"Kau .... Sedang apa di sini?" Manggala menatap nyalang pada Brandon. "Kenapa memangnya? Apa aku harus memiliki undangan supaya bisa masuk ke dalam sini?" balas Brandon sinis. "Tentu saja. Kau tidak boleh sembarangan masuk di pesta seseorang," timpal Manggala. "Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Bukankah kabar bahagia seperti ini harus disebarluaskan?" sindir Brandon. Merasa Manggala tak bisa berkutik, Brandon pun mengalihkan pandangan pada Aira. "Dan kau, Aira. Aku sama sekali tak menyangka bahwa sosok suamimu adalah dia," ujarnya sembari mengarahkan telunjuk tepat ke muka Manggala. "Seingatku, kau pernah mengatakan kalau kau dan suamimu berhubungan jarak jauh. Tak kusangka, ternyata kau memiliki bakat berbohong," cibir Brandon seraya tersenyum meremehkan. "Kami berhak menyembunyikan pernikahan kami dari siapapun yang kami mau. Kau tak punya hak dan alasan untuk menuntut ini dan itu," tegas Manggala. "Sebenarnya, aku sama sekali tidak peduli atas masalah kalian. Tapi, ada
Di sisa waktu liburan, Aira mencoba bersikap biasa. Dia tak mau merusak suasana bahagia yang tengah dirasakan oleh Kartika. Ibunya itu harus tetap senang sampai tiba waktunya pulang ke Indonesia. Tak terasa, dua hari telah berlalu. Saatnya mereka semua harus check out dari hotel. "Mama masih di sini, kan?" tanya Aira was-was, sebab dirinya masih teramat rindu dengan sang ibu. "Wildan pulang lebih dulu besok pagi, karena dia punya banyak tanggungan pekerjaan di kantor. Wildan cuma mendapat izin cuti tiga hari. Sedangkan mama dan Sinta menginap di rumah Mira sampai seminggu ke depan. Rencananya, kami mau berjalan-jalan keliling Brisbane dulu sampai puas," jelas Kartika panjang lebar. "Syukurlah," ucap Aira sambil sesekali melirik ke arah Manggala. Ada satu keinginan yang tak berani dia ungkapkan pada suaminya itu. "Kamu mau menginap di rumah Tante Mira juga?" terka Manggala yang seolah tahu isi hati Aira. Sontak Aira tersenyum lebar. "Hebat! Kamu bisa membaca pikiranku!" sa
Aira terpaku untuk beberapa saat. Sorot matanya lurus tertuju pada sosok Manggala yang mempesona. Tubuh atletis pria itu begitu menggoda. Otot-otot lengan dan perut tercetak sempurna. Ditambah posisi celana boxer yang terlalu ke bawah, semakin menambah aura seksi seorang Manggala. Apalagi saat itu Manggala sengaja mengurai rambut gondrongnya yang basah. Aira sampai menelan ludah berkali-kali. "Pi-piyamamu mana? Ke-kenapa tidak dipakai?" tanyanya terbata. "Kekecilan," jawab Manggala enteng. "Rasanya terlalu sesak di perut dan paha. Aku jadi tidak nyaman." "A-aku pinjamkan T-shirt Kak Wildan, ya," tawar Aira. "Tidak usah, Ra. Aku lebih nyaman begini," tolak Manggala. Dengan santainya, dia naik ke ranjang lalu merebahkan diri dalam posisi telentang. Manggala menggunakan kedua tangan sebagai bantal. Tampak pandangannya kosong terarah ke langit-langit kamar. Aira mati gaya. Batinnya berkecamuk. Apa yang harus dia lakukan saat itu? Tetap berdiri mematung, atau turut berbaring?
Aira mengamati dari ranjang. Suaminya itu tampak serius berbicara pada seseorang. Sesekali tangan Manggala erat mencengkeram pagar balkon. Rasa penasaran itu hadir. Ingin sekali dia menghampiri sang suami dan mencari tahu siapa yang menelepon malam-malam begini. Akan tetapi Aira terlalu malas mengenakan pakaiannya yang masih tercecer di lantai. Dia pun memutuskan untuk berbaring. Cukup lama Aira menunggu Manggala menyelesaikan panggilan, sampai dia tertidur tanpa sadar. Aira terbangun ketika merasakan pergerakan di permukaan ranjang. Manggala menggeser tubuh dan menyelinap di balik selimut yang dipakai Aira. Sepertinya pria itu telah selesai dengan urusannya. Akan tetapi, Aira tak menoleh dan memilih untuk kembali memejamkan mata. Cup! Tiba-tiba, bibir Manggala mendarat di pelipis Aira sambil berkata, "Maafkan aku, Ra." Aira tak menggubris ucapan Manggala. Dia sudah terlanjur pura-pura tidur. Lagipula, Aira merasa sangat kecewa, karena Manggala menghentikan permainan di sa
"Helen, please. Aku ingin sarapan dengan tenang," sela Manggala acuh tak acuh. "Sir ...." "Jangan khawatir. Kupastikan bahwa semua pikiran burukmu itu tak akan terjadi," potong Manggala. "Baik. Kuingat selalu kata-kata Anda. Mantan seperti Nona Aira, tidak pantas mendapatkan cinta dan kesempatan kedua dari pria baik seperti Anda," ujar Helen penuh penekanan. "Aira yang harus jatuh cinta dan bertekuk lutut, bukan sebaliknya," imbuh wanita cantik berambut pirang itu. "Astaga!" Manggala mendengkus pelan. Beruntung bekalnya sudah tandas. Jika tidak, pasti nafsu makannya akan menguap akibat kecerewetan Helen. "Coba sebutkan lagi agenda hari ini. Aku ingin kita fokus pada pekerjaan saja," titahnya beberapa saat kemudian. Helen hendak membuka mulut ketika pintu ruang kerja Manggala diketuk oleh seseorang. "Sebentar, Sir," ujar Helen. Sudah menjadi tugasnya untuk memeriksa siapapun yang datang menemui sang atasan. Dan Helen tak segan mengusir tamu yang tak memiliki janji dengan Mang
Tak disangka, hanya tiga bulan saja Aira bekerja di media sebesar 'Nature Perfect'. Kini dia harus menyerahkan surat pengunduran diri secara langsung. Beruntung, dia tak mengenal banyak orang di sini, kecuali kru studio, sehingga kedatangannya di ruangan HRD tak begitu diperhatikan, kecuali oleh Brandon. Pria itu sengaja menunggu Aira di samping pintu keluar. Tak peduli meskipun Aira cukup lama berada di dalam sana. Setengah jam kemudian, yang ditunggu pun menampakkan wajah cantiknya yang tak berseri. "Bagaimana?" tanya Brandon seraya menyejajari langkah Aira yang berjalan cepat menuju lift. "Bagaimana apanya?" sahut Aira ketus. "Apa kau sudah resmi keluar?" tanya Brandon lagi. "Menurutmu?" Aira balas bertanya masih dengan nada yang sama. Sorot tajam juga dia layangkan pada Brandon. "Setidaknya kau jadi tahu satu hal," ujar Brandon sambil turut masuk ke lift. "Aku sedang tidak ingin bicara denganmu. Menyingkirlah dariku, Brandon!" Aira mendorong kuat-kuat tubuh tinggi tegap itu
"Oh, astaga!" Helen tertawa demi menyembunyikan kegugupannya. Dia tak boleh menunjukkan bahwa dirinya tengah gemetaran saat itu. "Kau sahabatku sedari kuliah, Cynthia. Mana mungkin aku mengkhianatimu," bujuk Helen. "Semua bisa saja terjadi. Kalian bertemu hampir tiap hari. Saling mengobrol dan berdiskusi. Tidak menutup kemungkinan jika salah satu dari kalian, atau mungkin dua-duanya saling jatuh cinta," tuding Cynthia. "Kau tahu sendiri seperti apa karakter Manggala. Dia baru menerimamu sebagai kekasihnya sejak lima bulan terakhir ini, bukan? Padahal dia sudah ada di sini selama dua tahun. Dia bukan orang yang mudah jatuh cinta, Cynthia. Dan sekali dia menjadikan seorang wanita sebagai kekasihnya, itu artinya wanita itu sangatlah istimewa. Aku yakin dia tidak akan pernah berpaling pada siapapun," jelas Helen panjang lebar. "Kau sangat memahami Manggala. Itu juga membuatku sangat cemburu," gerutu Cynthia. "Ya, ampun! Berhentilah berpikir negatif, Cynthia!" tegur Helen. "Tapi
Hampir satu jam lamanya Manggala berada di bawah shower. Berapa kali pun dia mencoba menggosok kulit leher dan dada, bekas tanda percintaannya bersama Cynthia tidak juga hilang. "Bodoh!" Manggala memukul dinding kamar mandi penthouse berkali-kali, hingga buku-buku jarinya memar dan berdarah. "Aku brengsek sekali! Ya, Tuhan!" Manggala menangis. Ya, pria garang yang selalu tampil super maskulin itu menitikkan air mata. "Maaf .... Maafkan aku, Aira. Sedikit lagi, sebentar lagi, dan aku akan membawamu pergi jauh dari sini," racaunya. Persetan dengan rencana balas dendam yang dia rancang bersama Helen untuk membalas sakit hatinya pada Aira. Manggala sudah tak memiliki dendam sedikitpun pada istrinya itu. Amarah dan kecewa yang menggunung, luruh tak tersisa sejak ikrar sehidup semati sebagai suami istri terucap. "Apa yang harus kulakukan, Aira? Aku sudah membuat kesalahan besar padamu," sesal Manggala. 'Rahasiakan apa yang terjadi di kantor tadi dari Aira. Sampai kapanpun, dia tida
Aira kembali menemui Jati setelah bayinya tertidur. Dia duduk di samping Catherine, menghadap tepat ke arah pria tampan yang pernah menjadi suaminya selama dua tahun itu. Sementara itu, Brandon memilih untuk pulang ke apartemennya yang terletak di sebelah apartemen Aira dan Catherine. "Bukankah Kak Jati sedang mengembangkan usaha peternakan di Australia? Kenapa sekarang tiba-tiba pindah ke Amerika? Jadi bos pula! Sungguh tidak masuk akal," selidik Aira. Jati tertawa kecil. "Aku membatalkan rencana kerjasama di Australia dan ingin fokus dengan usaha yang telah kurintis bersama dengan rekanku sejak lama," jawabnya. "Apa itu cuma alasan saja?" kejar Aira. "Atau Kak Jati memang sengaja mengikutiku?" ketusnya. "Itu juga menjadi salah satu alasan," jawab Jati enteng. "Astaga!" Aira menepuk dahi, sedangkan Catherine hanya terbengong-bengong. Dia sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. "Apa Kak Jati tidak memikirkan perasaan Senja? Sebagai sesama perempuan, aku paham bagaimana rasa s
"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira
Sudah seminggu sejak Aira keluar dari rumah sakit. Brandon sampai harus menyewa apartemen tepat di samping apartemen Catherine. Pria itu selalu bersemangat membantu merawat bayi Aira. Terlebih ketika Catherine berangkat kerja dan Aira sendirian. Seperti pagi ini, Brandon membantu memandikan bayi tampan Aira yang belum diberi nama. "Apa kau tidak ada kerjaan lain?" tanya Aira heran. "Kau sekarang pengangguran, ya?" terkanya. Brandon terbahak mendengar hal itu. "No! Aku punya pekerjaan. Sebuah proyek besar," ujarnya sambil memandikan tubuh mungil yang tampak sangat rapuh itu. Brandon sangat berhati-hati menyentuh putra pertama Aira. "Lihatlah. Wajahnya sangat mirip dengan Manggala." "Iya." Aira tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah sendu. "Kenapa dunia selucu ini?" racaunya. "Maksudmu?" "Di saat aku sangat ingin melupakan Manggala dan mencoba melangkah ke depan, Tuhan malah memberikanku seorang bayi yang wajahnya mirip sekali dengan Manggala," desah Aira. "Mu
Sudah dua bulan sejak Kartika pulang ke Indonesia. Kini, Aira menjalani kehamilannya seorang diri. Meskipun ada Catherine, tetapi perempuan cantik itu tak bisa 24 jam di samping Aira, karena Catherine juga bekerja. Di satu sisi, Aira juga mengkhawatirkan keadaan sang kakak. Akibat insiden jatuh di kamar mandi waktu itu, Sinta terpaksa melahirkan prematur. Beruntung, Sinta dan bayinya berada dalam kondisi baik. Namun demikian, bayi prematur harus mendapatkan perawatan dan penanganan yang lebih intens. Itulah sebabnya Kartika tetap tinggal di Jakarta untuk mengawasi perkembangan cucu pertamanya. "Aira, kau tidak apa-apa kan, kutinggal sendiri?" tanya Catherine, membuyarkan lamunan Aira. "Memangnya kau mau ke mana?" Aira yang tengah sibuk menyiapkan peralatan memotretnya, langsung menoleh ke arah Catherine. "Aku harus mendampingi atasanku. Kami ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk dua hari ke depan," jelas Catherine. "Oh, tidak masalah. Aku tidak selemah yang kau kira," k
Ditemani oleh Catherine, Arunika mendatangi seorang dokter kandungan. "Usia janin diperkirakan sembilan minggu," jelas sang dokter sembari mengusapkan tranducer pada perut Aira. Air mata mulai mengembun. Haru sekaligus bahagia Aira rasakan saat pertama kali mendengarkan detak jantung janinnya. Tanpa bisa berkata-kata, dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Begitu pula Catherine yang ikut terharu. "Kita harus memberitahukan berita gembira ini pada keluargamu," cetus Catherine saat mereka berada dalam perjalanan pulang. "Entahlah. Aku ragu, apakah harus mengatakan kehamilanku atau tidak," gumam Aira lirih. "Apa maksudmu? Tentu saja kau harus mengatakannya!" timpal Catherine. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Aira memutuskan untuk menelepon sang ibu. Setibanya di apartemen dan membersihkan diri, Aira meraih ponsel. Bergetar jemarinya saat menekan kontak Kartika. Tak membutuhkan waktu lama sampai sang ibunda mengangkat telepon. "Halo, Sayang. Apa k
Aira terpaksa mengajukan cuti dua hari. Dirinya sedang kacau. Pikiran kalut dan mental sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa bekerja pun tak akan bagus hasilnya. "Hei, apa kau mau kuantarkan ke rumah sakit?" tawar Catherine. "Tidak usah, Cat. Aku baik-baik saja," tolak Aira halus. "Tapi, kupikir kau harus memeriksakan kandunganmu," saran Catherine khawatir. Aira terdiam. Diusapnya perut yang masih rata itu. Hatinya bimbang. Haruskah dia menghubungi Manggala dan memberitahukan kehamilannya, atau menyembunyikan semua dari pria yang masih menjadi suaminya tersebut. "Aira?" panggil Catherine. Dia sedikit was-was karena teman satu apartemennya itu tak menimpali, dan malah menatap kosong ke lantai. "Ya?" Aira baru tersadar. Dia segera menoleh ke arah Catherine. "Kau dengar kan, apa yang kukatakan barusan? Kita harus pergi ke dokter dan memeriksakan kandunganmu," ulang Catherine. "Ah, aku harus menelepon Manggala!" cetus Aira tiba-tiba. Lincah jemarinya mengetikkan nomor Mangga
Sengaja Aira memilih penerbangan malam untuk berjaga-jaga supaya tidak dibuntuti oleh Manggala. Aira takut, bisa saja pria itu masih bersembunyi di sekitaran rumahnya. Meskipun kamera CCTV di sekeliling rumah menunjukkan sebaliknya. Manggala sudah tak ada lagi di sana. Sejak diusir oleh Mira, dia pergi menggunakan mobil dan tak kembali lagi. "Ah," desah Aira lirih. Setiap kali dirinya memikirkan pria tampan berambut gondrong itu, kepalanya selalu terasa pening. Ada rasa yang mengganjal dalam hati. Sedih, kecewa dan marah, bercampur menjadi satu. Sampai detik ini, adegan percintaan yang dilakoni oleh Manggala bersama Cynthia, terus membayangi benak Aira. Dan yang lebih menyakitkan, mereka melakukan itu saat dirinya terlibat kecelakaan. Terlepas dari apapun alasan Manggala, Aira tak bisa membenarkan hal itu. Daripada pikirannya semakin kalut, Aira pun memutuskan untuk tidur, sebab 22 jam perjalanan udara, sangatlah berat. Hingga waktu berlalu tanpa terasa. Setelah mengalami transit
Aira hanya bertahan selama seminggu di rumahnya. Dia sudah bertekad bulat untuk mengejar kesempatan bekerja di New York, Amerika. Setelah menyiapkan semua dokumen dan persyaratan, kini Aira disibukkan dengan berburu tiket pesawat termurah. Beruntung, dia mendapatkan satu tiket kelas ekonomi. "Dua hari lagi Aira berangkat, Ma," ucap Aira saat menghampiri sang ibu yang tampak serius merawat tanaman hias di halaman belakang. Kartika langsung menghentikan kegiatannya dan membalikkan badan. "Mama akan selalu mendukungmu, Sayang. Mama tidak akan pernah memaksakan kehendak lagi." "Ma ...." Air mata haru, luruh tanpa bisa ditahan. Aira menghambur ke pelukan ibunya. Dari dulu, usapan penuh kasih sayang dan kecupan lembut di pucuk kepala, selalu menjadi obat mujarab bagi kesedihan Aira. "Apa Mama percaya dengan keputusan Aira?" tanyanya pilu. "Mama akan selalu percaya dan mendukungmu, Nak," jawab Kartika sambil membelai lembut punggung putri bungsunya. "Tapi, Tante Mira dan Kak Sint
Aira diam-diam menaiki loteng. Sebuah ruangan kecil terbuat dari kayu yang menjadi tempat favoritnya untuk bermain sejak kecil dulu. Langit-langit loteng itu tak seberapa tinggi. Hanya cukup untuk digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Meskipun kecil dan sesak, tapi ruangan itu selalu menjadi tempat yang dituju oleh Aira setiap kali dirinya bersedih. Biasanya dia akan meringkuk di sana dan duduk menghadap ke jendela kaca yang berbentuk bulat. Seperti saat ini. Aira duduk memeluk lutut sambil menerawang menatap pemandangan halaman depan melalui jendela itu. Tanpa sengaja, ekor matanya menangkap sosok yang paling dia hindari, berdiri gagah di bawah sana sambil berbincang dengan Wildan. "Untuk apa dia kemari?" gumam Aira tak percaya. "Kenapa dia bisa tahu aku pulang ke sini?" desahnya gelisah. Rasa penasaran mulai mengusik. Niat awal yang ingin bersembunyi, kini terkalahkan oleh rasa ingin tahu. Secepat kilat, Aira merangkak keluar dari loteng lalu turun me