang sampai detik itu masih menyimpan rasa cinta untuknya. "Hm, anakmu tampan," sanjung Cynthia sambil iseng menyentuh pipi gembul Enzo. "Terima kasih," ucap Manggala singkat. "Di mana William dan Sammy?" tanyanya mengalihkan perhatian Cynthia. "Sedang bersiap bersama kru event organizer," jawab Cynthia dengan tatapan tak lepas dari wajah tampan Manggala. "Kalau begitu, aku permisi hendak menyusul Aira ke toilet," pamit Manggala. Sejak awal, dia merasa tak nyaman dengan interaksi Cynthia. Sebisa mungkin, Manggala akan berusaha mati-matian untuk menjauh dari ibunda Sammy itu. "Minggu depan adalah sidang pertama ayahku!" seru Cynthia, mencegah langkah Manggala agar tak buru-buru menjauh. "Baguslah!" sahut Manggala singkat. "Banyak saksi baru yang memberatkan ayahku. Ditambah m
Aira mengajak Catherine ke ruang tamu. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati taman belakang. Masih ada Ibra dan Arka yang betah nongkrong di bangku taman. "Kak," sapa Arka dengan sorot penuh arti. Aira yang memahami maksud adik iparnya, langsung tersenyum lebar. "Cat, kenalkan, mereka adik-adikku yang tampan!" Merasa dirinya dipanggil, Catherine yang awalnya berjalan dengan tatapan lurus ke depan sambil menggendong Enzo, segera menoleh. Sementara Ratri yang berada di gendongan Aira, mulai rewel. Bayi cantik itu merengek ingin bersama ibunya. "Ibra, Arka. Kalian berdua mengobrol dulu saja dengan Catherine. Aku mau mengantar Ratri ke ibunya," pamit Aira. Dia langsung pergi tanpa menunggu tanggapan ketiga orang itu. Beberapa langkah menjauh, Aira bisa mendengar gelak tawa dan obrolan ringan yang berasal dari Catherine beserta dua adik iparnya. Sesekali, Enzo ikut berceloteh. Aira pun tersenyum lega. Ternyata, tak sulit bagi mereka bertiga untuk saling mengakrabkan di
"Hah, menikah?" Aira terkejut luar biasa. "Bukankah Tante Mira memutuskan untuk melajang seumur hidup?" serunya.Teringat oleh Aira, dulu sang tante mengikrarkan bahwa dirinya tidak akan menikah. Alasannya hanya satu, yaitu ribet. Namun, siapa sangka jika hari ini, prinsip itu roboh."Coba tebak, siapa calonnya?" sela Kartika tak kalah antusias."Alex!" sahut Manggala enteng. "Lho, kok tahu?" Kartika melongo."Kapan hari kami melihat Tante Mira dilamar oleh Alex," beber Manggala sambil tersenyum geli."Ya, ampun!" Aira menepuk dahi."Jadi, kedatangan kami kemari adalah mengundang keluarga Manggala untuk hadir dalam resepsi sederhana yang akan diadakan di rumah," tutur Kartika."Tentu, Jeng. Dengan senang hati, kami akan hadir!" balas Imelda tak kalah antusias."Syukurlah!" Kartika berdiri memeluk Imelda, kemudian menyalami Bayu yang lebih banyak diam dan hanya senyum-senyum saja."Eh, tunggu! Enzo dan Ratri ke mana?" Saking hebohnya, Aira sampai melupakan keberadaan putra semata waya
Manggala menahan napas. Menelan ludah pun terasa sulit. Tak disangka Aira bersedia menuruti keinginan gilanya. "Ra, sudah, Ra. Kamu menang," desis Manggala saat Aira terus meliukkan tubuh yang kini hanya terbalut pakaian dalam. "Nanggung, Sayang." Rupanya Aira terbawa permainan sendiri. Dia begitu menghayati hingga tanpa sadar kini hanya tersisa segitiga hitam berenda yang menutupi inti tubuhnya. "Oke, stop!" Manggala bangkit dari ranjang dan menerjang Aira. Dicumbuinya sang istri dengan sedikit kasar. Manggala lalu mendudukkan Aira di sofa, mengungkung dan menyerangnya dengan ciuman. Ketika Manggala hendak melepas segitiga berenda itu, Aira tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan suaminya. "Tunggu!" pinta Aira. "Lepas, Ra," geram Manggala yang sudah tak dapat menahan gairah. "Kamu masih marah, kan? Masih cemburu?" cecar Aira. Manggala menggeleng lemah. "Aku memaafkanmu, Sayang. Sekarang, ayo kita lanjut!" Manggala mendorong lembut tubuh Aira hingga berbaring di sofa. Dia l
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Man
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak