Kedua tangan Tara terkepal erat. Hatinya berdenyut nyeri berkat tamparan berupa pernyataan menyakitkan yang tidak bisa wanita muda itu tepis. Federick hanya berperan sebagai seorang ayah yang selektif, pria itu berkata demikian untuk mendulang masa depan sang putra yang masih panjang dan penuh gemerlap.Tara mencoba memakluminya, sehingga dia hanya mampu mematung dan tak bisa menyalahkan Federick. Pria itu sudah melakukan hal yang benar. Perlahan-lahan, selagi semua orang yang berada dalam ruangan tersebut sama-sama terbungkam, Tara berdiri. Noah mengatupkan bibirnya, hendak mengatakan sesuatu disertai emosi yang siap meledak kapan saja.Berupaya tersenyum, Tara memberanikan diri untuk menatap Federick dan Elisabeth secara bergantian. Walaupun hatinya seakan-akan tengah meneteskan darah seiring detik yang terlewat, wanita muda itu tak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan orang-orang."Tenang saja, Señor. Saya juga tidak akan menikahi Noah, karena saya tau diri dengan status da
"Ngapain kamu harus ke sini sambil membelikanku itu?" Tara membuka pagar, melewati Seno yang masih menguarkan senyum manisnya. Wanita muda itu mengetahui arti dari senyum menggelikan tersebut, senyum sok meneduhkan yang berguna untuk merayu para wanita di luar sana. Sekarang Tara jadi berpikir, bisa saja saat menarik perhatian Juwita dulu, Seno bertingkah seperti ini. Membelikan dan menyempatkan diri untuk menyambangi si wanita secara terus-menerus.Begitu pagar terbuka lebar, Tara memasukkan mobilnya. Mengabaikan ucapan Seno yang menjelaskan kegiatannya pada hari ini, mulai dari A sampai Z. Padahal Tara tak bertanya sama sekali. Justru Tara berharap bahwa mantan suaminya yang tidak tau diri itu pergi dari hadapannya sekarang juga. Harinya sudah cukup kacau, jangan ditambah lagi dengan kehadiran Seno.Keluar dari mobil, Tara malah mendapati Seno yang telah menunggu di depan pintu rumahnya. Menghela napas berat, entah apakah dia bisa tertidur dengan nyenyak atau tidak setelah ini. Melip
Tara sedang menikmati kesendiriannya sebagai manusia yang baru saja mengalami patah hati. Namun berita menggemparkan itu datang diawali oleh tatapan tajam para staf lain yang seakan-akan mengulitinya hidup-hidup. Mulanya wanita muda itu merasa bahwa barangkali saja penampilannya ada yang salah, tapi setelah bertemu dengan Cell yang sudah menunggu di lobi, sepasang telinganya memergoki sebuah berita terpanas yang saat itu sedang disiarkan di televisi kantor.Dunia Tara seolah berhenti berputar. Bahkan wanita muda itu kesulitan bernapas saat menyadari bahwa foto yang diperlihatkan secara satu per satu dalam televisi merupakan fotonya dan Noah. Banyak yang mengambil tempat di depan rumahnya, sedangkan tiga foto lainnya memiliki latar berupa lantai teratas Hacer. Tara mengernyit, sesaat memikirkan sesuatu mengenai lokasi yang tak bisa dimasuki oleh sembarang orang itu. Namun pikirannya terbuyarkan kala mendapati panggilan masuk dari Heru. Cell mencengkeram tangannya, khawatir luar biasa.
Banyak yang tidak Tara pahami. Dunia sedang kacau-kacaunya, tetapi dia meringkuk di atas ranjang hotel yang terasa nyaman dan menenangkan. Kalau mau, dia bisa saja merebahkan diri dan menikmati cuti dadakannya ini. Namun pikirannya sedang dihantam badai kenyataan yang seakan bisa menggerogoti sisa kewarasannya.Cell keluar dari kamar mandi, rekan kerjanya itu telah membantunya seharian ini. "Hotelnya bagus, Tar. Aku jadi mau ikutan booking kamar sebelah, biar kesannya liburan. Omong-omong, tagihan kamar ini masuk ke mana? Dompetmu atau dompet Hacer?""Dompetku, memangnya kenapa? Mau ikutan?"Cell terkekeh pelan, lantas mendudukkan diri di tepi ranjang, turut memandang permadani langit yang berhiaskan mendung dari jendela. Sesaat, keheningan membanjiri tanpa repot-repot mau menyurutkan diri. Cell melirik Tara, enggan mengganggu rekan kerjanya yang sedang dilanda masalah itu."Keadaannya Noah gimana ya sekarang?" Tara mengerjapkan mata beberapa kali setelah bergumam tanpa sadar. Wanita
Detik yang bergulir, membuat dua hari berikutnya tidak terlalu menggemparkan. Meskipun artikel mengenai berita kencan Noah dan seseorang yang disebut sebagai 'staf' itu masih beredar, setidaknya mulai tak terlalu banyak. Tara sudah diperbolehkan untuk kembali bekerja di kantor. Dengan senang hati, Tara mengiyakan. Selama mendekam di kamar hotel membuatnya suntuk, tidak bisa bebas.Dia tidak bisa keluar berjalan-jalan, atau mampir ke toko buku seperti biasa. Tentu saja takut akan terdapat beberapa orang mengenalinya. Kali itu, Tara jadi tau bagaimana rasanya menjadi buah bibir yang mengudara secara berlebihan—masalahnya bukan dikarenakan oleh prestasinya.Hari ini, Tara datang mengendap-ngendap lewat pintu belakang yang harus memutar dari tempat parkir. Rosalie sudah mengintruksikan cara memasuki kantor yang aman—dan dia sangat berterimakasih atas demikian. Begitu tiba di lantai 3, dia dikejutkan oleh kesibukan Tim Komunikasi yang masih dalam masa lemburnya.Tara menggigit bibir bawahn
"Jadi, kita masih harus mencari tau siapa pemilik email ini ya?" tanya Radu memastikan, usai mencatat email yang diperlihatkan oleh Gibran. Email tersebut bernamakan twolovehappens. Sebuah nama yang kelewat manis untuk menyerahkan perintah-perintah mengerikan. Radu bergidik ngeri. "Sayangnya, kita nggak bisa tau siapa dalangnya kalau Mas Gibran memang nggak pernah berhubungan sama orang pemilik email ini lewat telepon.""Yang jelas, si twolovehappens itu bisa mikir. Dia sengaja nggak meninggalkan jejak apa pun dengan teleponan. Tapi nih," Noah mendekati sang paman yang terdiam di balik meja kebanggaannya. "Apa Om Heru nggak bisa melacak di mana alamat IP email ini? Temannya Om Heru yang di kepolisian? Bukannya kita bisa minta tolong?""Ck! Kamu pikir, Om nggak melakukan itu? Bahkan Om sama Padre kamu sudah berbicara dengan kepolisian. Padre kamu juga bersedia membayar berapa pun yang mereka mau, dan yah—hasilnya amburadul. Seperti kata kamu, orang ini pintar." Heru mendengus lelah. "S
Noah mengusulkan akhir pekan yang gemerlap menjadi waktu untuk menjalankan kencan terakhirnya bersama Tara. Selepas pertemuan kembali di kantor pagi itu, mereka bermuara pada kesibukan masing-masing. Tak menghubungi satu sama lain, meski diam-diam mendambakan hari yang sama. Seperti hari ini, Noah menyelesaikan syuting seperti biasa. Sutradara dan kru yang mengamati bagaimana kinerja Noah pun terpukau, memuji pemuda itu tanpa henti. Bahkan beberapa aktor pendamping yang namanya sudah lebih dulu ada dalam dunia hiburan, mendadak mengajaknya berteman dan ingin menjadi lebih dekat. Mereka berbondong-bondong meminta saran Noah mengenai ini dan itu, sehingga di mata Radu, Noah terlihat seperti orang paling waras yang ada di muka bumi.Tepat sepekan lagi, perkiraan syuting yang dijalani akan berakhir. Cerita telah mencapai klimaks, semua pemeran hanya perlu menyelesaikan beberapa adegan penting menjelang akhir yang nantinya akan ditutup dengan agenda after party. Berhubung seluruh adegan
Tara sedang membaca blurb sebuah buku, ketika Noah menghampirinya sembari menyodorkan sebuah keranjang yang masih kosong. Pemuda itu menyuruh Tara untuk membeli buku sepuasanya, mau satu atau dua keranjang penuh pun tidak masalah. Untuk kencan terakhir ini, Noah akan membelikan apa pun yang Tara mau.Mulanya hati wanita muda itu melambung secara perlahan, sebab tak pernah diperlakukan seperti itu oleh laki-laki mana pun. Namun teringat bahwa kencan yang dilakoninya memiliki catatan; terakhir, Tara hanya mampu menggelengkan kepala dan mengulum senyum. "Enggak ah, Noah! Aku cuma mau membeli beberapa buku aja buat jadi teman di hotel."Noah hendak menanggapi perkataan Tara dengan celetukan yang biasa dia layangkan, tetapi pemuda itu menahannya. Sudah cukup selama ini tidak tau diri dengan mengejar-ngejar Tara dan membawa janda cantik yang satu itu ke dalam masalah baru. Noah tak mau Tara memandang rendah dirinya lagi. Maka Noah hanya mampu mengekori Tara sambil menenteng keranjang.Seles
Beberapa tahun kemudian;"Pancake buatan Mama, enak?""Enak, Ma!""Sedapnyeee~""Enak dong, Sayang!""Sayang?""Eh?"Noah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Akibat salah memanggil, sekarang pria itu mendapatkan tatapan maut dari sang istri lalu tatapan penasaran dari si kembar. Berdeham, Noah menatap kedua anaknya secara bergantian."Lupakan ya? Papa nggak tau Papa bilang apa barusan. Jadi, pancake buatannya Mama enak kan?" Si kembar menggangguk, lantas Noah melemparkan cengirannya pada Tara. "Enak, Ma. Kata Alva dan Vira, enak kok! Iya kan?"Tara menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seutas senyum terbit pada wajah cantiknya. Waktu bergulir begitu cepat. Noah dan Tara yang terlihat baru menjadi orang tua, kini telah mendapati si kembar berada pada jenjang Taman Kanak-kanak.Selepas menghabiskan sarapan, si kembar diantar ke TK oleh baby sitter. Dikarenakan Noah dan Tara harus mengurus beberapa hal, maka dari itu hari ini tidak bisa pergi bersama anak-anak mereka. Tara sudah kembali
Tara mengabaikan makan malam yang telah dipersiapkan oleh pembantu barunya. Wanita itu tengah memandang rintik hujan melalui jendela kamar. Seperti tak mempunyai semangat hidup, Tara hanya bergerak saat Alvaro atau Alvira terbangun. Selebihnya, dia akan diam saja. Melamun bagaikan sesosok mayat hidup.Hingga malam harinya, Tara terlelap dengan sendiri selepas menidurkan si kembar. Kala itu pula, Noah memberanikan diri untuk menilik tiga manusia yang sangat disayanginya itu. Melihat Tara tidur dengan mata membengkak, mampu mengiris Noah tanpa tedeng aling-aling. Menyakitkan sekali melihat wanita yang disayanginya menangis karena ulanya sendiri—keteledoran yang bisa berakibat buruk bagi masa depan keluarga kecilnya bila tidak segera diselesaikan secepat mungkin.Setelah seharian berkomunikasi dengan Padre dan seseorang yang menjadi dalang dari kesalahpahaman meresahkan ini, baru detik ini Noah menampakkan dirinya di hadapan sang istri. Kedua anaknya pun tampak menggemaskan. Mereka terti
Dari luar, pasangan Noah dan Tara terlihat harmonis dan baik-baik saja. Tetapi dalam setiap rumah tangga, selalu ada yang namanya huru-hara. Rintangan entah kecil maupun besar, keduanya pasti menyambangi tiap bahtera rumah tangga yang berlayar.Pada tahun pertama rumah tangga pasangan tersebut, mereka mendapatkan rintangan terbaru. Didukung oleh lelahnya fisik setelah seharian menjaga si kembar, kemudian kali itu Noah tidak bisa memberikan sedikit sanggahan."Maaf ya, Sayang? Aku sudah menyuruh Mbak Maryam untuk menemani selama dua puluh empat jam kok! Setelah semua urusan selesai, aku bakalan langsung pulang ke pelukanmu." Tutur Noah dengan berat hati.Dikarenakan perkara bisnis yang tak bisa sembarangan ditinggalkan, Noah harus pergi bersama Federick ke luar kota lagi. Tara tidak bisa bermanja-manja dengan berkata bahwa dia enggan membiarkan Noah pergi. Pada kenyataannya, selama ini Noah tak pernah absen dalam menemaninya. Sekarang, dia tak berhak untuk terlalu mengekang pria muda i
Menjadi orang tua baru dari sepasang anak kembar tidaklah mudah. Baik Noah maupun Tara kekurangan tidur. Bahkan Noah harus mengurus beberapa pekerjaan dari rumah, lantaran dia tidak mau terlalu meninggalkan sang istri. Federick dan Elisabeth sudah menyarankan untuk menyewa baby sitter, tetapi pasangan tersebut menolak dengan alasan ingin memberi perhatian penuh selagi masih kecil. Mereka akan menyewa baby sitter saat si kembar sudah bisa berjalan, membantu Tara dalam kesehariannya."Sayang?" Noah menyembulkan kepala dari daun pintu."Ssstt! Mereka baru tidur, Sayang."Noah mengangguk, lantas berjalan mengendap-ngendap memasuki kamar. Mereka sudah berada di rumah sendiri, tapi keluarga besar betah mondar-mandir untuk menilik Alvaro dan Alvira. Meletakkan ponsel di atas nakas, Noah mendekati Tara yang berada di sisi lain ranjang. Pria muda itu memeluk Tara, yang kemudian dibalas dengan dengusan lelah pula. "Kamu hebat, Sayang. Kamu mau apa? Mau dipijit? Mau aku belikan sesuatu? Maaf ya
Tara tidak bisa ke mana-mana. Kenyataan itu membuatnya hanya mampu bergerak pada satu teritori saja; kediaman utama Alejandro. Sebetulnya dia ingin pulang ke rumah sendiri, tetapi mertuanya menolak dengan alasan tidak dapat membantu atau mengawasi Tara setiap saat.Bersama dua pengawal yang masih setia melindungi, seharusnya tidak masalah. Namun Elisabeth tak mau Tara kesusahan dalam keadaan hamil besar. Tara sendiri memang masih belum terbiasa atas perhatian berlimpah yang didapat dari keluarga mertuanya. Bahkan kehamilan yang dialami sampai detik ini pun setara mimpi indah baginya."Sayang! Ayo sini makan buah!"Pintu kamar menjeblak kencang, memperlihatkan sang suami yang membawa piring berisikan buah-buahan. Kalau dihitung, terdapat sekiranya lima buah yang sudah diiris. Tanpa sadar Tara menahan napas, takjub akan betapa banyak buah-buahan segar yang selalu tersedia di kediaman utama Alejandro ini.Menempatkan diri di samping Tara, Noah langsung menyuapi irisan buah kiwi yang tamp
Selepas kehamilan Tara yang membutuhkan perhatian lebih besar, Cell sering menghabiskan waktu di studionya tanpa mau keluar untuk sekadar ke kafetaria. Entahlah, dia jadi tidak bersemangat. Satu-satunya teman yang kerap mendampingi di segala situasi sedang membutuhkan istirahat tambahan, sehingga Cell mulai kesepian.Benar, dia tidak punya teman lain di Hacer selain Tara. Maka dari itu, saat ini dia tak peduli bila harus dikata sebagai penggila kerja. Mau mencari udara segar pun, dia akan tetap bertemankan kesendirian. Namun siang itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintunya dan menyembulkan sekantung plastik besar makanan."Oh? Tara?""Bukan!""Eh?" Cell mengerjap-ngerjapkan mata. Dahinya berkerut heran, tak menduga akan kedatangan seseorang yang lama tak bersua. "Radu? Ngapain ke sini? Katanya Tara, Noah lagi dinas di luar kota kan? Memangnya kamu nggak ikut Noah?""Enggak dong! Kan aku bukan pembantunya. Dulu aku memang mengikuti dia ke mana-mana karena memang itu tugasku sebaga
Kedatangan Seno yang terlalu berani ke kediaman utama Alejandro malam-malam begini, mengundang gurat keheranan pada wajah Tara. Yang mengherankan, bagaimana bisa Elisabeth dan Rosalie membiarkan cecunguk yang satu itu masuk? Bukan berniat menyalahkan, tetapi dia tau sendiri betapa protektifnya dua wanita itu. Membiarkan Seno masuk pada waktu seperti ini, sepertinya mantan suaminya itu melakukan sesuatu yang berhasil menarik iba dari Elisabeth dan Rosalie.Seno mendongak saat mengetahui kehadirannya. Apalagi, Tara sudah telanjur menggunakan parfum yang luar biasa harum dan kini rasanya menguar memenuhi seisi ruang tamu. Tara jadi malu sendiri. Tau begini, dia akan memakai parfum nanti saat hendak tidur saja.Sebab lihatlah—Seno malah senyam-senyum seperti orang sinting, berpikir jika Tara menyambut kedatangannya dengan tampil cantik dan wangi. Padahal Tara berdandan cantik untuk Noah tadi."Cepat katakan, Seno! Apa yang mau kamu katakan kepada menantu saya ini?" Suara Elisabeth memecah
Demi mengakhiri segala urusan yang—disinyalir masih belum selesai—oleh Seno, Tara memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Seno di salah satu stand foodcourt. Sebenarnya dia luar biasa malas. Berhadap-hadapan dengan Seno, yang ada malah menambah tekanan darah tingginya. Saat itu, salah satu pramusaji datang untuk menawarkan lembar menu. "Bapak dan Ibu, silakan pilih, mau pilih makanan apa?"Seno tersenyum lebar, "Kami kelihatan cocok nggak, Mbak?"Tara mengernyit kebingungan. Maksud dari pertanyaan tersebut apa? Kenapa Seno tidak berkaca dari kejadian sebelumnya sih? Sekarang, Tara menyesal sudah mengizinkan dirinya untuk menuruti ajakan Seno yang tidak jelas itu.Si pramusaji mengangguk lantaran tidak tau yang sebenarnya. "Seharusnya Bapak di sampingnya Ibu ini, soalnya ibunya sedang hamil. Bukannya kalau hamil membutuhkan bantuan dari pasangannya ya, Pak?""Ah, begitu? Oke, kalau be—"Tara bersiap melempar ponsel ke arah Seno. Pria itu urung meneruskan ucapannya, memilih untuk
Bugh!Saking kesalnya, bukan Tara yang didapat, tetapi tendangan susulan dari wanita hamil tersebut. Seno meringkuk kesakitan. Sedari dulu, kemampuan fisik Tara memang tak bisa diremehkan. Namun dalam kondisi hamil seperti ini, tentu saja Tara sudah dirundung kelelahan lebih cepat dari biasanya.Napas wanita muda itu terengah-engah, mundur perlahan dan terjatuh dalam dekapan hangat sang suami. Elisabeth dan Rosalie mendekat, hendak membantu menopang tubuh Tara yang harus beristirahat itu. Malahan, gelombang mual datang membanjiri tenggorokannya. Menepi, Tara memuntahkan sup tahu pedas yang baru dimakannya tadi."Pergilah!" Noah memberi gerakan mengusir yang langsung dijalankan oleh dua pengawal di sisi Seno. "Tara sudah tidak menaruh perasaan sedikit pun terhadapmu, Seno. Pergi! Pergilah selamanya dari hadapan kami! Kalau kamu memang mencintai Tara, ikhlaskan Tara dengan kehidupannya yang sekarang ini. Kalau ketahuan kamu datang untuk mengganggu kami lagi, maka aku tidak akan ragu unt