Noah menempatkan diri di samping Tara. Tanpa ragu, pemuda itu langsung melahap masakan buatan si janda muda seperti tidak pernah makan seharian ini. Tara menyikut Noah, menghentikan kegiatan pemuda itu sejenak. "Apa kamu nggak makan seharian ini, Noah?""Enggak! Bang Radu aku suruh beli makanan, eh, dianya sendiri juga sibuk mondar-mandir. Aku harus terus di dekatnya penulis buat memikirkan adegan yang akan datang. Capek banget, Tara." Noah mendengus lelah. "Oh iya, tadi aku taruh di meja ruang tamu.""Apanya?""Kue bolu, enak banget, Tara. Kamu wajib cobain kue itu." Kata Noah."Gimana kalau kue bolunya dicoba sekarang aja, bareng-bareng? Buat makanan penutup." Saran yang terlontar dari mulut Juwita menciptakan guratan keheranan pada kening Noah dan Tara. Sementara itu, Sari dan Seno tampak senang dengan keputusan tersebut. Terlebih Seno—sebab tidak menyukai kenyataan bahwa bolu itu merupakan pemberian Noah.Noah dan Tara melempar pandang. Tara menggeleng, enggan menuruti kemauan Ju
"Kamu pindah rumah? Terus rumahmu yang kelewat besar itu mau dijadikan sarang hantu gitu?" tanya Rosalie yang sudah siap mengomeli Noah.Pagi-pagi sekali, Heru dan Rosalie menghubungi Noah terkait tingkah membahayakan pemuda itu yang diperbuat semalam—lagi. Lantaran sang kemenakan tak menjawab, maka Heru menghubungi Radu, meminta alamat baru rumah yang mereka tempati. Keduanya telah bertandang ke rumah keluarga Alejandro, tetapi tak mendapatkan balasan apa pun.Sekarang, setelah mendapatkan alamat rumah baru Noah, keduanya datang dengan omelan yang makin menjadi-jadi. "Oh, ternyata diam-diam kamu jadi tetangganya Tara, iya? Astaga, buat apa sih, Noah! Kamu punya rumah yang kelewat besar lho!""Tapi nggak ada apa-apanya, Tante," sanggah Noah. "Terus kalau di sini, ternyata lebih dekat sama gedung lokasi syuting. Tanya aja sama Bang Radu! Beda kalau berangkat dari rumah langsung, agak lama, belum lagi kalau kena macet. Bonusnya, bisa dekat sama Tara, Tante! Kesayanganku, penyemangat har
"Ha? Gimana? Peramal?"Noah menurunkan kaca mata hitamnya, mengalihkan fokus kepada seorang wanita yang merupakan teman dekat si penulis. Sosoknya yang cukup nyentrik dengan pakaian berwarna neon membuat Noah memejamkan mata untuk sesaat. Entah mengapa, dia jadi melihat kembaran Cell yang sama-sama mengagumi warna neon. Wanita itu dikenal sebagai Madam Rowell—nama panggung yang dikenal oleh semua orang, tetapi si penulis tampaknya mengenal si peramal lebih dekat dari yang lain. Mbak Yuri, si penulis yang duduk di dekat Noah itu melambaikan tangan ke arah Madam Rowell. Saat berpandangan dengan Noah, Madam Rowell memindainya secepat kilat bagaikan mesin pemindai paling canggih yang pernah ada.Noah mengernyit, menatap sosok Madam Rowell yang telah mendudukkan diri di samping Mbak Yuri. Menyadari tengah menjadi objek bersusulkan tanda tanya, Yuri memperkenalkan Noah dan Radu kepada Madam Rowell."Noah, kenalkan! Dia ini teman dekat saya semasa sekolah dulu, dan sekarang kami masih berhu
Noah tidak percaya ramalan—sangat. Namun apa yang Tara lakukan padanya hari ini cukup merobohkan kepercayaan pemuda itu. Syuting berlangsung cepat, tanpa basa-basi. Noah menjalankan perannya dengan baik, walaupun hatinya ketar-ketir. Sebab dia tak mengerti, mengapa Tara langsung memutuskan jawaban seperti tak berpikir panjang lebih dulu?Dia merasa, seseorang baru saja memengaruhi Tara, atau mungkin wanita muda itu telah mendengarkan sesuatu yang menggugah hati serta pikirannya. Apa pun itu, Noah sangat terganggu sehingga saat mengambil jeda, yang dilakukan hanya melamun dan mengabaikan ucapan Radu."Noah? Tara nggak mungkin ... serius kan?" tanya Radu untuk yang kesekian kali demi memastikan asmara pemuda itu dan sang pujaan hati. Mendengar keputusan mendadak Tara yang hendak mengembalikan cincin lamaran dari Noah, jujur saja Radu jadi kasihan. Selama ini, dia tak pernah melihat Noah begitu luluh, tersenyum bagai anak anjing yang lucu dan polos. Noah si pemain wanita, memiliki tatap
Jika ajakan yang keluar dari mulut Tara tersampaikan pada Noah sebelum terlibat dalam perasaan penuh kepelikan, sudah dipastikan pemuda itu akan menyanggupi ajakan tersebut. Secepat kilat dia akan membawa wanita muda yang tempo hari menendang aset berharganya itu—dan jadi terkena disfungsi—ke hotel mana pun, mau yang terdekat atau termahal.Akan tetapi, Noah sudah tidak memikirkan disfungsi yang menderanya itu. Bahkan dia tak ingin membawa Tara ke tempat bernama hotel, melakukan hal yang biasa dia lakukan bersama para wanita panggilannya. Noah ingin menjaga Tara. Dia tak mau menyakiti hati janda yang satu itu, walaupun saat ini Tara baru saja mengajaknya pergi."Tara? Apa maksud kamu?" bingungnya. "Ke hotel? Astaga! Apakah kamu mengira kalau aku mau menikahi kamu cuma karena mau membawa kamu ke ranjang?"Sosok yang berdiri di hadapan Noah saat ini bukan seperti Hantara Gantari yang dikenalnya. Tara adalah wanita muda yang tangguh dan punya pendirian kuat. Mau terkena badai semacam apa
Tara sempat berdiri di ambang pintu lift selama beberapa detik. Tanpa sadar, wanita muda itu menarik napas lantaran tak menduga akan seseorang yang telah berada di dalam lift itu. Dari sekian banyaknya orang, mengapa pula dia harus berhadapan dengan sosok Noah Alejandro? Sepertinya takdir memang ingin menguji sisa kewarasannya yang tertinggal.Tidak ada pilihan lain, Tara tetap memasuki lift tersebut. Begitu pintu tertutup, keduanya diserang kecanggungan yang berada pada tahap lain. Tara meringis, menggigit bibir bawahnya diam-diam. Entah mengapa, lift berjalan begitu lambat bagi keduanya. Belum lagi, Tara menyadari jika tujuan mereka memang sama; lantai teratas Hacer. Wanita muda itu memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas secara perlahan, sebisa mungkin tak menimbulkan suara sedikit pun. Belum genap dua menit berada dalam kotak besi berjalan itu, tiba-tiba saja lift berhenti dengan sendirinya. "Eh?""Lho?"Berbekalkan pencahayaan dari lampu darurat, keduanya saling bertatapan
Kedua tangan Tara terkepal erat. Hatinya berdenyut nyeri berkat tamparan berupa pernyataan menyakitkan yang tidak bisa wanita muda itu tepis. Federick hanya berperan sebagai seorang ayah yang selektif, pria itu berkata demikian untuk mendulang masa depan sang putra yang masih panjang dan penuh gemerlap.Tara mencoba memakluminya, sehingga dia hanya mampu mematung dan tak bisa menyalahkan Federick. Pria itu sudah melakukan hal yang benar. Perlahan-lahan, selagi semua orang yang berada dalam ruangan tersebut sama-sama terbungkam, Tara berdiri. Noah mengatupkan bibirnya, hendak mengatakan sesuatu disertai emosi yang siap meledak kapan saja.Berupaya tersenyum, Tara memberanikan diri untuk menatap Federick dan Elisabeth secara bergantian. Walaupun hatinya seakan-akan tengah meneteskan darah seiring detik yang terlewat, wanita muda itu tak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan orang-orang."Tenang saja, Señor. Saya juga tidak akan menikahi Noah, karena saya tau diri dengan status da
"Ngapain kamu harus ke sini sambil membelikanku itu?" Tara membuka pagar, melewati Seno yang masih menguarkan senyum manisnya. Wanita muda itu mengetahui arti dari senyum menggelikan tersebut, senyum sok meneduhkan yang berguna untuk merayu para wanita di luar sana. Sekarang Tara jadi berpikir, bisa saja saat menarik perhatian Juwita dulu, Seno bertingkah seperti ini. Membelikan dan menyempatkan diri untuk menyambangi si wanita secara terus-menerus.Begitu pagar terbuka lebar, Tara memasukkan mobilnya. Mengabaikan ucapan Seno yang menjelaskan kegiatannya pada hari ini, mulai dari A sampai Z. Padahal Tara tak bertanya sama sekali. Justru Tara berharap bahwa mantan suaminya yang tidak tau diri itu pergi dari hadapannya sekarang juga. Harinya sudah cukup kacau, jangan ditambah lagi dengan kehadiran Seno.Keluar dari mobil, Tara malah mendapati Seno yang telah menunggu di depan pintu rumahnya. Menghela napas berat, entah apakah dia bisa tertidur dengan nyenyak atau tidak setelah ini. Melip