Jika ajakan yang keluar dari mulut Tara tersampaikan pada Noah sebelum terlibat dalam perasaan penuh kepelikan, sudah dipastikan pemuda itu akan menyanggupi ajakan tersebut. Secepat kilat dia akan membawa wanita muda yang tempo hari menendang aset berharganya itu—dan jadi terkena disfungsi—ke hotel mana pun, mau yang terdekat atau termahal.Akan tetapi, Noah sudah tidak memikirkan disfungsi yang menderanya itu. Bahkan dia tak ingin membawa Tara ke tempat bernama hotel, melakukan hal yang biasa dia lakukan bersama para wanita panggilannya. Noah ingin menjaga Tara. Dia tak mau menyakiti hati janda yang satu itu, walaupun saat ini Tara baru saja mengajaknya pergi."Tara? Apa maksud kamu?" bingungnya. "Ke hotel? Astaga! Apakah kamu mengira kalau aku mau menikahi kamu cuma karena mau membawa kamu ke ranjang?"Sosok yang berdiri di hadapan Noah saat ini bukan seperti Hantara Gantari yang dikenalnya. Tara adalah wanita muda yang tangguh dan punya pendirian kuat. Mau terkena badai semacam apa
Tara sempat berdiri di ambang pintu lift selama beberapa detik. Tanpa sadar, wanita muda itu menarik napas lantaran tak menduga akan seseorang yang telah berada di dalam lift itu. Dari sekian banyaknya orang, mengapa pula dia harus berhadapan dengan sosok Noah Alejandro? Sepertinya takdir memang ingin menguji sisa kewarasannya yang tertinggal.Tidak ada pilihan lain, Tara tetap memasuki lift tersebut. Begitu pintu tertutup, keduanya diserang kecanggungan yang berada pada tahap lain. Tara meringis, menggigit bibir bawahnya diam-diam. Entah mengapa, lift berjalan begitu lambat bagi keduanya. Belum lagi, Tara menyadari jika tujuan mereka memang sama; lantai teratas Hacer. Wanita muda itu memejamkan mata sejenak, mengembuskan napas secara perlahan, sebisa mungkin tak menimbulkan suara sedikit pun. Belum genap dua menit berada dalam kotak besi berjalan itu, tiba-tiba saja lift berhenti dengan sendirinya. "Eh?""Lho?"Berbekalkan pencahayaan dari lampu darurat, keduanya saling bertatapan
Kedua tangan Tara terkepal erat. Hatinya berdenyut nyeri berkat tamparan berupa pernyataan menyakitkan yang tidak bisa wanita muda itu tepis. Federick hanya berperan sebagai seorang ayah yang selektif, pria itu berkata demikian untuk mendulang masa depan sang putra yang masih panjang dan penuh gemerlap.Tara mencoba memakluminya, sehingga dia hanya mampu mematung dan tak bisa menyalahkan Federick. Pria itu sudah melakukan hal yang benar. Perlahan-lahan, selagi semua orang yang berada dalam ruangan tersebut sama-sama terbungkam, Tara berdiri. Noah mengatupkan bibirnya, hendak mengatakan sesuatu disertai emosi yang siap meledak kapan saja.Berupaya tersenyum, Tara memberanikan diri untuk menatap Federick dan Elisabeth secara bergantian. Walaupun hatinya seakan-akan tengah meneteskan darah seiring detik yang terlewat, wanita muda itu tak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan orang-orang."Tenang saja, Señor. Saya juga tidak akan menikahi Noah, karena saya tau diri dengan status da
"Ngapain kamu harus ke sini sambil membelikanku itu?" Tara membuka pagar, melewati Seno yang masih menguarkan senyum manisnya. Wanita muda itu mengetahui arti dari senyum menggelikan tersebut, senyum sok meneduhkan yang berguna untuk merayu para wanita di luar sana. Sekarang Tara jadi berpikir, bisa saja saat menarik perhatian Juwita dulu, Seno bertingkah seperti ini. Membelikan dan menyempatkan diri untuk menyambangi si wanita secara terus-menerus.Begitu pagar terbuka lebar, Tara memasukkan mobilnya. Mengabaikan ucapan Seno yang menjelaskan kegiatannya pada hari ini, mulai dari A sampai Z. Padahal Tara tak bertanya sama sekali. Justru Tara berharap bahwa mantan suaminya yang tidak tau diri itu pergi dari hadapannya sekarang juga. Harinya sudah cukup kacau, jangan ditambah lagi dengan kehadiran Seno.Keluar dari mobil, Tara malah mendapati Seno yang telah menunggu di depan pintu rumahnya. Menghela napas berat, entah apakah dia bisa tertidur dengan nyenyak atau tidak setelah ini. Melip
Tara sedang menikmati kesendiriannya sebagai manusia yang baru saja mengalami patah hati. Namun berita menggemparkan itu datang diawali oleh tatapan tajam para staf lain yang seakan-akan mengulitinya hidup-hidup. Mulanya wanita muda itu merasa bahwa barangkali saja penampilannya ada yang salah, tapi setelah bertemu dengan Cell yang sudah menunggu di lobi, sepasang telinganya memergoki sebuah berita terpanas yang saat itu sedang disiarkan di televisi kantor.Dunia Tara seolah berhenti berputar. Bahkan wanita muda itu kesulitan bernapas saat menyadari bahwa foto yang diperlihatkan secara satu per satu dalam televisi merupakan fotonya dan Noah. Banyak yang mengambil tempat di depan rumahnya, sedangkan tiga foto lainnya memiliki latar berupa lantai teratas Hacer. Tara mengernyit, sesaat memikirkan sesuatu mengenai lokasi yang tak bisa dimasuki oleh sembarang orang itu. Namun pikirannya terbuyarkan kala mendapati panggilan masuk dari Heru. Cell mencengkeram tangannya, khawatir luar biasa.
Banyak yang tidak Tara pahami. Dunia sedang kacau-kacaunya, tetapi dia meringkuk di atas ranjang hotel yang terasa nyaman dan menenangkan. Kalau mau, dia bisa saja merebahkan diri dan menikmati cuti dadakannya ini. Namun pikirannya sedang dihantam badai kenyataan yang seakan bisa menggerogoti sisa kewarasannya.Cell keluar dari kamar mandi, rekan kerjanya itu telah membantunya seharian ini. "Hotelnya bagus, Tar. Aku jadi mau ikutan booking kamar sebelah, biar kesannya liburan. Omong-omong, tagihan kamar ini masuk ke mana? Dompetmu atau dompet Hacer?""Dompetku, memangnya kenapa? Mau ikutan?"Cell terkekeh pelan, lantas mendudukkan diri di tepi ranjang, turut memandang permadani langit yang berhiaskan mendung dari jendela. Sesaat, keheningan membanjiri tanpa repot-repot mau menyurutkan diri. Cell melirik Tara, enggan mengganggu rekan kerjanya yang sedang dilanda masalah itu."Keadaannya Noah gimana ya sekarang?" Tara mengerjapkan mata beberapa kali setelah bergumam tanpa sadar. Wanita
Detik yang bergulir, membuat dua hari berikutnya tidak terlalu menggemparkan. Meskipun artikel mengenai berita kencan Noah dan seseorang yang disebut sebagai 'staf' itu masih beredar, setidaknya mulai tak terlalu banyak. Tara sudah diperbolehkan untuk kembali bekerja di kantor. Dengan senang hati, Tara mengiyakan. Selama mendekam di kamar hotel membuatnya suntuk, tidak bisa bebas.Dia tidak bisa keluar berjalan-jalan, atau mampir ke toko buku seperti biasa. Tentu saja takut akan terdapat beberapa orang mengenalinya. Kali itu, Tara jadi tau bagaimana rasanya menjadi buah bibir yang mengudara secara berlebihan—masalahnya bukan dikarenakan oleh prestasinya.Hari ini, Tara datang mengendap-ngendap lewat pintu belakang yang harus memutar dari tempat parkir. Rosalie sudah mengintruksikan cara memasuki kantor yang aman—dan dia sangat berterimakasih atas demikian. Begitu tiba di lantai 3, dia dikejutkan oleh kesibukan Tim Komunikasi yang masih dalam masa lemburnya.Tara menggigit bibir bawahn
"Jadi, kita masih harus mencari tau siapa pemilik email ini ya?" tanya Radu memastikan, usai mencatat email yang diperlihatkan oleh Gibran. Email tersebut bernamakan twolovehappens. Sebuah nama yang kelewat manis untuk menyerahkan perintah-perintah mengerikan. Radu bergidik ngeri. "Sayangnya, kita nggak bisa tau siapa dalangnya kalau Mas Gibran memang nggak pernah berhubungan sama orang pemilik email ini lewat telepon.""Yang jelas, si twolovehappens itu bisa mikir. Dia sengaja nggak meninggalkan jejak apa pun dengan teleponan. Tapi nih," Noah mendekati sang paman yang terdiam di balik meja kebanggaannya. "Apa Om Heru nggak bisa melacak di mana alamat IP email ini? Temannya Om Heru yang di kepolisian? Bukannya kita bisa minta tolong?""Ck! Kamu pikir, Om nggak melakukan itu? Bahkan Om sama Padre kamu sudah berbicara dengan kepolisian. Padre kamu juga bersedia membayar berapa pun yang mereka mau, dan yah—hasilnya amburadul. Seperti kata kamu, orang ini pintar." Heru mendengus lelah. "S